Penyebab Teroris Menargetkan Polisi
Aksi serangan terhadap polisi tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Pola penyerangan lebih kurang sama, yakni dengan melakukan bom bunuh diri atau serangan yang dilakukan secara individu.
Aksi serangan dan teror yang menargetkan kantor polisi identik dengan serangan teroris. Upaya deradikalisasi perlu menyelami genealogi paham terorisme.
Rangkaian aksi penyerangan dan teror terhadap pihak kepolisian baik di Indonesia maupun luar negeri memang identik dilakukan oleh kelompok jaringan teroris. Dalam laporan Global Terrorism Overview: Terrorism in 2019, serangan kepada polisi (anggota ataupun infrastrukturnya) berada di posisi kedua target terbanyak aksi terorisme. Pada 2019, serangan atau aksi teror oleh kelompok jaringan teroris terhadap polisi berjumlah 1.359 serangan, lebih sedikit dibandingkan 2018 dengan jumlah 1.624 serangan.
Sementara itu, di posisi teratas target teroris adalah warga sipil dan fasilitas umum. Kedua variabel ini digabungkan oleh Global Terrorism Database (GTD) karena saling terkait dan dalam praktiknya sulit dibedakan antara keduanya. Pada 2019 terdapat total 2.987 serangan teroris terhadap warga sipil dan fasilitas umum.
GTD memetakan aksi-aksi terkait terorisme di seluruh dunia guna membantu penanganan aksi deradikalisasi dan ekstremisme oleh petugas di setiap negara. Secara umum pada 2019 terdapat hampir 8.500 serangan teroris di seluruh dunia yang menewaskan lebih dari 20.300 orang, termasuk 5.460 pelaku dan 14.840 korban.
Nyatanya, aksi serangan kepada polisi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lain. Pola penyerangan lebih kurang sama, yakni dengan melakukan bom bunuh diri atau serangan yang dilakukan secara individu. Penyelidikan setempat juga menemukan bahwa para pelaku terkait erat dengan jaringan organisasi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Pada 2015, seorang perempuan melakukan bom bunuh diri dan menewaskan satu anggota polisi. Pelaku menargetkan kantor polisi yang letaknya berdekatan dengan Blue Mosque dan Museum Hagia Sophia. Lokasi ini merupakan salah satu destinasti wisata yang ramai dikunjungi para pelancong di Istanbul, Turki.
Berikutnya pada 2016, polisi Perancis terpaksa menembak mati seorang pria yang mencoba masuk ke kantor polisi Paris sambil mengacungkan pisau. Pria tersebut membawa selembar kertas yang bergambar bendera NIIS. Peristiwa ini terjadi setahun setelah peristiwa penyerangan kantor Charlie Hebdo oleh kelompok jaringan teroris.
Pada tahun yang sama, aksi bom bunuh diri juga terjadi di Yaman, Timur Tengah. Pelaku bom bunuh diri menargetkan para anggota baru kepolisian yang tinggal di kompleks pelatihan. Akibatnya, 25 orang meninggal akibat ledakan oleh anggota NIIS tersebut.
Setahun berselang, tepatnya 31 Agustus 2017, serangan bom bunuh diri oleh kelompok jaringan NIIS terjadi di Algeria, Afrika Utara. Kali ini, pelaku meledakkan diri di kantor polisi dan menewaskan dua polisi. Melansir Reuters, sebelumnya di Algeria seorang militan mencoba meledakkan dirinya di sebuah kantor polisi di Konstantin pada April 2017 dan seorang lainnya ditembak mati dalam upaya pengeboman di kota yang sama pada Februari 2017.
Paling baru, aksi bom oleh jaringan teroris terjadi pada Desember 2020 di Rawalpindi, Pakistan. Setidaknya 25 orang terluka akibat ledakan bom dekat kantor polisi. Sepuluh hari sebelumnya juga terjadi serangan bom di lokasi lain yang membunuh seorang warga dan membuat tujuh orang terluka.
Ubah sasaran
Selama satu dekade ini, polisi kerap menjadi sasaran aksi terorisme di Indonesia. Harian Kompas mencatat, sebelum 2010, gerakan teroris di Indonesia menargetkan orang asing dan simbol asing, seperti hotel, mal, atau restoran. Namun, sejak 2010, jaringan kelompok teroris mengubah sasaran teror, salah satunya polisi.
