Menimbang Risiko Kesehatan Perkawinan Anak Perempuan
Tidak sedikit perempuan yang menutup masa depan dengan menikah di usia muda.
Boleh jadi, tidak ada yang perlu dipersalahkan dengan status seseorang menikah atau tidak menikah. Hanya saja, perkawinan memunculkan persoalan berbeda manakala terjadi pada usia terlalu dini.
Dalam konteks ini, sebagian penduduk Indonesia mengalami perkawinan di usia anak. Lebih dari seperlima (21,85 persen) populasi penduduk Indonesia berstatus menikah pada usia anak. Mereka menikah di bawah usia 19 tahun.
Indonesia juga mencatat angka perkawinan tinggi jika dibandingkan dengan sejumlah negara. Di tingkat ASEAN, Indonesia juga tercatat kedua tertinggi dalam perkawinan anak (17 persen) di bawah Laos (35,4 persen). Hal ini terungkap dalam pertemuan ”Awareness On Child, Early and Forced Marriage” (CEFM, Maret 2019).
Berdasarkan laporan Plan International Indonesia, terjadi kenaikan angka perkawinan anak di 18 provinsi, seperti Kalimantan Selatan (21,2 persen), Kalimantan Tengah (20,2 persen), Sulawesi Tengah (16,3 persen), dan Nusa Tenggara Barat (16,1 persen).
Kondisi itu terlihat melalui banyaknya permohonan dispensasi perkawinan di masa pandemi. Selama Januari hingga Juni 2020, tercatat 34.413 perkara di Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag), dan hampir seluruhnya dikabulkan pengadilan.
Perkawinan anak banyak terjadi pada perempuan. Lebih dari sepertiga (30,56 persen) populasi perempuan berstatus menikah di usia anak. Sementara, laki-laki yang menikah di usia anak hanya 6,74 persen dari total populasi penduduk di kelompok tersebut.
Baca juga: Perkawinan Anak, Sinyal Problem Penduduk dan Kesejahteraan
Risiko melahirkan
Pada sisi lain, rendahnya pendidikan mengakibatkan minimnya pengetahuan tentang pernikahan dini. Anak pun mengalami pola pikir yang belum matang dan dewasa dalam menerima informasi dan mengambil keputusan.
Rendahnya informasi itu juga terlihat dari masih kuatnya anggapan, semakin cepat anak mengalami menstruasi (menarche), berarti segera menikah. Menstruasi pertama di usia dini sering diartikan pula sebagai kemampuan melahirkan di usia muda.
Sementara, usia perkawinan terlalu muda membawa risiko pada kaum perempuan. Dari sisi pengalaman melahirkan misalnya. Berdasarkan data Statistik Pemuda 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari 100 perempuan, sekitar empat di antaranya pernah melahirkan sebelum usia 20 tahun.
Begitu pula dalam proses persalinan. Ada 7,79 persen perempuan usia 16-19 tahun melahirkan bukan oleh tenaga kesehatan. Lalu, 17,74 persen di usia yang sama melahirkan bukan di fasilitas kesehatan.
Studi lain yang dilakukan Reni Djamilah, dalam ”Dampak Perkawinan Anak di Indonesia” (2014), juga memperkuat risiko melahirkan di usia anak. Hasil studi ini menyimpulkan adanya kehamilan berisiko tinggi, termasuk kemungkinan meninggal lima kali lebih besar dibandingkan perempuan usia 20-25 tahun, bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah dan kekurangan gizi.
Risiko bayi meninggal juga bisa dipicu oleh anatomi panggul yang masih dalam masa pertumbuhan. Bayi yang lahir meninggal pada ibu melahirkan usia dini juga dapat disebabkan faktor lebih kompleks seperti kelainan kromosom janin, atau kurangnya kontrol kesehatan reproduksi.
Tempat persalinan pun turut menentukan kualitas kesehatan ibu melahirkan dan anak yang dilahirkan. Idealnya, persalinan yang bersih dan aman adalah oleh tenaga kesehatan (nakes) yang ahli, dan tempat bersih di fasilitas kesehatan (faskes).
