Perkawinan Anak, Sinyal Problem Penduduk dan Kesejahteraan
Perkawinan anak sejatinya menjadi fenomena yang berpotensi memperberat pencapaian kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa mendatang.
Perkawinan anak mempunyai keterkaitan cukup kuat dengan tingginya kepadatan penduduk dan rendahnya taraf ekonomi serta derajat pendidikan, yang akhirnya dapat memunculkan beban demografi Indonesia di masa mendatang.
Gambaran demikian terekam melalui analisis data, baik secara deskriptif maupun perhitungan statistik. Hingga tahun lalu, tercatat seperlima dari populasi penduduk Indonesia yang menikah masih berada pada usia anak, yakni di bawah 19 tahun.
Nuansa perbedaan jender juga kental mewarnai fenomena perkawinan anak di Indonesia. Pada kalangan perempuan, ada sepertiga lebih dari mereka (30,56 persen) yang berstatus sudah menikah di usia anak. Sementara itu, perkawinan di usia anak pada kelompok laki-laki hanya tercatat 6,74 persen.
Fenomena perkawinan anak juga tidak menunjukkan penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun belakangan. Sepanjang 2018-2020, populasi penduduk dengan status menikah berusia 18 tahun atau kurang dari itu, hanya berkurang -0,38 persen.
Sebagian besar wilayah provinsi bahkan mencatat peningkatan populasi perkawinan anak. Dalam tiga tahun terakhir, 16 dari total 34 provinsi di Indonesia mencatat persentase penduduk yang menikah pada usia anak.
Gambaran serupa juga terjadi pada 10 provinsi dengan populasi perkawinan anak teratas. Separuh dari 10 provinsi tersebut mencatat kenaikan persentase perkawinan anak sepanjang periode yang sama.
Baca juga : MUI dan Pemerintah Berkomitmen Mencegah Perkawinan Anak
Fenomena sosial-ekonomi
Apa yang terjadi di balik penikahan di usia dini merupakan fenomena yang tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan satu dimensi. Kompleksitas dimensi perkawinan anak paling tidak dapat digambarkan dengan menganalisis lebih jauh keterkaitan perkawinan anak dengan faktor ekonomi, pendidikan, dan faktor demografi.
Hasil analisis korelasi menggunakan metode Spearman-rho menunjukkan, perkawinan anak mempunyai keterkaitan cukup kuat dengan dua faktor sosial-ekonomi. Faktor yang pertama adalah kepadatan penduduk dan kedua adalah tingkat pengangguran.
Perkawinan anak mempunyai korelasi signifikan terhadap tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah. Dalam hubungan dengan perkawinan anak, dapat dibaca bahwa meningkatnya kepadatan penduduk mencerminkan perubahan populasi yang diikuti dengan perubahan budaya di suatu daerah.
Perubahan kultur tersebut dapat membawa dampak negatif, seperti budaya yang semakin permisif, norma yang semakin longgar, hingga pada gilirannya berkontribusi mendorong perkawinan anak.
Selain itu, sejumlah wilayah padat penduduk kerap kali juga memiliki standar kualitas lingkungan yang buruk. Beragam persoalan sosial, mulai dari kekerasan, konflik, hingga prostitusi atau bahkan penggunaan obat-obatan terlarang kerap kali dijumpai di daerah padat penduduk.
Karakteristik daerah padat penduduk dengan kualitas lingkungan yang rendah juga identik dengan problem ekonomi. Hal ini juga berkorelasi dengan dorongan menikah di usia dini. Tekanan ekonomi, misalnya akibat keterbatasan atau bahkan ketiadaan penghasilan akibat terlalu lama menganggur, memaksa orangtua untuk segera menikahkan anak mereka. Hal ini dilakukan dengan harapan anak lepas dari tanggung jawab orangtua secara ekonomi sehingga mengurangi beban keluarga.
Gambaran tersebut juga terbukti dari hasil analisis korelasi dengan metode Spearman-rho. Tingkat pengangguran terbuka mempunyai hubungan cukup erat dan signifikan dengan perkawinan anak. Hasil analisis korelasi juga menunjukkan, bertambahnya pengangguran terbuka akan diikuti dengan meningkatnya perkawinan anak.
Minimnya akses ekonomi, yang antara lain tecermin dari tingkat pengangguran terbuka, bisa menjadi penyebab sekaligus memunculkan akibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Pada satu sisi, minimnya akses ekonomi berdampak pada kemampuan finansial keluarga dalam mengusahakan pendidikan yang layak bagi anak.