Sebagai contoh, pada 9 September 2004, kelompok teroris meledakkan bom di depan Kedutaan Besar Australia dan menewaskan 5 orang serta menyebabkan ratusan orang terluka. Selanjutnya, pada 1 Oktober 2005, sebanyak 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat aksi bom bunuh diri oleh kelompok teroris. Begitu juga yang terjadi pada 17 Juli 2009, bom meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta.
Hingga Maret 2021, Litbang Kompas mencatat ada 14 peristiwa serangan ke kantor polisi yang dilakukan oleh jaringan kelompok teroris. Dimulai pada 22 September 2010, kelompok bersenjata menunggangi sepeda motor dan melayangkan peluru panas berkali-kali ke arah Markas Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara. Tidak jelas motif para pelaku, tetapi berdasarkan penyelidikan diduga mengarah pada jaringan kelompok teroris.
Selang setahun, tepatnya pada April 2011, serangan jaringan kelompok teroris terjadi lagi. Kali ini, pelaku melakukan aksi bom bunuh diri di dalam masjid Mapolres Kota Cirebon saat ibadah shalat Jumat. Akibat peristiwa ini, pelaku tewas di tempat dan 27 orang mengalami luka-luka. Aksi bom bunuh diri juga terjadi pada 2013 dan 2016.
Meski demikian, 2018 menjadi tahun ditemukannya aksi serangan terbanyak ke kantor polisi oleh jaringan kelompok terorisme. Empat serangan tercatat dari Januari hingga Mei 2018. Pada tahun ini pula terdapat aksi bom bunuh diri di tiga tempat ibadah di Surabaya, yaitu di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan.
Rupanya, aksi menggemparkan pada 2018 bukan sebuah momen puncak dari aksi serangan kelompok jaringan teroris. Tahun berikutnya, 2019, tiga serangan ke kantor polisi kembali terjadi dan dua di antaranya merupakan aksi bom bunuh diri. Dua aksi bom bunuh diri kala itu terjadi di pos polisi lalu lintas pertigaan Kartasura, Jawa Tengah, dan di Markas Polrestabes Medan, Sumut.
Seakan tidak tertelan pandemi, pada 2020 juga terjadi satu aksi serangan ke kantor polisi. Kali ini, seorang pemuda dengan atribut NIIS menyerang Markas Kepolisian Sektor Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Akibat penyerangan dengan senjata tajam itu, seorang polisi meninggal di lokasi.
Kejadian paling anyar, awal tahun ini, ada dua serangan kelompok jaringan teroris yang menargetkan rumah ibadah dan Markas Besar (Mabes) Polri. Ironisnya, serangan bersenjata ke Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021) lalu itu dilakukan seorang pelaku seorang diri. Pelaku diduga kuat dari jaringan teroris dan memiliki kemiripan pola (meninggalkan surat wasiat) dengan pelaku bom bunuh diri di rumah ibadah di Makassar pada Minggu (29/3/2021) sebelumnya.
Serangan-serangan terorisme ini seakan tidak kunjung usai, padahal sepanjang 2020 tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri telah berhasil menangkap para pelaku yang diduga kuat berafiliasi dengan jaringan teroris. Di sisi lain, aksi penangkapan ini juga menjadi pemicu bagi para pelaku untuk menyerang polisi. Salah satunya diduga tidak terlepas dari pengaruh terpidana terorisme Aman Abdurrahman.
Aman, yang dipenjara pada 2005-2008 karena kasus terorisme, setelah pengungkapan ledakan di rumah kontrakannya di Depok, Jawa Barat, menyerukan perubahan sasaran serangan teror dari warga negara asing menjadi polisi melalui ceramah dan buku-bukunya.
Kebencian Aman kepada Polri tidak terlepas dari langkah Densus 88 Antiteror Polri yang menangkap sejumlah anggota teroris yang terlibat pelatihan militer di Aceh tahun 2010. Maret 2010, Aman ditangkap atas perannya sebagai penyandang dana pelatihan itu (Kompas, 27/5/2017).
