Persib Vs Persija, Romantisisme di Tengah Polutan
Final Piala Menpora 2021 mempertemukan Persib Bandung dan Persija Jakarta. Kisah pertemuan kedua tim selalu mencuri perhatian pencinta sepak bola dalam negeri.
Pertandingan final Piala Menpora 2021 yang mempertemukan Persib Bandung dan Persija Jakarta menambah panjang kisah pertemuan kedua tim. Laga klasik ini selalu mencuri perhatian pencinta sepak bola dalam negeri.
Bukan hanya karena catatan panjang sejarah kedua tim, melainkan juga rivalitas semu yang kerap menjadi polutan dalam beberapa pertandingan Persib dan Persija. Lalu, dalam duel kali ini, mana yang lebih unggul, romantisisme masa lalu, atau riak-riak polutan?
Kehadiran Persib Bandung dan Persija Jakarta dalam partai final bukanlah kejutan besar dalam perhelatan Piala Menpora 2021. Jauh sebelum penyelenggaraan ajang pramusim ini, kedua tim sudah diperkirakan akan menjadi kandidat peraih trofi. Alasannya, baik Persib maupun Persija telah melakukan rangkaian persiapan yang cukup matang.
Bagi Persija, tak banyak melakukan perombakan tim dibandingkan musim kompetisi sebelumnya. Kehadiran Marko Simic, penyerang yang juga menjadi top skor di Liga 1 2019, menjadi modal berharga untuk bersaing dalam kompetisi ini.
Sementara bagi Persib, kehadiran pelatih bertangan dingin Robert Rene Alberts serta mantan pemain di tim yunior Ajax Amsterdam, Ezra Walian, menjadi amunisi segar. Hingga kini, baik Marko Simic maupun Ezra Walian menjadi pemain yang masuk ke dalam jajaran top skor Piala Menpora.
Dengan komposisi pemain, pelatih, dan gerak cepat yang dilakukan oleh kedua tim dalam persiapan sebelum mengarungi turnamen pramusim, wajar bila kedua tim ini mendominasi sejak babak penyisihan grup. Baik Persib maupun Persija, sama-sama melenggang ke babak 8 besar dengan status sebagai juara grup.
Baca juga: Timnas Indonesia, Mendamba Trofi Tanpa Kompetisi
Laga klasik
Pertemuan kedua tim dalam partai final sontak menjadi perhatian pencinta sepak bola Tanah Air. Selain karena kedua tim diisi oleh sejumlah pemain berkualitas, ada dua alasan lainnya yang menjadikan pertandingan ini menarik untuk dinantikan.
Pertama, pertandingan Persib maupun Persija adalah laga klasik yang kerap tersaji sejak beberapa dekade silam. Pada turnamen atau kompetisi sepak bola di setiap negara, selalu terdapat laga klasik yang mempertemukan dua tim dengan catatan sejarah panjang dan basis pendukung dalam jumlah besar. Di Spanyol, misalnya, terdapat laga klasik antara Real Madrid dan Barcelona atau derbi sekota di Italia antara Inter Milan dan AC Milan.
Persib dapat dikatakan sebagai tim tua karena telah hadir lebih dari satu dekade jelang kemerdekaan Indonesia. Menurut catatan Endan Suhendra dalam buku Persib Juara (2014), tim ini merupakan gabungan dari Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) dan National Voetbal Bond (NVB). Kedua tim bergabung pada Maret 1933.
Tahun kelahiran Persija tidak jauh berbeda dibandingkan dengan Persib, yakni pada November 1927. Tim ini bermula dari pembentukan Voetbalbond Boemipoetera sebelum akhirnya pada tahun 1929 berganti nama menjadi Voetbalbond Indonesia Jacatra atau VIJ (Yosia, dkk, 2014).
Sejak pertama kali terbentuk, kedua tim ini telah beberapa kali bertemu dan bersaing ketat. Pada 1933, misalnya, Persib untuk pertama kalinya tampil dalam turnamen antarkota atau stedentournooi. Saat itu, Persib kalah saing dengan VIJ dan menduduki peringkat kedua dalam turnamen.
Hal serupa juga terjadi pada 1934, Persib harus kembali mengakui keunggulan VIJ dalam turnamen. Gelar juara gagal diraih meski turnamen diselenggarakan di Bandung.
Pada musim kompetisi 1937/1938, persaingan ketat juga kembali tersaji antara Persib dan VIJ. Persib lagi-lagi harus mengakui keunggulan VIJ dalam persaingan di tingkat distrik sehingga gagal lolos ke babak final.
Jejak masa lalu inilah yang menghasilkan sentuhan romantisisme bagi kedua tim dalam setiap pertandingan. Pada era kemerdekaan, pertandingan Persib dan Persija juga sering kali menghasilkan ragam kisah menarik. Salah satunya adalah kompetisi yang sering kali mempertemukan kedua tim pada laga penentuan ataupun partai puncak.
Pertemuan penting kedua tim pernah tersaji pada 1 Juli 1961 saat Persib bertemu dengan Persija dalam laga penentu Kejuaraan Nasional PSSI. Persib berhasil menaklukkan Persija dengan skor 3-1 dan resmi menjadi juara.
Kemenangan besar juga pernah ditorehkan oleh Persib pada 11 Agustus 1976 dalam turnamen Yusuf Cup. Setelah mengalahkan Persija dengan skor 7-0, Persib berhasil menjuarai turnamen yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan.
