Mencermati Risiko Kejahatan Anak di Dunia Maya
Kepemilikan media pornografi pada anak meningkat tajam dari 94 kasus tahun 2019 menjadi 348 kasus tahun 2020.
Sejak pandemi Covid-19 berlangsung, ancaman kejahatan pornografi dan eksploitasi seksual anak di internet meningkat. Perlu upaya antisipasi dan pengawasan lebih melekat dari orangtua akan tingginya ketergantungan anak terhadap internet.
Terungkapnya kasus eksploitasi seksual anak pada awal tahun 2021 oleh Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya yang menemukan 91 korban anak di bawah 18 tahun menambah panjang kasus eksploitasi dan prostitusi anak.
Sebelumnya, akhir tahun 2020 di Pontianak, Kalimantan Barat, terjadi kasus sekitar 60 anak di bawah umur sudah ”dipesan” untuk malam pergantian Tahun Baru 2021.
Bahkan, berdasarkan investigasi yang dilakukan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah Provinsi (KPPAD) Kalimantan Barat, selama tahun 2020 sekitar 500 anak di bawah umur diduga sudah terlibat dalam jaringan prostitusi daring yang menjebak mereka melalui berbagai iming-iming.
Latar belakang anak masuk dan terlibat dalam prostitusi sangat beragam, mulai dari kemiskinan keluarga, desakan kebutuhan ekonomi pribadi, hingga tuntutan gaya hidup (hedonisme). Mirisnya, dalam kasus di Pontianak ada anak yang mengaku terpaksa melakukan praktik prostitusi daring karena membutuhkan uang untuk membeli telepon genggam dan kuota internet demi belajar daring.
Terungkapnya kasus-kasus di atas bisa jadi hanya merupakan fenomena gunung es, di mana kasus yang tidak terungkap lebih banyak dan lebih besar. Masalahnya sudah menggurita dan sangat mengkhawatirkan. Catatan Unicef, menurut data tahun 2018, sekitar 12 persen anak Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Selama sepuluh tahun terakhir, laporan pengaduan bidang masalah kejahatan seksual pada anak yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menunjukkan tren peningkatan. Dari tahun 2011 hingga Agustus 2020, kasus pornografi dan kejahatan siber yang dilaporkan ke KPAI tercatat 4.448 kasus, sedangkan untuk kasus perdagangan orang (trafficking) dan eksploitasi ada 2.473 laporan.
Tahun 2020, ketika dunia sedang sibuk menghadapi pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda, KPAI menerima laporan 88 kasus terkait dengan perdagangan orang dan eksploitasi. Berkaitan dengan masalah kejahatan seksual, ada 13 pengaduan anak korban prostitusi, 12 anak korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA) dan 10 anak korban perdagangan orang. Dalam lima tahun terakhir, ketiga jenis kasus itu menyumbang pengaduan terbanyak dalam bidang perdagangan orang dan eksploitasi.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga mencatat ada kenaikan sebesar 62,5 persen dalam kasus perdagangan perempuan dan anak, dari 216 kasus tahun 2019 menjadi 315 kasus tahun 2020.
Lonjakan terjadi kasus terkait kejahatan seksual, baik perdagangan anak maupun eksploitasi, selama pandemi ini tak lepas dari pengaruh pemanfaatan gawai yang semakin masif. Hal ini menjadi keprihatinan karena semakin terbukanya celah terjadi kejahatan seksual pada anak, utamanya melalui media sosial.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Tak Surutkan Kejahatan pada Anak
Paparan medsos
Pada saat pandemi Covid-19 mengalihkan pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran daring, anak semakin bergantung pada internet dan menghabiskan banyak waktunya dengan gawai. Pada saat yang sama, pelaku kejahatan seksual yang menargetkan anak terus mengincar melalui berbagai cara.
Survei nasional KPAI 2020 merekam sebagian besar anak (79 persen) diizinkan orangtuanya menggunakan gawai selain untuk belajar. Hasil survei juga memberikan gambaran sebanyak 34,8 persen anak menghabiskan waktu 2 sampai 5 jam per hari mengakses gawai di luar kepentingan belajar, bahkan seperempat anak dalam survei tersebut menggunakan gawainya lebih dari 5 jam per hari.
Baca juga: Pandemi Menguji Resiliensi Anak
Situasi pandemi dan kelekatan anak dengan dunia digital melalui gawai tersebut jelas menjadi celah masuknya konten negatif dan terjadinya kejahatan siber. Terbukti, hasil survei KPAI tersebut menemukan lebih dari separuh anak mendapatkan pengalaman negatif selama mengakses internet, dari mulai dikirimi gambar atau video tidak sopan hingga dibujuk untuk mengirim foto atau video tidak sopan.
Rinciannya, sebanyak 22 persen anak mengaku melihat tayangan atau iklan tidak sopan, 15 persen anak mendapat kiriman gambar/foto/video tidak sopan, dan 3 persen anak bahkan diminta untuk membuat dan mengirim foto/video yang tidak sopan.
Tak pelak, kejahatan siber terjadi melalui paparan konten pornografi yang memanfaatkan beragam media sosial sebagai pintu masuk. Jajak pendapat yang dilakukan U-Report 2018 merekam hampir semua (95 persen) anak muda menyatakan kekerasan atau kejahatan seksual di ranah daring merupakan persoalan nyata bagi anak. Dari hasil jajak tersebut, 68 persen responden juga menyatakan Facebook merupakan platform media sosial di mana anak paling rentan mendapat risiko kejahatan seksual saat sedang ”online”.
Sulitnya membedakan anak benar-benar mengakses internet untuk keperluan pendidikan atau hal lainnya merupakan dilema sekaligus tanggung jawab orangtua dan lingkungan sekitarnya. Orangtua diharapkan memastikan anak aman dalam berinternet dan memberikan pemahaman agar anak hati-hati dalam berselancar karena kejahatan siber kini mudah memasuki ranah privat.
Semakin sering anak menggunakan gawai tanpa pengawasan dan bimbingan, bisa meningkatkan risiko anak terpapar konten negatif dan anak yang rentan bisa menjadi incaran dan korban kejahatan seksual daring.
Sayangnya, hasil survei KPAI menemukan secara umum orangtua tidak melakukan pendampingan ketika anak main gawai selama pandemi ini dan mayoritas anak dan orangtua tidak memiliki aturan penggunaan gawai.
Baca juga: Pemerintah Kembali Lakukan Survei Nasional
Pengawasan
Data pengaduan yang masuk ke KPAI merupakan fakta yang memperjelas eksploitasi seksual anak secara daring benar-benar ada. Dalam lima tahun terakhir terlihat baik anak sebagai korban maupun pelaku kejahatan seksual daring, anak korban pornografi dari media sosial, dan anak pelaku kepemilikan media pornografi semakin jamak terjadi.
Saat pandemi, anak pelaku kepemilikan media pornografi justru meningkat tajam, dari 94 kasus tahun 2019 menjadi 348 kasus tahun 2020. Tentu hal ini menjadi sebuah catatan di balik masifnya penggunaan internet pada masa pandemi.
Situasi pandemi dan kelekatan anak dengan dunia digital membutuhkan edukasi dan pengawasan yang lebih melekat di dalam rumah. Cara anak berinteraksi dengan internet menjadi salah satu tantangan pengasuhan anak pada era digital demi menghindari celah masuknya kejahatan siber.(LITBANG KOMPAS)