TMII, Tragedi Berdarah, dan Pergulatan Politik Soeharto
Di tengah menurunnya pengunjung TMII, pemerintah mengambil alih pengelolaannya. Langkah inovatif pemerintah ditunggu untuk menaikkan kembali pamor TMII.
Pengambilalihan operasional Taman Mini Indonesia Indah atau TMII oleh pemerintah menimbulkan riak di ruang publik. Kondisi ini membuka kembali ruang ingatan tentang pergulatan dalam mengembangkan ”Indonesia Mini” yang disebut sebagai proyek mercusuar di era Orde Baru.
Saat itu, proyek pembangunan TMII menuai banyak pertentangan dari kelompok masyarakat hingga berujung pada sebuah tragedi berdarah pada tahun 1971. Penolakan ini berkelindan dengan pergulatan politik Presiden Soeharto.
Pemerintah pada akhir Maret lalu baru saja memutuskan untuk mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah atau TMII dari Yayasan Harapan Kita. Hal ini dilakukan karena berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan legal audit FH UGM, TMII dinilai tidak memberikan kontribusi pada keuangan negara.
Sebagai tindak lanjut atas temuan ini, pada 31 Maret 2021 lalu Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah. Dalam Perpres ini diputuskan bahwa penguasaan dan pengelolaan TMII dilakukan oleh Kementerian Sekretariat Negara.
Kebijakan ini diambil di tengah fluktuasi jumlah kunjungan wisatawan ke TMII. Dalam 10 tahun terakhir, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah pengunjung tertinggi wisatawan ke TMII adalah pada tahun 2012 yang mencapai 7,8 juta orang.
Sementara pada tahun 2019, atau sebelum pandemi Covid-19, pengunjung TMII mencapai 5,1 juta wisatawan. Jika dikalikan dengan harga tiket masuk sebesar Rp 20.000 per pengunjung, TMII pada tahun 2019 memperoleh pemasukan sekitar Rp 100 miliar dari penjualan tiket.
Keputusan pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan TMII menimbulkan riak di ruang publik. Sebagian pihak mendukung upaya pengambilalihan pengelolaan TMII agar pengembangannya lebih optimal dan dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan negara. Sementara sebagian pihak lainnya mengingatkan agar pemerintah tidak menyalahgunakan pengelolaan TMII untuk mengais keuntungan pribadi maupun politik.
Riak yang ditimbulkan terkait TMII bukanlah pertama kali terjadi. Pada lustrum pertama tahun 1970-an, riak yang lebih besar pernah terjadi jelang pembangunan proyek TMII yang saat itu disebut dengan beragam nama seperti proyek miniatur Indonesia, Indonesia mini, dan Indonesia Indah. Mengapa proyek ini menimbulkan persoalan jelang pembangunannya?
Baca juga: Merugi dan Tunggak Pajak, Pemerintah Ambil Alih Pengelolaan TMII
Gagasan ”Indonesia Mini”
Proyek ini bermula dari gagasan dari Ibu Negara Siti Hartinah Soeharto atau Tien Soeharto yang disampaikan dalam pertemuan dengan pengurus Yayasan Harapan Kita pada 13 Maret 1970 di Jalan Cendana, Jakarta. Munculnya ide ini tidak terlepas dari beragam kunjungan yang dilakukan oleh Soeharto beserta Ibu Negara ke berbagai obyek wisata monumental di berbagai negara, salah satunya adalah Tim Land atau Thailand in Miniature.
Ada dua faktor pendorong yang melandasi munculnya gagasan ini. Pertama, munculnya keinginan untuk memperkenalkan budaya Indonesia di mata internasional. Daerah Indonesia yang begitu luas perlu diwakili oleh satu obyek yang dapat digunakan untuk mengenal ragam kebudayaan Indonesia. Kedua, pembangunan miniatur Indonesia dinilai perlu dilakukan untuk membangkitkan rasa cinta masyarakat kepada Indonesia.
Jika mengaitkan kedua faktor pendorong ini dengan zeitgeist atau jiwa zaman pada masa Orde Baru, terlihat jelas bahwa proyek ini adalah bagian dari skema pembangunan skala besar dalam pemerintahan Soeharto. Selain itu, meski Presiden Soeharto saat itu menolak menyebut pembangunan TMII sebagai proyek mercusuar, sangat sulit untuk memisahkan pembangunan TMII dari bagian ”politik mercusuar” Soeharto.
Pasalnya, proyek ini adalah pembangunan berskala besar dan memiliki tujuan untuk memperlihatkan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia di mata dunia internasional.
Mengingat banyaknya kekayaan budaya Indonesia yang akan dibuat dalam bentuk miniatur, pada tahap perencanaan dibutuhkan lahan minimal seluas 100 hektar. Oleh sebab itu, TMII akhirnya dibangun di kawasan yang saat ini terletak di Kecamatan Kramat Jati dan Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, karena memiliki ketersediaan lahan yang cukup.
Pertentangan
Namun, pembangunan proyek ini ternyata tidak seindah tujuan yang digaungkan. Sejak pertama kali dicetuskan pada tahun 1970, beragam batu sandungan silih berganti menghambat proses pembangunan.