Sementara, pada sisi lain tingkat pendidikan yang rendah juga bisa memperkecil peluang individu dalam mengakses pekerjaan, terlebih pekerjaan dengan penghasilan memadai. Relasi antara akses ekonomi, kepadatan penduduk, dan faktor lingkungan pada akhirnya kait-mengait menjadi lingkaran yang memperkuat problem perkawinan anak.
Baca juga : Tamparan Keras Perkawinan Anak
Beban kesejahteraan
Persentase populasi perkawinan anak yang terus meningkat pada gilirannya akan berdampak memperberat beban pencapaian kesejahteraan di Indonesia. Problem kesejahteraan akibat perkawinan anak menjadi persoalan serius mengingat fenomena ini cukup banyak terjadi di provinsi-provinsi kawasan timur Indonesia.
Publikasi Statistik Pemuda dari Badan Pusat Statistik menunjukkan gambaran tersebut. Hingga tahun lalu, enam dari 10 provinsi dengan tingkat perkawinan anak tertinggi berada di wilayah Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Maluku.
Situasi ini rentan memperburuk kesejahteraan masyarakat. Situasi demikian tecermin dari keterkaitan antara dua variabel, yakni IPM sebagai salah satu indikator kesejahteraan, dan persentase perkawinan pada usia anak di 34 provinsi.
Keterkaitan dua variabel tersebut ditunjukkan dari hasil korelasi yang signfikan pada tingkat keyakinan 1 persen. Derajat korelasi bernilai -0,571 menandakan hubungan kuat dan berkebalikan antara IPM dan tingkat perkawinan anak. Artinya, kenaikan besaran IPM akan diikuti dengan menurunnya persentase perkawinan usia anak.
Lebih terinci, gambaran korelasi antara IPM dan tingkat perkawinan anak di Indonesia menunjukkan pola yang berbeda antara wilayah barat dan timur Indonesia. Hasil Pemetaan IPM dengan tingkat perkawinan anak di wilayah barat Indonesia menunjukkan kecenderungan mengelompok di dua ekstrem kategori.
Kategori pertama adalah provinsi dengan IPM tinggi dan tingkat perkawinan rendah. Ada delapan provinsi yang mampu mencapai kategori ideal ini.
Adapun pemetaan di sebagian provinsi lain berada pada kategori yang berkebalikan. Sebanyak 10 provinsi berada pada kategori IPM rendah dengan tingkat perkawinan tinggi.
Sementara itu, peta korelasi antara IPM dan tingkat perkawinan anak di timur Indonesia menunjukkan hasil yang cenderung mengerucut pada kategori yang tidak ideal. Dari total 13 provinsi di timur Indonesia, sembilan di antaranya adalah provinsi yang terpetakan dalam kategori wilayah IPM rendah dengan tingkat perkawinan anak yang tinggi.
Penting pula menjadi catatan, lima dari sembilan provinsi dalam kategori tidak ideal di bagian timur tersebut adalah 10 besar provinsi dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Empat di antaranya adalah provinsi di Sulawesi (Sulawesi Barat, Tengah, dan Tenggara serta Sulawesi Utara) ditambah dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Perbedaan peta korelasi antara IPM dan perkawinan anak di wilayah barat dan timur Indonesia menjadi faktor lain yang memperbesar kompleksitas fenomena perkawinan anak. Selain faktor sosial-ekonomi, perbedaan geografis terbukti berpengaruh terhadap tingkat perkawinan anak merujuk analisis statistik ini.
Kompleksitas dimensi di balik fenomena perkawinan anak, pada gilirannya juga menuntut solusi komprehensif dengan menimbang berbagai faktor yang terkait. Sayangnya, fenomena perkawinan anak yang tetap tinggi sejauh ini menunjukan bahwa solusi komprehensif baru terwujud dalam tataran konsep.
Pentingnya solusi konkret-komprehensif, sejatinya telah diungkapkan jauh ke belakang dalam berbagai penelitian. Salah satu riset pernah dilakukan tahun 2014 oleh Margaret E Greene yang dipublikasikan Ford Foundation.
Hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa program-program untuk menjawab fenomena perkawinan anak baru sebatas pada penundaan pernikahan di antara populasi tertentu. Akan tetapi, program-program yang ada tidak cukup untuk mengakhiri praktik tersebut dan tentunya tidak akan mengakhirinya dalam satu generasi.
Jika kondisi demikian terus berlanjut, bukan tidak mungkin bahwa fenomena perkawinan anak akan menjadi problem nyata kependudukan dan kesejahteraan di masa mendatang.
(LITBANG KOMPAS)