Literasi Membuka Peluang Perbaikan Ekonomi
Budaya literasi yang kuat berkorelasi dengan perbaikan tingkat pendapatan dan IPM yang tinggi.
Keberhasilan perekonomian suatu negara tidak hanya bergantung pada kinerja indikator-indikator pembentuknya. Lebih mendasar, literasi turut menentukan dan menjadi peluang kemajuan ekonomi.
Dalam teori ekonomi yang umum digunakan saat ini, manusia atau tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi untuk menghasilkan output selain faktor modal. Secara keseluruhan, output tersebut tercatat sebagai produk domestik bruto (PDB).
Itu sebabnya Adam Smith, Bapak Ekonomi Dunia, dalam bukunya, The Wealth of Nations, merumuskan pemikirannya mengenai output sebagai sebuah fungsi matematis dari kapital dan tenaga kerja.
Teori tersebut menunjukkan, manusia itu sendiri juga merupakan modal perekonomian suatu negara. Meski demikian, modal manusia harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni.
Kehadiran masyarakat yang berpengetahuan ini merupakan suatu tatanan masyarakat yang memiliki budaya literasi. Literasi dikenal sebagai kemampuan membaca dan menulis serta pengetahuan dalam bidang tertentu. Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup juga merupakan bagian dari literasi.
Jika tingkat literasi baik, indeks pembangunan manusia (IPM) pun akan baik. Hasil korelasi yang menggunakan metode analisis Pearson membuktikan hal tersebut. Nilai korelasi 0,89 menunjukkan, budaya literasi mempunyai hubungan yang signifikan dan sangat kuat menjelaskan IPM.
Arah korelasi positif bermakna jika budaya literasi semakin tinggi, IPM juga akan semakin tinggi. Keduanya akan menentukan tingkat produktivitas seseorang sebagai tenaga kerja. Survei yang dilakukan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) di beberapa negara membuktikan hal tersebut.
Jerman, Norwegia, dan Amerika Serikat menjadi bukti negara-negara dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi seiring dengan tingginya kemampuan membaca dalam bekerja.
Baca juga: Kemudahan Akses dan Budaya Membaca Mengungkit Literasi
Budaya literasi
Selain meningkatkan produktivitas, budaya literasi dan IPM yang tinggi pada gilirannya akan membuat tingkat pendapatan individu juga lebih baik. Analisis korelasi kembali menunjukkan hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara budaya literasi dan IPM dengan PDRB per kapita, masing-masing 0,50 dan 0,45.
PDRB per kapita tersebut secara keseluruhan akan membentuk tingkat pendapatan nasional (PDB). Hasil analisis keduanya pun menunjukkan tingkat korelasi yang cukup kuat, yakni 0,49.
Ekonom Theodore Schultz mengatakan, peningkatan pendapatan tidak bergantung pada tanah, peralatan atau energi, tetapi bergantung pada pengetahuan. Schultz merupakan salah seorang pemikir ekonomi yang meyakini bahwa modal manusia adalah faktor penting dalam perekonomian serta pengetahuan menjadi modal penting bagi manusia itu sendiri.
Bagi Indonesia, meski masih dalam besaran yang rendah, budaya literasi tahun 2019 tercatat lebih baik daripada tahun sebelumnya. Berdasarkan survei BPS, nilai budaya literasi tahun 2018 sebesar 55,03. Tahun berikutnya, nilai tersebut meningkat 4,08 poin menjadi 59,11.
Peningkatan itu tak lepas dari kinerja baik tiga dimensi yang menjadi tolok ukurnya. Pertama, penduduk usia lebih dari 10 tahun yang membaca selain kitab suci baik cetak maupun elektronik. Nilainya meningkat dari 45,72 pada tahun 2018 menjadi 46,11 tahun berikutnya.
Membaca menjadi salah satu ukuran penting tingkat literasi suatu negara. OECD dalam programme for international student (PISA) juga mengikutsertakan kemampuan membaca sebagai salah satu penilaian, selain matematika dan sains.
Kendati sejatinya kemampuan membaca di Indonesia sebesar 371 masih harus diperjuangkan. Nilai tersebut berada di bawah rerata ASEAN dan OECD, bahkan jauh di bawah Malaysia dan Singapura, merujuk data 2018.
Baca juga: Urgensi Meningkatkan Literasi Digital
Taman bacaan
Dimensi kedua pembentuk nilai budaya literasi adalah kunjungan ke perpustakaan atau taman bacaan oleh penduduk usia lebih dari 10 tahun. Masih merujuk survei BPS, nilainya sangat kecil, yakni 12,83 pada 2019, meningkat 0,67 poin daripada tahun sebelumnya.
Kondisi tersebut seolah mementahkan prestasi Indonesia sebagai negara dengan jumlah perpustakaan terbanyak kedua di dunia. Muhammad Syarif Bando, Kepala Perpusnas dalam Rakornas Perpustakaan tahun 2019, mengatakan, jumlah perpustakaan Indonesia 164.610 (termasuk taman bacaan), terbanyak kedua setelah India (323.605).
Namun, dalam kesempatan yang berbeda, Laporan Kinerja Perpustakaan 2016 menyebutkan bahwa ketersediaan perpustakaan secara nasional hanya memenuhi 20 persen dari total kebutuhan. Saat itu, jumlah perpustakaan di Indonesia sudah mencapai 154.359 unit (Kompas.id, 4/4/2021).
Salah satu yang minim ketersediaannya adalah perpustakaan umum di desa/kelurahan (perpusdes), yakni hanya 26 persen dari kebutuhan. Faktor ini boleh jadi membuat tingkat kunjungan ke perpustakaan sangat rendah.
Merujuk Peraturan Perpustakaan Nasional, untuk mendirikan perpusdes harus mengacu sistem pelayanan yang baku. Boleh jadi hal inilah yang membuat ketersediaannya minim.
Sejatinya, hal ini dapat dijawab dengan penyediaan taman bacaan masyarakat (TBM) desa. Penyelenggaraan TBM desa lebih fleksibel dan dikelola mandiri oleh masyarakat. Pengadaannya pun didukung oleh pemerintah melalui dana desa, di mana semua desa mendapatkannya.
Data dalam Sistem Informasi Pembangunan Desa Kementerian Desa menunjukkan, anggaran dana desa untuk perpustakaan/TBM desa sebesar Rp 396,41 miliar pada 2019. Besarannya terus bertambah dari tahun ke tahun. Hanya saja anggaran tahun 2020 lebih sedikit karena difokuskan untuk penanganan Covid-19.
Jumlah desa yang memanfaatkan dana desa untuk perpusdes/TBM pun kian bertambah. Tahun yang sama, 10.169 desa memanfaatkannya, meningkat hampir delapan kali lipat sejak 2015.
Bantuan internet
Selain perpustakaan dan TBM, internet sejatinya turut membantu sebagai wadah bagi masyarakat untuk mencari ilmu dan pengetahuan. Kebiasaan mengakses internet pun menjadi salah satu tolok ukur budaya literasi oleh BPS.
Dibandingkan dengan dua dimensi lainnya, peningkatan penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengakses internet adalah yang tertinggi. BPS mencatat, nilainya mencapai 51,11 pada 2019.
Fakta ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan literasi penduduknya, sembari menyediakan fasilitas seperti perpustakaan ataupun TBM. Hal ini seiring dengan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia, yakni 197,7 juta penduduk pada kuartal II-2020 menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
Bagaimanapun Indonesia harus segera mengatasi ketertinggalan tingkat literasi. Sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan kinerja ekonomi jika semua penduduknya memiliki tingkat literasi yang tinggi. (LITBANG KOMPAS)