Batu sandungan pertama muncul pada tahun 1971. Protes dilakukan oleh lebih dari 300 kepala keluarga terkait ganti rugi lahan dan bangunan. Pemerintah dinilai memberikan ganti rugi yang terlalu rendah untuk pembangunan proyek yang saat itu disebut sebagai proyek miniatur Indonesia.
Ketentuan ganti rugi lahan kala itu diatur dalam surat keputusan Gubernur DKI Jakarta. Adapun jumlah ganti rugi tanah yang ditetapkan adalah senilai Rp 100 per meter persegi (m2). Sebagai perbandingan, saat itu harga beli tanah di sekitar lokasi pembangunan TMII sekitar Rp 325 per m2. Artinya, masyarakat yang terdampak pembangunan TMII hanya menerima ganti rugi lahan sepertiga dari harga tanah.
Sementara ganti rugi lainnya mencakup tanah garapan (Rp 60 per m2), rumah permanen (Rp 6.400 per m2 ), rumah semipermanen (Rp 3.200 per m2), tanaman keras menghasilkan (Rp 1.920 per pohon), dan tanaman keras yang belum menghasilkan (Rp 480 per pohon). Persoalan ganti rugi ini berujung pada permohonan bantuan masyarakat terdampak pada lembaga bantuan hukum (LBH) yang saat itu dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution (Kompas, 26 Mei 1971).
Setelah berjuang selama lebih dari tiga bulan, pemerintah akhirnya memberikan kenaikan ganti rugi lahan sebesar Rp 10 menjadi Rp 110 per m2. Ganti rugi ini masih jauh dibandingkan tuntutan dari masyarakat terdampak pembangunan yang sebelumnya meminta sebesar Rp 250 per m2.
Batu sandungan berikutnya adalah rangkaian aksi penolakan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat di sejumlah daerah. Pesannya yang disampaikan relatif sama, yakni meminta pemerintah untuk menunda pembangunan proyek miniatur Indonesia karena dinilai sebagai pemborosan anggaran.
Pembangunan TMII pada awal rancangan proyek ditaksir menghabiskan dana hingga Rp 10,5 miliar. Pembiayaan pembangunan ini salah satunya berasal dari sumbangan setiap daerah. Daerah tingkat I atau provinsi diminta untuk menyumbang dana sebesar Rp 40 juta hingga Rp 50 juta.
Aksi penolakan dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat. Pada 16 Desember 1971, misalnya, para mahasiswa yang tergabung dalam ”Gerakan Penghematan” mendatangi Badan Perancang Pembangunan Nasional untuk menyatakan protes terkait pembangunan TMII.
Pasalnya, proyek ini dinilai sebagai langkah untuk menghamburkan uang. Menurut perhitungan para mahasiswa dan pelajar saat itu, dana untuk pembangunan TMII dapat digunakan untuk membangun tujuh kampus sebesar Universitas Gadjah Mada (Kompas, 17 Desember 1971).
Aksi protes juga dilakukan di Bandung, Jawa Barat, pada 21 Desember 1971. Selain mahasiswa, para budayawan juga turut hadir dan mengeluarkan petisi untuk meminta pemerintah menunda pembangunan TMII. Dalam aksi ini, para mahasiswa dan budayawan menyuarakan bahwa pembangunan TMII tidak sesuai dengan semangat penghematan yang digaungkan oleh pemerintah saat itu.
Gelombang penolakan juga tampak di luar Pulau Jawa. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, sejumlah kelompok pemuda, pelajar, dan mahasiswa menyuarakan penolakan terhadap pembangunan TMII karena dianggap sebagai pemborosan. Aksi yang dilakukan adalah dengan pendekatan intelektual, yakni melakukan diskusi dengan pemerintah daerah dan menyampaikan gagasan melalui media massa setempat.
Baca juga: KPK Kawal Penuntasan Aset Negara di Monas dan Taman Mini
Peristiwa berdarah
Di tengah gencarnya penolakan, peristiwa yang memilukan terjadi di Jalan Matraman Raya, Jakarta, pada 23 Desember 1971. Saat itu, sekitar 20 pemuda yang menamakan diri Gerakan Penyelamat Uang Rakyat bermaksud untuk menemui pengurus proyek pembangunan TMII ataupun pengurus Yayasan Harapan Kita.
Namun, karena tidak ada pengurus yang dapat ditemui, peserta aksi memutuskan untuk menunggu di depan gedung setelah memasang spanduk bertulisan ”Sekretariat Pemborosan Uang Negara”.
Tak lama berselang, sekelompok orang tak dikenal tiba di sekitar lokasi peserta aksi dan langsung mengeluarkan senjata menuju para pemuda yang sedang menanti pengurus proyek TMII. Serangan secara tiba-tiba ini mengejutkan peserta aksi dan wartawan yang sedang meliput.
Setelah selesai menyerang, sekelompok orang bersenjata tersebut segera melarikan diri. Menurut catatan wartawan Kompas yang saat itu meliput aksi ini, terdengar sekitar 10 kali suara tembakan.
