Minimnya Mitigasi Bencana di Wilayah Kepulauan
Wilayah kepulauan menjadi paling rawan terdampak bencana, utamanya terkait anomali cuaca dan iklim.
Wilayah kepulauan tidak luput dari ancaman bencana alam. Namun, belum semua pulau di Indonesia memiliki ketangguhan menghadapi bencana. Salah satunya, wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang beberapa waktu lalu dihantam badai Siklon Seroja.
Siklon tropis Seroja muncul pada 3 April 2021 di wilayah perairan NTT dan terus menguat hingga menyebabkan bencana banjir bandang, angin kencang, dan gelombang tinggi di laut. Hingga 11 April 2021 total ada 14 kabupaten dan satu kota terdampak dengan korban jiwa sebanyak 177 orang.
Keberadaan siklon Seroja sudah diamati oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sejak munculnya bibit siklon tropis di Laut Sawu, NTT, pada 3 April 2021, BMKG telah memberikan peringatan dini sekitar pukul 13.00 WIB.
BMKG juga memberi catatan bahwa bibit siklon tropis akan menguat dalam 24 jam ke depan. Meskipun pergerakannya menjauhi wilayah Indonesia, secara tidak langsung keberadaan siklon tropis berkontribusi signifikan terhadap peningkatan labilitas atmosfer dan pertumbuhan awan hujan.
Munculnya cuaca ekstrem berupa hujan lebat hingga sangat lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi dalam periode sepekan berikutnya juga telah diperingatkan. Khusus di wilayah NTT, BMKG mengingatkan ada potensi terjadinya hujan sangat lebat dan angin kencang.
NTT menjadi pusat perhatian BMKG karena pembentukan siklon berada di sekitar 10,3 derajat Lintang Selatan yang merupakan wilayah perairan sangat dekat dengan NTT. Tepatnya sekitar 24 kilometer sebelah barat daya Kupang. Jarak yang terpaut dekat berpotensi menyebabkan skala kerusakan yang ditimbulkannya membesar berkali lipat.
Kecepatan angin maksimum di sekitar sistem siklon 30-45 knots. Berdasarkan skala angin Beaufort, kecepatan sebesar itu termasuk dalam kategori angin kuat (near gale-strong gale) yang mampu menerbangkan pohon hingga kerusakan bangunan yang cukup parah.
Siklon tropis
Siklon tropis merupakan badai dengan kekuatan besar yang terjadi di wilayah perairan dengan masa hidup 3-18 hari. Daya rusak badai yang diakibatkan siklon tropis terbilang besar.
Sejumlah siklon tropis terpantau muncul beberapa tahun terakhir. Pada April 2018 muncul Siklon Flamboyan di barat daya Pulau Enggano, Bengkulu. Selang tujuh bulan, terbentuk Siklon Kenanga di pesisir barat Sumatera dan Siklon Owen di Samudera Hindia.
Awal tahun 2019, muncul Siklon Riley di selatan Sumba Timur, NTT, yang menyebabkan intensitas curah hujan meningkat dan gelombang tinggi di laut. Pada Mei 2019 kembali tercatat ada Siklon Lili di sekitar Laut Timor. Sementara pada Januari 2020, Indonesia kembali terdampak Siklon Claudia.
Secara geografis, Indonesia diuntungkan karena tidak menjadi lintasan siklon tropis, serta pergerakannya pasti menjauhi ekuator. Hal tersebut disebabkan oleh sistem iklim dan pergerakan angin global, atau disebut juga efek gaya coriolis.
Fenomena munculnya siklon tropis memiliki periode tersendiri. Berdasarkan data dari Tropical Cyclone Warning Center, kejadian tertinggi siklon tropis muncul pada Januari hingga Maret untuk wilayah selatan Indonesia, sedangkan wilayah utara pada Juni, Agustus, dan September.
Komunikasi risiko
Potensi dampak siklon tropis memunculkan kesadaran perlunya mitigasi bencana siklon dan komunikasi risiko di wilayah Indonesia. Secara umum, modal dasar mitigasi berangkat dari pengetahuan dan kesadaran tentang risiko bencana di suatu daerah.
Terdapat lima poin mitigasi yang harus dimiliki suatu wilayah, yaitu pemahaman risiko bencana masyarakat, penataan penggunaan lahan, merancang pembangunan dengan memperhitungkan risiko bencana, pembuatan sabuk hijau penahan bencana, dan pembangunan kembali wilayah terdampak berbasis mitigasi bencana.
Pengetahuan tentang mitigasi ini diperkuat dengan komunikasi risiko untuk merumuskan langkah-langkah darurat bencana. Tanpa komunikasi risiko, potensi besar bencana dapat terjadi karena munculnya kesenjangan informasi terhadap bencana.
Apabila sistem mitigasi bencana dan komunikasi risiko telah terbangun dengan baik, manajemen bencana yang melibatkan lintas lembaga dapat saling memberikan informasi potensi bencana. Dengan cara itu, dampak bencana baik korban jiwa maupun kerusakan dapat dihindari.
Alur manajemen bencana menjadi gambaran kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merespons munculnya potensi bencana. Alur tersebut tergambar dari rumusan dan langkah-langkah darurat.
Instansi yang berwenang dan terlibat dalam manajemen bencana akan membuat rumusan langkah-langkah darurat. Sebagai contoh dalam konteks siklon tropis, BMKG dapat membuat laporan khusus berisi rekomendasi beserta alasan logis bagi pemerintah daerah untuk memberlakukan keadaan siaga.
Kemudian, laporan tersebut dapat dipakai pemerintah daerah untuk menyiapkan rencana tanggap darurat yang tentu disesuaikan dengan kondisi wilayahnya. Di sisi lain, implementasi tanggap darurat tentu akan berhasil apabila pemerintah daerah dan masyarakat memiliki kapasitas cukup dan sistem mitigasi dalam menghadapi bencana.
Munculnya korban dan kerusakan akibat siklon tropis Seroja di NTT menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana mitigasi dan komunikasi risiko yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Hingga 11 April 2021, BNPB mencatat sebanyak 177 orang meninggal, sedangkan 45 orang hilang, dan 154 orang mengalami luka-luka. Badai siklon juga mengakibatkan 16.033 orang mengungsi dan 51.560 rumah warga rusak.
Dengan menelusuri pengamatan bibit siklon yang dilakukan BMKG, kecepatan diseminasi informasi merupakan faktor penentu komunikasi risiko. Pengamatan bibit Siklon Seroja telah dilakukan sejak 2 April 2021 oleh BMKG.
Meskipun saat itu masih berupa bibit siklon, mempertimbangkan posisinya yang berada di wilayah perairan Indonesia dan sangat dekat dengan NTT, kecepatan memberikan peringatan beserta langkah-langkah kesiapsiagaan ke pemerintah daerah menjadi faktor penentu komunikasi risiko bencana siklon. Hal ini perlu menjadi evaluasi dalam manajemen bencana untuk menekan munculnya gap komunikasi risiko dan respons yang diambil oleh pemerintah daerah.
Faktor lain adalah minimnya kesiapan masyarakat terhadap potensi bencana. Ketidaksiapan wilayah NTT turut tercermin dari minimnya desa yang memiliki sistem penanggulangan bencana. Tercatat hanya 9,13 persen desa yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam. Sementara desa yang telah menyiapkan perlengkapan keselamatan hanya 1,03 persen dan desa yang telah membuat jalur evakuasi masih 10,74 persen.
Rentan
Kesiapan daerah menghadapi bencana memang tidak bisa terbentuk dalam waktu satu hingga lima tahun, sebab proses pembelajaran mitigasi bencana berlangsung seumur hidup. Namun, memastikan setiap pulau di Indonesia memiliki ketangguhan menghadapi situasi kritis dapat menjadi tujuan akhir.
Sudut pandang yang diambil bukan lagi secara nasional atau pulau-pulau besar, melainkan didetailkan hingga pulau-pulau kecil. Kerentanan wilayah kepulauan makin membesar apabila difokuskan pada setiap pulau yang dipisahkan oleh laut.
Secara geomorfologis, pulau-pulau tersebut sebenarnya terisolasi, sebab opsi yang tersedia untuk menjangkaunya hanya melalui laut dan udara, di mana keduanya sangat tergantung stabilitas atmosfer. Cuaca buruk mengakibatkan akses antarpulau terganggu, atau bahkan terputus.
Baca juga: Mewaspadai Siklon Tropis Dekat Indonesia
Saat terjadi bencana di sebuah pulau, pertolongan pertama hanya dapat dilakukan oleh penduduk pulau itu sendiri, termasuk bagaimana strategi mereka untuk bisa bertahan hidup. Bantuan mungkin saja datang, tetapi tetap membutuhkan waktu.
Sebagai contoh, dalam penanganan bencana di NTT, khususnya Pulau Adonara, salah satu kendala terbesar untuk mempercepat bantuan adalah cuaca buruk sehingga tidak diperbolehkannya pelayaran. Pulau Adonara hanya dapat diakses melalui laut.
Berdasarkan catatan dokumen Disaster Risk Reduction And Management In The Pacific oleh ADB, wilayah kepulauan menjadi paling rawan terdampak bencana, utamanya terkait anomali cuaca dan iklim. Anomali tersebut berimbas pada perubahan suhu secara drastis, perubahan pola hujan lokal, kenaikan permukaan air laut, hingga makin seringnya muncul bencana ekstrem.
Secara nasional, penyiapan pulau-pulau agar siap menghadapi bencana sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Aturan tersebut membahas tentang jenis bencana hingga pengawasan dan evaluasi implementasi kebijakan.
Ironisnya, banyak wilayah di Indonesia yang ternyata belum siap. Berdasarkan data BPS (2018), persentase desa atau kelurahan yang telah memiliki sistem peringatan dini bencana alam hanya 9,51 persen. Sementara desa yang telah membuat jalur evakuasi hanya 6,02 persen.
Kecepatan memberikan peringatan beserta langkah-langkah kesiapsiagaan ke pemerintah daerah menjadi faktor penentu komunikasi risiko bencana siklon.
Apabila dilihat dari provinsi dengan jumlah pulau terbanyak, persentase desa atau kelurahan yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam juga sangat rendah. Sebagai contoh, di Kepulauan Riau sebesar 2,88 persen, diikuti Papua Barat (1,85 persen), Maluku Utara (12,21 persen), dan Maluku (11,85 persen). Sementara NTT hanya 9,13 persen desa yang telah siap.
Kebutuhan mendasar setiap wilayah di Indonesia adalah rancangan spesifik penanganan bencana. Sistem penanggulangan bencana perlu disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah, seperti memanfaatkan kearifan lokal sebagai sistem peringatan dini.
Evaluasi dan perbaikan perlu terus dilakukan oleh Indonesia, mengingat tingkat risiko bencana yang besar dan masih banyak sekali wilayah yang belum siap. Tanpa kesiapan mitigasi dan adaptasi, kejadian bencana akan terus menimbulkan korban dan kerugian besar bagi bangsa ini. Pembangunan wilayah ke depan perlu mempertimbangkan peningkatan kapasitas dalam menghadapi bencana, termasuk munculnya siklon tropis. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Siklon Tropis, Ancaman Baru Indonesia