Jalan Keprihatinan Perkawinan Anak
Bayangan kebahagiaan dan kesejahteraan pasca-pernikahan yang diidam-idamkan banyak pasangan relatif sulit terwujud pada kehidupan perkawinan anak.
Membayangkan masuk ke dalam lingkup rumah tangga perkawinan anak bagaikan menyusuri lorong labirin keprihatinan yang tak bekesudahan.
Sejumlah faktor melandasi dugaan tersebut sehingga membutuhkan perjuangan yang luar biasa bagi anak bersangkutan ketika merintis masa awal kehidupan berumah tangga.
Ada sejumlah hak anak yang terbelenggu tiba-tiba. Salah satunya adalah untuk hak untuk memperoleh akses pendidikan seluas-luasnya. Berdasarkan laporan Bappenas dan BPS, anak-anak yang menikah pada usia di bawah 18 tahun mayoritas langsung menghentikan pendidikannya.
Anak laki-laki sekitar 91 persen dan anak perempuan hampir 93 persen. Hal ini mengindikasikan jika akses pendidikan bagi anak-anak, baik itu laki-laki maupun perempuan, sepertinya sudah tidak penting lagi ketika berumah tangga.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan karena level pendidikan mereka relatif sangat rendah. Mayoritas anak-anak yang menikah di bawah 18 tahun sekitar 80 persen tingkat pendidikan tertingginya hanya sampai level SMP atau sederajat. Sisanya, yang menuntaskan pendidikan dasar 12 tahun hingga jenjang SMA atau sederajat, sangatlah sedikit, yakni kurang dari 20 persen.
Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, peluang untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan kehidupan juga semakin mengecil. Dengan kata lain, mereka rentan rawan terperosok dalam celah kemiskinan.
Baca juga: Menimbang Risiko Kesehatan Perkawinan Anak Perempuan
Kompleksitas persoalan
Kemiskinan, ketimpangan jender dan pembangunan, pendidikan, budaya, serta psikologis merupakan cakupan persoalan yang menjadi satu bingkai membentuk potret perkawinan anak. Hal ini meunjukkan betapa kompleks persoalan yang ada di balik perkawinan anak.
Dengan anak menikah secara dini, peluang diri untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi terhenti. Kesempatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, standar pekerjaan, serta kebebasan untuk berkembang di banyak hal menjadi terbelenggu karena terkungkung pernikahan.
Anak ”dipaksa” mengakhiri masa remajanya karena pernikahan. Padahal, pada masa-masa remaja ini merupakan fase yang sangat krusial bagi perkembangan fisik, emosional, dan juga sosial sebelum memasuki masa kedewasaan.
Pernikahan dini mendorong anak yang relatif masih labil psikologisnya untuk bertindak selayaknya orang dewasa. Hal inilah yang berpotensi besar menimbulkan kerentanan dalam hubungan rumah tangga. Perselisihan dengan cara-cara kekerasan kemungkinan besar akan terjadi pada rumah tangga mereka.
Sementara itu, hingga tahun 2018, perkawinan usia anak di Indonesia masih terus membayangi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bila mengacu pada data perkawinan anak yang dikeluarkan oleh Bappenas dan BPS, menunjukkan betapa mirisnya fenomena itu di Indonesia.
Kasus perkawinan anak perempuan tidak hanya terjadi pada usia di bawah 18 tahun, tetapi juga terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Meskipun menunjukkan jumlah prevalensi yang terus menurun, tren pengurangannya relatif tidak signifikan.
Tren penurunan pernikahan anak di bawah 15 tahun rata-rata per tahun hanya 0,1 persen dan di bawah 18 tahun sekitar 0,3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa menghindari atau mencegah terjadinya praktik perkawinan anak di Indonesia relatif sulit.
