Gerakan “Mute” Massal dan Fenomena Sosial Sepak Bola Indonesia
Tagar #gerakanmutemassal menjadi simbol ”perlawanan” sekaligus rasa ketidakpuasan pendukung sepak bola terhadap komentator pertandingan. Gerakan ini juga reaksi atas larangan menonton pertandingan bola di lapangan.
Dalam laga Piala Menpora 2021, warganet ramai-ramai menyuarakan tagar #gerakanmutemassal sebagai sintesa atas kegelisahan terhadap literasi dan informasi yang disampaikan oleh komentator pertandingan. Kegelisahan ini dapat dipahami sebagai sebuah fenomena sosial yang bisa saja merambat sebagai gelombang perubahan sudut pandang suporter sepak bola Indonesia.
Dunia sepak bola Indonesia sejatinya tengah berada dalam euforia di tengah perhelatan Piala Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) 2021. Setelah mengalami mati suri selama satu tahun, inilah kesempatan pertama bagi klub Liga 1 untuk kembali merasakan iklim kompetisi.
Di balik penyelenggaraan kompetisi ini, ada suatu fenomena menarik yang dapat ditelisik lebih jauh, yakni munculnya tagar #gerakanmutemassal yang digaungkan oleh para suporter sepak bola Indonesia. Tagar ini mendadak memuncaki topik percakapan populer di Twitter pada 12-13 April 2021.
Ada dua faktor utama yang menjadi akar penyebab munculnya reaksi keras dari suporter hingga bermuara pada protes di media sosial. Pertama, gerakan ini muncul sebagai rasa ketidakpuasan para pendukung sepak bola terhadap komentator pertandingan.
Baca juga: Menengok Kompetisi Sepak Bola Negara Lain di Tengah Pandemi
Sebagian warganet bahkan meminta kepada PSSI dan pemegang hak siar pertandingan agar memilih komentator yang tidak hanya mengedepankan sensasi belaka, tetapi juga dapat memberikan literasi dalam wujud analisis pertandingan kepada penonton.
Faktor kedua adalah adanya larangan untuk menonton pertandingan sepak bola secara langsung di lapangan. Akibat kebijakan ini, suporter fanatik dan kritis yang biasanya hadir di stadion untuk menyaksikan pertandingan secara langsung, hanya bisa menyaksikan laga melalui siaran televisi.
Artinya, para suporter ini secara langsung juga terpapar oleh setiap kalimat yang dilontarkan oleh komentator. Kondisi inilah yang turut mendorong banyaknya suara-suara kritikan yang dilontarkan melalui akun media sosial masing-masing suporter.
Kritikan ini bermuara pada tagar #gerakanmutemassal, yakni gerakan untuk menonton pertandingan sepak bola di televisi tanpa suara. Tujuannya agar penonton tidak lagi mendengar setiap komentar yang disampaikan oleh sang komentator. Tagar ini mulai bermunculan di tengah-tengah pertandingan babak 8 besar antara PSS Sleman Vs Bali United.
Fenomena sosial
Aksi ini tentu tak cukup jika hanya dimaknai dari kacamata kuda sebagai sebuah gerakan protes semata. Di baliknya, terselip suatu fenomena sosial yang menarik untuk ditelisik. Mengapa disebut sebagai fenomena sosial dalam ekosistem sepak bola Indonesia? Hal ini dapat dilihat dari sisi struktural ataupun kultural.
Pertama, secara struktural, gerakan untuk mengkritik kualitas komentator secara masif sangat jarang ditemui dalam lingkup ekosistem sepak bola Indonesia. Sebelumnya, aksi protes lebih banyak dilakukan pada tataran tata kelola organisasi ataupun prestasi.
Baca juga: Generasi Sepak Bola di Pusaran Pandemi
Pada Januari 2011, misalnya, aksi protes dilakukan lebih dari 100 suporter Persebaya Surabaya dengan mendatangi lokasi kongres PSSI di Tabanan Bali. Tujuannya adalah menyuarakan sejumlah tuntutan, seperti larangan penggunaan APBD dalam sepak bola dan penolakan terhadap Nurdin Halid sebagai ketua umum PSSI.
Aksi serupa juga dilakukan pada Januari 2019 saat ratusan suporter sepak bola dari sejumlah daerah mendatangi lokasi kongres PSSI di Bali untuk menuntut pemberantasan mafia sepak bola.
Aksi dalam wujud lain juga pernah dilakukan suporter sepak bola Indonesia pada November 2019. Saat itu, salah satu kelompok suporter memboikot pertandingan timnas U-19 dalam ajang Kualifikasi Piala Asia U-19 2020. Hal ini dilakukan sebagai kritik untuk perbaikan kepengurusan PSSI.
