Lebih Dari Dua Calon Presiden, Lebih Baik
Jumlah calon presiden sebaiknya lebih dari dua. Pilihan ini untuk mengurangi tensi polarisasi politik yang memanas, bahkan melahirkan pembelahan politik yang menguras energi. Lebih banyak calon presiden lebih baik.
Pemilihan presiden 2014 dan 2019 membuktikan bahwa hadirnya dua pasangan calon presiden telah melahirkan polarisasi politik yang kuat antara pendukung kedua sosok calon presiden. Polarisasi ini bahkan tidak menurun tensinya setelah kontestasi pemilihan presiden berakhir.
Memberi peluang munculnya lebih dari dua pasangan calon presiden pada 2024 nanti bisa menjadi solusi untuk meredakan ketegangan dari polarisasi politik tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Setidaknya kecenderungan keinginan hadirnya lebih dari dua pasangan calon presiden ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas akhir Maret lalu.
Separuh responden (51,6 persen) lebih menginginkan di Pemilihan Presiden 2024 jumlah pasangan calon presiden tidak hanya dua, tetapi kalau bisa lebih dari dua pasangan calon.
Baca juga : Capres Alternatif Mulai Dilirik
Keinginan ini tentu tidak lepas dengan fenomena polarisasi hari ini yang tetap mengental, terutama jika dilihat dari interaksi publik melalui sosial media.
Hadirnya idiom cebong dan kampret menjadi gambaran betapa polarisasi masih terjadi sebagai residu dari kontestasi politik nasional. Padahal upaya pemerintahan Jokowi-Amin yang menggandeng Prabowo masuk dalam pemerintahan menjadi Menteri Pertahanan, salah satunya adalah untuk meredakan ketegangan antarpendukung. Terbukti, upaya tersebut gagal mereduksi polarisasi ini.
Lebih banyak responden yang berharap jumlah pasangan calon presiden lebih dari dua ini sebagian besar disuarakan oleh kelompok responden muda. Terutama mereka yang masuk dalam kategori usia 22-30 tahun atau pemilih milenial muda.
Dari kelompok ini, mayoritas (70 persen) dari mereka lebih memilih pemilihan presiden dengan jumlah pasangan calon lebih banyak atau setidaknya lebih dari dua pasangan calon.
Sementara itu dari tingkat pendidikan, isu soal jumlah pasangan calon lebih dari dua ini lebih banyak disuarakan oleh kelompok responden berpendidikan tinggi.
Jika dilihat dari latar belakang pilihan responden di Pemilihan Presiden 2019, tampak bahwa isu jumlah pasangan calon presiden ini tidak terkait sikap partisan responden.
Sebab, baik dari kelompok responden pemilih Jokowi maupun pemilih Prabowo sama-sama sebagian besar dari mereka lebih condong memilih jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua.
Berpijak dari data ini, memang tampak ada keinginan yang sama untuk mengakhiri polarisasi. Meskipun harus diakui, tidak sedikit yang masih menginginkan pemilihan presiden ini tetap hanya diikuti dua pasangan calon.
Sebanyak 37 persen responden dalam kategori ini mengakui, dengan dua pasangan calon presiden lebih mudah bagi pemilih menentukan pilihan. Selain itu, dengan dua pasangan calon juga mempermudah tahapan pemilu, sebab dipastikan hanya akan berlangsung satu putaran pemilihan.
Separuh responden (51,6 persen) lebih menginginkan di Pemilihan Presiden 2024 nanti jumlah pasangan calon presiden tidak hanya dua, tetapi kalau bisa lebih dari dua pasangan calon.
Peluang terbuka
Tentu, wacana jumlah pasangan calon presiden ini menjadi harapan publik yang bukan tidak mungkin bisa terwujud saat pemilihan presiden 2024 nanti. Peluang untuk menghadirkan lebih dari dua pasangan calon tetap terbuka lebar. Baik dari sisi komposisi kursi maupun dari dinamika politik yang ada.
Jika mengacu pada syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan syarat harus memenuhi paling sedikit 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara di pemilu terakhir.
Sejauh ini mekanisme kursi paling banyak dipakai untuk proses koalisi. Tentu, hal ini tidak lepas dari kebutuhan dukungan politik di parlemen ketika pasangan calon presiden dan wakil presiden nanti memenangi kontestasi.
Jika mengacu pada kursi, melihat komposisi kepemilikan kursi partai politik di DPR saat ini, setidaknya bisa melahirkan tiga skenario model atau pola koalisi.
Pertama, pola koalisi yang menghasilkan empat pasangan calon presiden dan wakil presiden. Keempat koalisi partai ini terdiri dari satu poros diwakili hanya satu partai politik, yakni PDI-P sebagai satu-satunya partai yang berdasarkan kepemilikan kursi bisa mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.