Hingga dekade 1990-an, kedua tim kerap bertemu pada sejumlah laga penting. Kondisi inilah yang menjadi pemantik munculnya rivalitas Persib dan Persija di lapangan hijau. Selain karena berasal dari kota yang berdekatan, pertemuan kedua tim pada laga penentu menambah tinggi tensi dan gengsi pertandingan.
Baca juga: Generasi Sepak Bola di Pusaran Pandemi
Polusi sepak bola
Selain karena jejak masa lalu, alasan kedua laga Persib dan Persija menarik untuk diperhatikan adalah aksi kedua suporter tim. Jika dilihat dari kaca mata positif, kedua tim memiliki suporter fanatik yang kerap memberikan suguhan aksi ciamik dari tribune penonton. Nyanyian hingga koreografi kerap disajikan dan menambah semarak pertandingan.
Tentu amat menarik untuk menantikan pertandingan di lapangan hijau lengkap dengan kedua aksi dari suporter saat berada dalam satu tribune, seperti yang sering tersaji saat laga Persija vs Arema dan Persib vs Persebaya.
Sayangnya, hal ini jarang terlihat karena rivalitas kedua tim diterjemahkan berbeda oleh oknum kelompok suporter Persija ataupun Persib. Rivalitas yang semestinya hanya terjadi di lapangan, merambah ke ranah suporter dalam wujud kekerasan fisik sejak beberapa dekade silam.
Konflik yang melibatkan suporter pernah terjadi pada Juni 1989 di Bandung, Jawa Barat. Pertandingan yang berakhir untuk kemenangan Persija dengan skor 1-0 ini sempat diwarnai keributan para pemain menjelang laga berakhir.
Sayangnya, keributan ini juga menular kepada suporter. Seusai pertandingan, tim Persija masih tertahan di stadion karena ditunggu oleh suporter Persib di luar stadion untuk melampiaskan kemarahan akibat kekalahan dan insiden di lapangan (Kompas, 29 Juni 1989).
Kisruh kedua kelompok pendukung juga sering kali terjadi saat pertemuan kedua tim dalam dua dekade terakhir. Bahkan, beberapa bentrokan berakhir dengan tewasnya suporter, baik pendukung Persija maupun pendukung Persib.
Kerusuhan bahkan juga merambat dalam perhelatan Liga 1 putri yang mempertemukan Persib dan Persija di Sleman, DIY, pada Oktober 2019. Kedua pendukung kembali terlibat kerusuhan meski pertandingan dilakukan di Stadion Maguwoharjo, Sleman.
Kondisi ini tentu menjadi polusi bagi ekosistem sepak bola Indonesia. Padahal, sebagai laga klasik, pertemuan Persib dan Persija semestinya memiliki nilai jual yang sangat tinggi jika dikelola dengan profesional tanpa adanya kerusuhan suporter. Sayangnya, alih-alih keuntungan besar, laga klasik kedua tim justru kerap kali menimbulkan keributan yang berujung pada kerusakan dan kerugian materi.
Baca juga: Persija Versus Persib, Menatap Final Kedua dari Nol
Ragam faktor
Kerusuhan antara pendukung Persib dan Persija dapat dipahami dari banyak faktor, salah satunya adalah maskulinitas masyarakat perkotaan. Hal ini pernah diungkapkan oleh antropolog Universitas Indonesia, Dave Lumenta.
Di perdesaan, nilai maskulinitas ini kerap dipahami dalam bingkai aktivitas fisik yang kemudian disalurkan melalui kegiatan pertanian. Hal ini telah dilakukan oleh masyarakat sejak berabad-abad silam, yakni dengan berburu, meramu, dan bercocok tanam.
Namun, ketika nilai ini diasosiasikan pada masyarakat perkotaan, terjadi bias dalam dalam penyaluran aktivitas fisik, termasuk bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah di perkotaan. Akibatnya, pertandingan sepak bola menjadi salah satu ajang pelampiasan, termasuk pelampiasan emosi dan segala persoalan yang dihadapi dalam kehidupan perkotaan.
Faktor lainya adalah warisan kisah negatif tentang rivalitas kedua suporter yang diterima begitu saja oleh para remaja pendukung Persija maupun Persib. Tanpa memandang alasan logis, dendam masa lalu terus dirawat secara turun-temurun sehingga menjadi warisan yang berujung pada rivalitas semu kedua tim.
Dikatakan rivalitas semu karena konflik kedua pendukung bukan lagi disebabkan oleh persoalan absolut yang dapat dicari akar masalahnya saat ini, melainkan berakar pada persoalan relatif yang dilandasi dendam masa lalu.
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?
Kini, pertandingan memang akan terlepas dari koreografer ataupun seteru kedua pendukung tim di stadion karena pertandingan dilakukan tanpa penonton akibat pandemi. Namun, suporter tetap menjadi faktor daya tarik pada setiap laga yang mempertemukan antara Persija dan Persib.
Bagaimanapun, di tengah romantisisme dan rivalitas pendukung kedua tim, laga Persija dan Persib akan selalu menarik untuk dinantikan. Jejak sejarah akan tetap menjadi faktor yang menjadi daya tarik pertemuan kedua tim. Tentu, dengan harapan riak-riak polutan berupa kerusuhan suporter dapat dihapuskan, bukan mustahil pertandingan ini akan menjadi laga ikonik dalam ekosistem sepak bola Indonesia. (LITBANG KOMPAS)