Hal senada juga dikatakan oleh Staf Khusus Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suaib Tahir kepada Kompas dalam wawancara pada 2019 lalu. Ia menuturkan, polisi menjadi target utama serangan teror dikarenakan efek dendam dari kelompok teroris. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum juga menjadi target yang harus diserang oleh para teroris.
Deradikalisasi
Meski demikian, alasan balas dendam terhadap aparat penegak hukum justru menyiratkan tanda tanya atas upaya deradikalisasi yang selama ini dilakukan. Aparat terkait perlu benar-benar memahami genealogi terorisme, khususnya di Indonesia.
Mark Juergensmeyer dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2001) menjelaskan keterkaitan erat antara radikalisme dan paham ideologi agama tertentu. Menurut Juergensmeyer, radikalisasi merujuk pada proses seseorang melakukan transformasi pemikiran dan pemahaman atas kondisi normal masyarakat menuju kondisi yang tidak normal, seperti pembolehan melakukan tindakan kekerasan.
Selama satu dekade ini, polisi kerap menjadi sasaran aksi terorisme di Indonesia.
Radikalisme ditentukan oleh persepsi tertentu, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, psikologi, kegagalan politik, pemahaman agama, atau kebijakan pemerintah, yang berlawanan dengan individu tentu, tidak hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi.
Buku ini menjadi reaksi atas peristiwa 9/11 di Amerika Serikat pada 2001. Penekanan Juergensmeyer ada pada alasan ideologi keagamaan yang sering kali menjadi motivasi untuk melegitimasi aksi teror yang dilakukan. Oleh karena itu, fundamentalis agama lebih mengutamakan doktrin agama daripada toleransi yang berdasarkan cinta dan penghormatan hak asasi manusia.
Pandangan Juergensmeyer kemudian dilengkapi oleh John Horgan melalui buku Walking Away from Terrorism: Accounts of Disengagement from Radical and Extremist Movements (2009). Horgan berpendapat bahwa upaya deradikalisasi harus dilakukan dari berbagai aspek sebagai strategi pencegahan alternatif dari kontraterorisme yang cenderung menggunakan kekerasan atau pendekatan militeristik (hard measure). Selanjutnya, Horgan memberikan contoh nyata dari lingkaran setan terorisme ini.
Ia menyorot peristiwa pemberontakan di Boko Haram yang sudah dimulai pada 2002. Kala itu, Nigeria mengerahkan kekuatan militer dan meminta bantuan negara lain, salah satunya AS, untuk menumpas para pemberontak. Akan tetapi, aksi kekerasan masih berkembang dan meluas karena adanya semangat balas dendam terhadap pemerintah dari kelompok ini.
Oleh sebab itu, Horgan menyatakan bahwa alih-alih mengubah pemikiran radikal individu atau kelompok, upaya deradikalisasi yang tidak paham konteks justru memicu aksi radikalisme dalam bentuk lain. Maka, kesimpulan ada pada konteks hidup individu atau kelompok tersebut yang pada umumnya hidup dalam situasi ekonomi sulit.
Maka, yang dibutuhkan adalah membantu kemandirian hidup berupa akses ekonomi, modal usaha, literasi ekonomi, dan sejenisnya guna menjauhkan individu atau kelompok dari aksi-aksi pemberontakan serupa.
Baca juga : Evolusi Terorisme di Indonesia
Kedua argumen yang disampaikan oleh para penulis ini perlu diletakkan pada konteks upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan NIIS saat itu. Tentu saja, untuk upaya deradikalisasi di Indonesia perlu disesuaikan kembali dengan konteksnya. Salah satunya ialah dengan terus menyuarakan semangat toleransi dalam hidup beragama dan bermasyarakat.
Contoh nyata ditunjukkan oleh Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) yang selama ini berupaya secara mandiri untuk membantu para narapidana teroris yang telah bebas. Dengan jaringan yang mereka miliki, para anggota YLP menawarkan bantuan pekerjaan bagi narapidana teroris yang telah bebas dari tahanan. YLP sebagai yayasan swadaya bergerak di bidang control flow integrity, yang berupaya menjauhkan mantan narapidana terorisme dari sifat-sifat destruktif. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Terorisme yang Bermain di Dua Kaki