Kasus pernikahan anak di Indonesia paling banyak terjadi di daerah perdesaan daripada perkotaan. Pada tahun 2015-2018, persentase pernikahan anak perempuan di daerah desa rata-rata sebesar 17 persen, sedangkan di perkotaan rata-rata sekitar 11 persen per tahun.
Hal ini menunjukkan, jika wilayah yang relatif belum maju tingkat perekonomiannya cenderung lebih permisif terhadap praktik pernikahan anak. Berbeda halnya dengan daerah perkotaan, yang cenderung lebih memprioritaskan untuk menunda usia pernikahan lebih lama.
Dari seluruh wilayah di Indonesia, Pulau Jawa merupakan daerah yang paling tinggi tingkat perkawinan anaknya. Berdasarkan estimasi dari Bappenas, jumlah pernikahan anak di Pulau Jawa mencapai 610.000 anak atau menguasai sekitar 50 persen pernikahan anak di seluruh Indonesia. Daerah terbanyak pernikahan dini ini berada di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kasus mencapai kisaran 273.000 anak.
Diskiripsi tersebut menggambarkan betapa Pulau Jawa merupakan daerah yang sangat kompleks permasalahan sosial ekonominya. Daerah dengan jumlah penduduk terbanyak dan juga sekaligus daerah utama kemajuan ekonomi nasional ternyata memberikan sejumlah dampak yang juga sangat pelik.
Munculnya kasus perkawinan anak mengindikasikan bahwa tidak semua masyarakat di Pulau Jawa ini memiliki akses yang baik terhadap perekonomian dan juga kemapanan. Semakin jauh dari kemapanan baik dari segi ekonomi, pendidikan, ataupun kesehatan, maka kemungkinan untuk terjerumus praktik perkawinan anak akan semakin lebar.
Baca juga: Perkawinan Anak, Sinyal Problem Penduduk dan Kesejahteraan
Derita perempuan
Ujung-ujungnya, perempuan menjadi pihak yang paling menderita akibat praktik perkawinan anak. Mereka harus mengurusi anak, rumah tangga, dan bahkan harus disambi bekerja serabutan guna menutup celah kekurangan aspek finansial dan kesejahteraan yang belum diraih keluarganya.
Mayoritas perempuan yang menikah dalam usia anak sekitar 63 persennya bekerja di sektor informal, terutama yang bergerak di sektor jasa. Hal ini mengindikasikan tidak banyak pilihan pekerjaan bagi perempuan ketika mereka menikah terlalu cepat.
Fenomena tersebut menyebabkan perempuan bersangkutan rawan diskriminasi baik dari segi jender, usia, maupun penghasilan ketika bekerja. Selain itu, juga rawan pelecehan baik secara fisik maupun verbal dalam lingkup pekerjaannya.
Memang, tidak ada jaminan bagi pihak perempuan yang menikah saat berusia dewasa pun terbebas dari diskriminasi ataupun pelecehan dalam lingkup sosial dan pekerjaannya. Hanya saja, kemungkinan yang mendera bagi perempuan yang berusia belia atau anak-anak tampaknya jauh lebih besar daripada yang berusia dewasa.
Perbedaan usia pernikahan pertama pada perempuan sepertinya memang memberikan dampak kualitas kehidupan yang berbeda. Pernikahan pada usia dewasa di atas 18 tahun secara umum memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik.
Indikasinya dapat terlihat dari sejumlah variabel yang diukur oleh Bappenas dan BPS. Pertama, dari pengeluaran untuk kebutuhan pangan, perempuan yang menikah pada usia dewasa porsinya lebih kecil dari perempuan yang menikah pada usia anak.
Pengeluaran rumah tangga yang lebih dari 50 persennya untuk kebutuhan pangan dilakukan oleh perempuan yang menikah pada usia dewasa sebanyak 75 persen. Untuk perempuan yang menikah dini jumlahnya mencapai kisaran 86 persen.
Artinya, sebagian besar penghasilan perempuan yang menikah pada usia dini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar, yakni untuk makanan. Hal ini mengindikasikan jika tingkat sejehateraan perempuan yang menikah usia dewasa lebih baik.