Laporan ”Pencegahan Perkawinan Anak” yang merupakan produk Kerja Sama BPS dan Kementerian PPN/Bappenas tahun 2020 juga menunjukkan fakta senada. Laporan tersebut menjelaskan bahwa hanya sekitar dua dari 10 perempuan yang menikah di usia anak, melahirkan di faskes/nakes.
Padahal, hamil sebelum usia 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis. Publikasi “Pencegahan Perkawinan Anak” juga memberikan gambaran risiko tersebut. Perempuan berumur 10-14 tahun tercatat sebagai kelompok yang paling banyak mengalami komplikasi kehamilan, yakni demam tinggi, perdarahan pada jalan lahir, keluar air ketuban, kaki bengkak disertai kejang, bahkan nyeri jantung.
Baca juga: Pandemi Perburuk Situasi Perkawinan Anak
Risiko psikologis
Dari berbagai kasus perkawinan anak, bisa dibilang faktor orangtua berperan penting di dalamnya. Menurut Wulan Angraini dkk, dalam Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Dini (2019), anak dari status ekonomi rendah, atau terlahir dari keluarga miskin, cenderung memilih segera menikah untuk meringankan beban keluarganya.
Sering kali, karena tak bisa melanjutkan sekolah, orangtua memutuskan anak lebih baik menikah daripada menganggur. Tak jarang ini menjadi stigma.
Tidak menikah bagi anak perempuan kerap kali dianggap aib bagi orangtua, termasuk pula dianggap jauh dari jodoh atau perawan tua. Keadaan ini bisa memburuk manakala orangtua bekerja di luar kota, meninggalkan anak-anak tanpa pengetahuan dan pendidikan yang cukup.
Dampak lain perkawinan anak perempuan adalah gangguan kesehatan mental mereka. Banyak anak perempuan berhadapan dengan tekanan psikologis saat terpaksa putus sekolah dan meninggalkan keluarganya. Tak jarang pula mereka diisolasi oleh keluarganya sendiri karena dianggap aib.
Di tengah kondisi ini pun sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga akibat suasana perkawinan yang tidak stabil. Sejumlah masalah lain yang juga terkait adalah ketidaksetaraan status , banyaknya perselingkuhan ataupun perceraian. Bahakan, muncul juga problem kekerasan seksual yang berujung pada prostitusi, hingga praktik pemalsuan umur demi mendapatkan akte nikah dan KTP untuk keperluan bekerja.
Baca juga: Rentetan Panjang Dampak Perkawinan Anak
Pencegahan
Negara tentu saja tidak tinggal diam dalam menghadapi fakta tingginya perkawinan anak. Pemerintah berupaya mengatasi masalah perkawinan anak, dimulai dari hadirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan anak sebagai dasar hukum.
Hal itu juga tak lepas dari Bappenas yang menetapkan pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu isu strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJMN) 2020-2024. Target prevalensi yang sebelumnya ditentukan adalah 11,2 persen (2018) dan diupayakan untuk turun hingga 8,74 persen (2024).
Perkawinan anak jelas merupakan dampak sosial ekonomi di masyarakat. UNICEF menyatakan, selama praktik menikahkan anak masih dianggap sebagai bagian dari norma sosial, ini merefleksikan masih rendahnya nilai hak seorang perempuan di masyarakat bersangkutan.
Banyak hal yang perlu dibenahi. Ini bisa dimulai dari memperkuat pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang berkualitas, termasuk juga sistem rujukan bagi anak yang mengalami kehamilan tidak diinginkan.
Dalam konteks tersebut, sinergi masyarakat dengan organisasi kemasyarakatan, lembaga pemerintah, tokoh adat dan agama, juga harus terjalin dengan baik. Tak kalah pentingya adalah penyediaan layanan kesehatan reproduksi seksual yang komprehensif. (LITBANG KOMPAS)