Akibat peristiwa ini, tiga peserta aksi mengalami luka-luka. Dua orang di antaranya tusukan belati dan rencong, sementara satu orang lainnya terkena tembakan pada bagian paha. Peristiwa berdarah ini nyaris luput dari ingatan publik dalam sejarah pembangunan TMII.
Hingga awal tahun 1972, terdapat sembilan orang yang ditangkap pihak kepolisian. Dari seluruh orang-orang yang ditangkap, polisi mengonfirmasi terdapat anak anggota ABRI di antaranya. Sayangnya, tidak ada kejelasan terkait latar belakang penyerangan dan kaitannya dengan unsur politik ataupun pemerintahan.
Baca juga: Pengelolaan Taman Mini Akan Dialihkan ke BUMN Pariwisata
Pergulatan politik
Di balik sejumlah aksi protes dan peristiwa berdarah dalam pembangunan TMII, hal menarik yang perlu dicermati adalah pergulatan politik Presiden Soeharto. Meski tidak banyak bicara tentang proyek TMII, pergulatan politik tampak dilakukan oleh Soeharto untuk menjaga agar proyek ini tetap berjalan tanpa adanya hambatan berarti.
Pergulatan ini salah satunya tampak ketika banyaknya aksi protes yang dilakukan di sejumlah daerah terkait pembangunan proyek miniatur Indonesia. Pada awal Januari 1972, Soeharto dengan gaya khasnya menegur tindakan masyarakat yang dinilai menimbulkan kekacauan, khususnya terkait pembangunan TMII.
”...Kalau ada perbedaan wajar, tapi kalau ini mengganggu stabilitas nasional....,” ujar Soeharto yang tidak melanjutkan kalimatnya (Kompas, 7 Januari 1972).
Menurut Soeharto, proyek ini memberikan keuntungan bagi pariwisata daerah karena dapat memancing wisatawan untuk mengunjungi lokasi aslinya setelah melihat miniatur di Jakarta. Selain itu, proyek ini juga diyakini akan membuka lapangan pekerjaan jika jumlah wisatawan ke daerah meningkat.
Pergulatan politik lainnya tampak saat Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ditunjuk sebagai pimpinan proyek atau project officer pembangunan TMII. Padahal, pemerintah melalui Sekretaris Kabinet Sudharmono, maupun Presiden Soeharto, telah menegaskan bahwa pembangunan TMII bukanlah proyek pemerintah, melainkan proyek swasta.
Soeharto sendiri pernah menjawab kaitan antara penunjukan Ali Sadikin sebagai pimpinan proyek dan pembangunan TMII yang dicap sebagai proyek mercusuar. Menurut Soeharto, hal ini sama sekali tidak memiliki keterkaitan. Namun, jawaban ini tidak dilanjutkan dengan penjelasan terkait alasan di balik penunjukan Ali Sadikin sebagai pimpinan proyek.
Soeharto bahkan secara tegas menyatakan bahwa proyek pembangunan TMII telah dibawa ke persoalan politik karena sejumlah pihak mencoba mengaitkannya dengan penunjukan Ali Sadikin dan keterlibatan Ibu Negara. Menurut Soeharto, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjatuhkan Soeharto sebagai presiden.
Terkait isu ini, Soeharto mempersilakan untuk melakukannya melalui sidang istimewa MPR. ”Jangan coba-coba melakukan hal-hal yang tidak konstitusionil, sebab saya akan hantam siapa saja,” kata Soeharto dalam sebuah kegiatan (Kompas, 7 Januari 1972).
Dalam autobiografinya yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Soeharto mengenang tentang sikapnya untuk menindak siapa pun yang menghalangi pembangunan TMII secara tidak demokratis. Menurut dia, hal ini dilakukan agar tujuan untuk membangun suatu pusat kebudayaan dapat tercapai.
”Kalau mereka tidak mengerti akan kalimat ’tidak akan saya biarkan’, terus terang saja, akan saya tindak,” ujar Soeharto seperti yang dituliskan kembali oleh Ramadhan KH dan G Dwipayana dalam autobiografi Soeharto.
Peresmian
Di tengah berbagai polemik terkait pembangunan TMII, tragedi berdarah, hingga pergulatan politik dari Presiden Soeharto, TMII akhirnya selesai dibangun dan diresmikan pada 20 April 1975. Pada saat itu juga Yayasan Harapan Kita yang dipimpin Ibu Negara Tien Soeharto menyampaikan pernyataan penyerahan TMII kepada Pemerintah Indonesia.
Namun, Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1977 yang berisi tentang keputusan penyerahan penguasaan dan pengelolaan TMII pada Yayasan Harapan Kita. Sejak saat itulah TMII resmi dikelola oleh yayasan tersebut.
Kini, TMII kembali diambil alih oleh pemerintah. Tentu menarik untuk ditunggu langkah inovatif dari pemerintah untuk kembali membangkitkan TMII setelah mengalami penurunan jumlah pengunjung hingga 78 persen sepanjang tahun 2020 akibat pandemi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?