Kesejahteraan lain yang juga berpihak pada perempuan yang menikah dewasa adalah kepemilikan jaminan kesehatan. Sekitar 62 persen kelompok ini memiliki jaminan tersebut. Fasilitas kesehatan yang digunakan para perempuan dewasa itu mayoritas lebih baik, yakni sekitar 43 persen sudah menggunakan tenaga kesehatan berikut fasilitasnya ketika melahirkan.
Perempuan yang menikah pada usia anak hanya mengakses fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan untuk kelahirannya sekitar 22 persen saja. Hal ini menunjukkan kesadaran akan keselamatan ibu dan anak saat persalinan pada usia perempuan dewasa jauh lebih baik.
Demikian juga terkait dengan inisiasi menyusui dini, perempuan dewasa yang mengutamakan ASI jauh lebih banyak, yakni hampir 29 persen. Terpaut cukup jauh dengan perempuan anak yang hanya kisaran 18 persen.
Lebih baiknya tingkat kesejahteraan dan pemahaman para perempuan berusia dewasa tersebut dilandasi oleh sejumlah faktor. Bisa jadi karena faktor pendidikan yang jauh lebih luas dan tinggi sehingga memunculkan tingkat kepedulian yang lebih baik bagi dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya.
Selain itu, juga ditopang dari pendapatan sisi finansialnya. Perempuan yang menikah pada usia dewasa mayoritas sekitar 53 memiliki pekerjaan formal. Artinya, memiliki penghasilan tetap yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan kehidupan untuk terus semakin baik.
Berbeda halnya dengan perempuan yang menikah pada usia anak. Peluang untuk terserap di pekerjaan formal semakin sedikit, yakni hanya kisaran 36 persen, sehingga dengan terpaksa harus bekerja di ranah informal. Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, pekerjaan informal yang terbuka lebar pun adalah yang menuntut keterampilan rendah yang identik berpenghasilan relatif kecil.
Baca juga: Tamparan Keras Perkawinan Anak
Dampak pembangunan
Pada akhirnya, usia pernikahan yang terlalu dini bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Perkawinan pada anak juga kontraproduktif terhadap program pembangunan berkelanjutan.
Sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030, seperti kehidupan tanpa kemiskinan dan kelaparan, hidup sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, serta berkurangnya kesenjangan perekonomian antarpenduduk, akan menjadi sulit terwujud akibat praktik perkawinan anak.
Kemungkinan buruk dari praktik perkawinan anak tersebut bertentangan dengan jaminan terhadap hak anak yang tercantum di dalam UUD 1945. Di dalam dasar negara itu dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi.
Oleh sebab itu, pemerintah berupaya mengantisipasinya dengan melakukan sejumlah pembenahan kebijakan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Salah satunya dengan mengatur batas usia pernikahan.
Dengan terbitnya UU No 16/2019 tentang Perubahan atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan tentang batas usia pernikahan diubah. Dari sebelumnya batas minimum usia perkawinan perempuan 16 tahun menjadi minimal 19 tahun.
Aturan ini sejalan dengan UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dengan sejumlah ketentuan ini, harapannya memunculkan kesadaran bagi seluruh warga negara, terutama bagi para orangtua, untuk berkewajiban melindungi putra-putrinya dari praktik perkawinan anak.
Namun, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konkret regulasi perkawinan anak. Selain itu, setiap orangtua harus bisa mendidik dan sekaligus memberikan pemahaman kepada putra-putrinya bahwa meningkatkan kualitas kehidupan dengan belajar, sekolah, dan juga berusaha adalah hal prioritas.
Menikah adalah hal selanjutnya ketika anak-anak sudah tumbuh dewasa dan memiliki pekerjaan atau usaha yang bermanfaat untuk menjalankan kehidupan rumah tangga secara mandiri. (LITBANG KOMPAS)