PDI-P memiliki 22,3 persen kursi DPR, sudah cukup memenuhi syarat minimal. Sementara tiga poros lainnya adalah hasil koalisi sejumlah partai.
Jika disimulasikan, ketiga poros tersebut bisa dibangun oleh koalisi Golkar dan Gerindra (total 28,4 persen kursi), poros Nasdem dan PKB (total 20,4 persen), dan poros koalisi Demokrat, PKS, PAN, dan PPP (total 29,1 persen).
Boleh jadi peluang skenario empat koalisi ini lebih tertutup karena potensi PDI-P mengambil posisi tanpa koalisi rasanya kecil terjadi. Bagaimanapun, pilihan koalisi juga memperbesar peluang angka elektoral.
Kedua, skenario pola koalisi yang menghasilkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Di skenario ini, PDI-P bisa disimulasikan bergandengan dengan Gerindra (total 35,9 persen), Golkar dan Nasdem (total 25,1 persen), dan koalisi PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP (total 39,2 persen).
Baca juga : Dilema Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Peluang skenario ini terbuka lebar jika desakan publik untuk mengurangi polarisasi politik selama ini menguat. Apalagi pada 2024 nanti tidak ada petahana yang memungkinkan semua kandidat memiliki peluang yang sama. Tentu, hal ini diasumsikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin tidak maju lagi karena faktor usia.
Koalisi PDI-P dan Gerindra berpijak dari rekam jejak selama ini soal hubungan kedua partai yang mulai membaik setelah Prabowo masuk dalam pemerintahan. Peluang nama Prabowo diusung kembali menjadi calon presiden terbuka lebar.
Apalagi dalam sejarah politik, kedua partai ini pernah dalam satu koalisi di Pemilihan Presiden 2009. Sementara itu, koalisi Golkar dan Nasdem tidak lepas dari diaspora politik. Kita tahu Nasdem dilahirkan oleh Surya Paloh, sosok yang sebelumnya juga dikenal sebagai politisi Golkar.
Apalagi pertemuan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh beberapa waktu lalu turut memberikan sinyal soal peluang koalisi tersebut.
Sementara peluang koalisi PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP bisa saja terbangun karena partai-partai ini memiliki memori koalisi yang sama saat era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).
Ketiga, skenario koalisi dengan tetap menghasilkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Peluang skenario ini tentu tetap terbuka lebar. Hasil jajak pendapat juga menunjukkan, sepertiga lebih responden tetap menerima jika di Pemilihan Presiden 2024 tetap terjadi polarisasi politik seperti saat ini.
Jika ini yang terjadi, konfigurasi politik saat ini bisa berlanjut di Pemilu 2024. Satu koalisi akan dibangun dari kelompok partai politik yang saat ini berada dalam pemerintahan, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, dan PPP (total 74,2 persen).
Baca juga : Mulailah Tahapan Pemilu Lebih Awal
Satu koalisi lainnya terbangun dari kelompok partai politik yang saat ini berada di luar pemerintahan, yakni Demokrat, PKS, dan PAN (total 25,8 persen).
Peluang skenario dua pasangan calon presiden dan wakil presiden ini tentu akan melahirkan risiko memperpanjang polarisasi politik yang 10 tahun terakhir ini menghiasi interaksi di panggung politik nasional, terutama dalam dunia sosial media.
Ruang bersama
Bagaimanapun polarisasi politik sudah berdampak besar bagi kehidupan politik di negeri ini. Tarik-menarik politik di antara dua kubu seakan menguras energi bangsa ini.
Peneliti LIPI, Moch Nurhasim, melihat, salah satu bahaya dari polarisasi politik yang diiringi dengan pembelahan politik adalah terjadinya pembusukan politik (political decay) (Kompas, 26/2/2021).
Jika dikaitkan dengan upaya kita membangun demokrasi, fenomena pembusukan politik ibarat proses pelan-pelan mematikan institusi-institusi demokrasi itu sendiri.
Apalagi fenomena media sosial yang tidak terkontrol pada akhirnya membuat lembaga demokrasi, seperti halnya lembaga legislatif, tak lagi berperan banyak sebagai jembatan bagi pembentukan demokrasi yang berkeadaban.
Bagaimanapun, demokrasi adalah ruang bersama guna memberikan panggung bagi gagasan dan dialog untuk membangun bangsa yang lebih maju. Kontestasi pemilihan presiden semestinya memberi konstribusi ke arah tersebut, bukan malah menjadi pintu bagi pembelahan politik yang kini justru berpotensi menggerus kesatuan sesama anak bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Demokrasi dan Polarisasi Politik