Dari beberapa aksi dan kritikan yang dilakukan, tampak bahwa arah yang dituju adalah perbaikan prestasi ataupun tata kelola organisasi PSSI. Di sejumlah daerah hal ini juga dilakukan oleh kelompok suporter untuk menuntut perbaikan prestasi dari klub yang didukung dalam kompetisi domestik.
Selain dari sisi prestasi dan tata kelola, gerakan lainnya dilakukan secara tidak serentak oleh kelompok suporter sehingga riaknya tidak begitu dirasakan. Beberapa tuntutan seperti penggunaan rekaman video pembantu wasit atau video assistant referee (VAR) hingga teknologi garis gawang pernah disuarakan dalam beberapa kali kesempatan namun tidak berujung pada gerakan serentak yang menarik perhatian publik.
Dari sisi kultural, kritik kepada komentator secara beramai-ramai selama ini bukanlah budaya bagi pendukung sepak bola Indonesia. Selama ini, kritik kepada komentator hanya disampaikan pada saat-saat tertentu dan tidak menimbulkan gerakan kritik secara masif.
Hal ini cukup berbeda dibandingkan iklim ekosistem sepak bola di Eropa yang secara alamiah menuntut komentator untuk memberikan analisis dan tidak hanya menjual sensasi belaka. Jika tidak, komentator akan menjadi sasaran kritik bagi pendukung sepak bola.
Kondisi ini pernah terjadi pada tahun 2018 saat pertandingan Manchester City Vs Everton dalam lanjutan Liga Premier Inggris. Saat itu, komentator pertandingan menyebut tindakan rasis yang dialami salah seorang pemain sebagai kritikan terhadap pemain itu. Tak lama berselang, komentator pertandingan pun ramai diperbincangkan dan dikritik oleh warganet. Warganet menilai bahwa kritik dan tindakan rasis adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Bahkan, saking pentingnya profesi komentator sepak bola di Eropa, salah satu perusahaan yang berbasis di Denmark dan Amerika Serikat, RunRepeat, pernah menjalin kerja sama dengan Asosiasi Pesepakbola Profesional (PFA) untuk melakukan riset tentang pernyataan komentator pertandingan sepak bola.
Riset dilakukan terhadap 80 pertandingan pada empat liga top Eropa, yakni Serie A Italia, La Liga Spanyol, Ligue 1 Perancis, dan Liga Premier Inggris, pada musim kompetisi 2019/2020.
Baca juga: Menjaga Denyut Nadi Sepak Bola Tanah Air
Secara keseluruhan, riset ini menganalisis 2.073 pernyataan dari komentator yang membahas 643 pemain dari berbagai ras dan warna kulit. Berdasarkan hasil riset yang dirilis dalam laman runrepeat.com, tampak bahwa 62,6 persen pujian dari komentator ditujukan kepada para pemain dengan warna kulit cerah.
Sementara 63,3 persen kritik ditujukan kepada pemain dengan warna kulit gelap. Riset ini secara tidak langsung menjadi kritikan tegas bagi komentator di kompetisi sepak bola Eropa yang secara statistik tampak mengalami bias rasial.
Arah perbaikan
Meski secara struktural dan kultural gerakan kritik terhadap komentator bukanlah hal yang lumrah bagi dunia sepak bola Indonesia, lahirnya gerakan ini tentu menjadi suatu fenomena yang menandakan munculnya kesadaran terhadap pentingnya kualitas dalam dunia sepak bola.
Jika sebelumnya kualitas hanya dilihat dalam lapangan pertandingan dan prestasi semata, dengan hadirnya gerakan ini, arahnya mulai berubah. Pendukung sepak bola secara masif mulai mengharapkan adanya perbaikan dari lini yang berbeda untuk menopang kualitas sajian sepak bola Indonesia, dan ini dimulai dari komentator.
Jika fenomena ini terus merambat sebagai gelombang perubahan pola pandang pendukung sepak bola Indonesia, bukan hal mustahil bahwa tuntutan akan kualitas teknis dan nonteknis sebuah pertandingan ke depannya akan menjadi perhatian utama publik, bahkan dinilai lebih penting dibandingkan prestasi dan fanatisme semata.
Bagaimanapun, komentator pertandingan adalah elemen penting dalam ekosistem sepak bola Indonesia. Analisis dan kritikannya dapat berguna untuk mencari celah perbaikan dalam sebuah pertandingan.
Di sisi lain, kritikan dari warganet dan suporter sepak bola juga perlu untuk didengar demi menjaga asa perbaikan kualitas sepak bola Indonesia dari hulu hingga ke hilir.
Harapannya, sepak bola Indonesia tidak lagi identik dengan citra buruk tentang sensasi ataupun hooliganisme semata, tetapi mulai mengarah pada perbaikan kualitas teknis ataupun nonteknis pertandingan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring ?