Utamakan Keselamatan dalam Pembelajaran Tatap Muka
Upaya pemerintah memulai pembelajaran tatap muka saat pandemi perlu dikawal agar sekolah tidak menjadi kluster baru penularan Covid-19. Petunjuk Unicef perlu menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan sekolah tatap muka ini.
Pemerintah di beberapa provinsi akhirnya memutuskan mengambil langkah besar dengan melakukan uji coba pembelajaran tatap muka di tengah pandemi. Meski disambut baik, perlu memperhatikan pelajaran dari negara lain serta kerangka kerja dari Unicef.
Setelah setahun lebih pembelajaran di sekolah dihentikan, akhirnya pemerintah mulai membuka pembelajaran langsung secara lebih leluasa. Salah satu provinsi yang ikut menerapkan kebijakan ini ialah DKI Jakarta.
Mulai Juni 2021 hingga dua bulan setelahnya, pembelajaran tatap muka akan coba dilakukan di 100 sekolah yang sudah ditentukan. Dinas Pendidikan DKI Jakarta sudah menyusun protokol kesehatan yang harus diterapkan di sekolah-sekolah yang akan menjadi percontohan pembelajaran tatap muka (PTM).
Sebetulnya, ada provinsi lain yang juga sudah mengizinkan sekolah untuk melakukan kegiatan belajar mengajar secara langsung, termasuk Sumatera Barat, Lampung, dan Riau, meski sifatnya masih parsial. Sumatera Barat menjadi provinsi pertama yang menerapkan kebijakan ini dengan mulai mengizinkan kegiatan belajar mengajar secara langsung di sekolah sejak Januari 2021.
Meski urgensi belajar tatap muka tak dapat dimungkiri, implementasi dari kebijakan ini masih belum bisa dibilang berhasil. Di Provinsi Sumatera Barat, misalnya, setelah tiga bulan setelah pembelajaran tatap muka dilakukan, muncul satu kluster penularan virus Covid-19 baru di SMA 1 Sumatera Barat. Setelah dilakukan pengetesan dan pelacakan, hingga 31 Maret 2021, terdapat 61 orang siswa di sekolah tersebut yang terpapar virus.
Dari contoh ini, terlihat pelaksanaan pembelajaran secara langsung yang dilakukan bisa membahayakan para siswa dan juga semua civitas sekolah.
Tak hanya di dalam negeri, pelaksanaan PTM di negara lain yang lebih maju dari Indonesia saja belum tentu dapat mengikuti panduan Unicef. Bahkan, tak jarang dari negara-negara tersebut akhirnya menarik kembali kebijakan PTM akibat situasi yang memburuk.
Salah satu contohnya ialah di AS dan Korea Selatan. Di AS, tepatnya di Michigan, PTM dilakukan dengan persiapan dari sekolah-sekolah yang cukup memadai. Bahkan, PTM dilakukan setelah sekitar 63 persen guru telah divaksinasi dan ketika rerata positivity rate selama seminggu berada di kisaran 3,5 persen serta rerata kematian mingguan di angka 22 jiwa.
Akan tetapi, dalam kurun waktu tiga minggu, beberapa distrik di negara bagian ini menutup sekolah karena terjadi lonjakan kasus dari kluster sekolah.
Setali tiga uang, Korea Selatan mengalami hal serupa dengan AS. Pada Mei 2020, ketika kasus Covid-19 di negara ini mulai melandai dan dianggap salah satu negara yang paling sukses mengatasi pandemi, Korea Selatan mulai berani menerapkan kebijakan PTM.
Namun, tak berselang lama, lebih dari 200 sekolah di negara ini ditutup kembali karena muncul lonjakan kasus baru yang berasal dari sekolah.
Kedua negara di atas hanya merupakan contoh dari negara-negara lain yang telah salah langkah dalam membuka sekolah terlalu cepat. Secara global, dengan besarnya risiko yang dapat terjadi, tentu dapat dimengerti apabila sebagian besar negara masih takut untuk membuka sekolah terlalu cepat.
Kerangka Unicef
Setiap negara di dunia sadar akan pentingnya PTM di sekolah. Di sisi lain, pemerintah tentu harus ekstra hati-hati dalam mengambil kebijakan kelonggaran PTM karena, jika salah langkah, nyawa para siswa dan gurulah yang nantinya akan dipertaruhkan.
Terlebih lagi, ada unsur risiko lain, misalnya orangtua murid yang mungkin masuk ke golongan rentan apabila terkena virus Covid-19 (misal sudah masuk ke usia lansia atau memiliki komorbid).
Sebagai badan PBB yang membidangi anak-anak, Unicef membuat rumusan bagi negara apabila ingin menerapkan kebijakan PTM. Dalam dokumen bertajuk ”Framework for Reopening Schools”, Unicef menyampaikan beberapa pertimbangan yang harus diambil oleh pemerintah sebuah negara memutuskan untuk mengizinkan PTM.
Beberapa pertimbangan yang perlu diambil meliputi urgensi pemberlakuan PTM terkait dengan kapasitas serta evaluasi dari PJJ, kesiapan sekolah (infrastruktur, guru, serta pemerintah terkait), dan implikasi dari semakin lamanya sekolah ditutup.
Terlepas dari itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan faktor risiko yang akan ditanggung oleh masyarakat secara umum apabila kebijakan PTM dijalankan. Hal ini meliputi bagaimana siswa berinteraksi dengan masyarakat ketika berangkat dan pulang sekolah serta seberapa tinggi risiko anak sekolah berinteraksi dengan kelompok rentan infeksi Covid-19.
Apabila setelah melewati pertimbangan seperti di atas pemerintah masih akan mengambil kebijakan PTM, Unicef kemudian menyediakan panduan di tiga masa implementasinya.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan faktor risiko yang akan ditanggung oleh masyarakat secara umum apabila kebijakan pembelajaran tatap muka dijalankan.
Ketiga masa, yakni sebelum, berbarengan, serta setelah pelaksanaan PTM, ini juga dibagi lagi ke dalam tiga fokus tujuan. Ketiga fokus tujuan tersebut adalah keamanan operasi PTM, kesejahteraan, dan inklusivitas.
Pertama, sebelum memberlakukan kebijakan PTM, negara perlu membuat pedoman nasional yang jelas tentang parameter pengambilan keputusan PTM yang nantinya dapat diikuti oleh pemerintah daerah.
Misalnya tingkat pertumbuhan kasus harian di daerah tersebut berada di bawah angka tertentu. Pemerintah juga membuat protokol kesehatan rigid yang harus diikuti oleh tiap sekolah yang melakukan PTM.
Selanjutnya, sekolah juga harus siap secara infrastruktur ataupun sistem sebelum PTM dilaksanakan. Dari segi sistem, sekolah perlu merevisi sistem absensi di mana murid dan staf bisa melakukan kegiatan belajar mengajar secara jarak jauh dengan alasan kesehatan.
Lebih besarnya lagi, pemerintah bisa juga merancang kalender akademik baru yang menyesuaikan kebutuhan pendidikan pada masa pandemi. Tidak hanya untuk menyiasati ketertinggalan para murid, kalender ini juga harus berfungsi untuk memitigiasi apabila ke depannya situasi kesehatan negara kian memburuk.
Sementara dari segi infrastruktur, sekolah harus memiliki akses air bersih dan sanitasi yang baik. Bahkan, Unicef menyarankan sekolah menyiapkan fasilitas karantina khusus untuk memisahkan murid atau staf yang sakit di kala darurat. Tak ayal, pemerintah harus berinvestasi ke infrastruktur sekolah di kala pandemi.
Kedua, seiring dengan berjalannya PTM, pemerintah perlu memastikan kuatnya mekanisme komunikasi dan koordinasi antara pemerintah, masyarakat, orangtua, dan murid. Pemerintah harus berjanji untuk terbuka dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, baik yang positif maupun yang negatif.
Maka, sekolah dalam hal ini perlu dijadikan sentra informasi yang mudah diakses oleh para murid dan orangtua terkait dengan perkembangan pandemi. Selebihnya, kegiatan PTM baiknya dilakukan secara bertahap seraya dipantau terus-menerus pelaksanaannya. Tujuannya, apabila terjadi hal-hal yang tak diinginkan, pemerintah harus berani mengambil langkah untuk menarik mundur kebijakan ini.
Terakhir, pemerintah juga harus menjamin bahwa PTM dilaksanakan secara inklusif. Unicef mendorong pemerintah untuk menjadikan kegiatan PTM ini sebagai ajang menekan kesenjangan dalam pendidikan yang kian melebar di kala pandemi.
Utamakan keselamatan
Terganggunya ritme pembelajaran dapat berdampak buruk pada kemampuan belajar anak. Apalagi, dampak ini jauh lebih berat dirasakan oleh anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Semakin lama anak-anak ini tak bersekolah, semakin tinggi kemungkinan anak-anak ini untuk putus sekolah. Padahal, putus sekolah bisa berdampak ke berbagai permasalahan, seperti meningkatnya risiko kehamilan remaja, eksploitasi seksual, pernikahan anak, dan kekerasan terhadap anak.
Selain itu, secara umum, tutupnya sekolah juga tak baik bagi pertumbuhan anak. Tutupnya sekolah bisa mengganggu kesahatan mental anak karena hilangnya dukungan psikososial serta dapat menyebabkan stres dan kecemasan karena hilangnya interaksi dengan teman sebaya. Maka, bagaimanapun juga, kegiatan belajar secara langsung di sekolah memang tak tergantikan bagi tumbuh kembang anak.
Kebijakan uji coba PTM yang sedang dilaksanakan di beberapa provinsi perlu untuk terus dikawal. Semoga saja, jika nanti hal terburuk terjadi, pemerintah tak segan mengambil kebijakan antisipatif yang tepat, meski itu tak populer. (LITBANG KOMPAS)