Aman Berkendara, Selamat di Jalan Raya
Merujuk data WHO yang sama, pada tahun 2016 jumlah kematian pengguna jalan terbanyak ada di India, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Polisi berdiskusi saat olah tempat kejadian perkara (TKP) kasus tabrak lari dengan menggunakan teknologi analisis kecelakaan lalu lintas (traffic accident analysis/TAA), Rabu (17/3/2021), di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Mobilitas penduduk Indonesia yang tinggi harus dibarengi prosedur keamanan ketat ketika berkendara. Hal ini sangat diperlukan sebab dalam lima tahun terakhir jumlah kematian pengguna jalan di Indonesia masih sangat besar.
Perjalanan di luar rumah menjadi hal yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyakarat. Berbagai macam aktivitas yang dilakukan warga membuat destinasi dari setiap perjalanan itu menjadi sangat bervariasi, dari berbelanja di pasar, bekerja di kantor, berkunjung ke rumah kerabat, berwisata ke luar kota, hingga pulang kampung.
Untuk menggapai beragam lokasi tujuan itu, moda transportasi pribadi khususnya kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) tampaknya masih senantiasa menjadi primadona mayoritas masyarakat. Hal itu terlihat dari data statistik komuter yang dikumpulkan BPS. Contohnya statistik komuter Jabodetabek tahun 2019 yang menyebutkan enam dari sembilan komuter di kawasan itu menggunakan sepeda motor sebagai transportasi utama.
Hal serupa juga terlihat pada komuter di kawasan Medan-Binjai-Deli Serdang (Mebidang). Tahun 2019, tujuh dari sepuluh komuter di sana menggunakan moda transportasi yang sama. Begitu juga di kawasan Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan (Gerbangkertosusilo) yang bahkan mencapai delapan dari sepuluh komuter.
Pengguna kendaraan pribadi ini membutuhkan kesadaran tinggi dalam menerapkan prosedur keselamatan. Ini berbeda dengan transportasi umum yang dikelola perusahaan dengan standar yang harus dipatuhi operator dan penumpangnya, seperti kecepatan KRL yang tidak boleh melebihi 70 km per jam. Demikian juga sabuk pengaman penumpang yang harus dipasang dalam setiap penerbangan di pesawat terbang.
Kesadaran dari setiap penggunaan kendaraan pribadi inilah yang agaknya sulit diterapkan. Menurut data Global Status Report On Road Safety 2018 (WHO), kepatuhan pesepeda motor di Indonesia masih belum terlalu baik. Hal itu terindikasi dari tingkat penggunaan helm yang baru sebesar 71 persen dan tingkat penggunaan sabuk pengaman bagi pengendara mobil hanya sebesar 69 persen.
Baca juga: Transportasi yang Melipat Kepadatan Jalanan
Peringkat Ketiga
Merujuk data WHO yang sama, pada tahun 2016 jumlah kematian pengguna jalan terbanyak ada di India, Amerika Serikat, dan Indonesia. Dari data yang dilaporkan, jumlah kematian India sangat ekstrem dibandingkan negara lain, yaitu sebesar 150.785 jiwa atau 22,6 orang per 100.000 penduduk. Sementara di AS jumlahnya 35.092 jiwa atau 12,4 per 100.000 orang.
Setelah itu baru disusul Indonesia dengan 31.282 jiwa atau estimasi sebesar 12,2 per 100.000 penduduk. Sementara itu, merunut pilihan moda bermobilitas mayoritas warga, korban pengendara motor roda dua maupun roda tiga juga menduduki porsi terbesar sebesar 73,6 persen. Kemudian pejalan kaki (15,5 persen), sopir atau penumpang mobil roda empat (4,9 persen), dan pesepeda (3,2 persen).
Banyaknya jumlah kematian pengguna jalan di Indonesia bukanlah tanpa sebab. Di bagian hilir, beberapa respon pascakejadian kecelakaan belum lengkap tersedia di Indonesia. Menurut hasil indentifikasi WHO, call center ketika terjadi kecelakaan baru melingkupi sebagai wilayah saja seperti call center 112 yang baru berlaku 61 pemda pada pertengahan tahun 2020.
Nomor panggilan darurat ini pun baru dimulai secara mandiri sejak tahun 2016 oleh Provinsi DKI Jakarta, Kota Surabaya, serta 10 kota lain sebagai proyek percontohan. Selain kecelakaan, nomor ini juga digunakan untuk mempercepat pertolongan kepada masyarakat yang tertimpa kondisi gawat darurat lainnya, mulai dari kebakaran, kerusuhan, bencana alam, hingga masalah kesehatan.
Baca juga: Moda Transportasi Higienis, Penyebaran Virus Tertangkis
Sementara itu, di bagian hulu sebagai antisipasi terjadinya kecelakaan terdapat beberapa kebijakan yang juga belum lengkap tersedia. Contohnya, meski telah diterapkan batas kecepatan maksimal ketika berkendara di area perkotaan (50 km/jam), luar kota (80 km/jam), dan jalan tol (100 km/jam), upaya penegakannya kerap kali masih dilakukan secara manual dan kurang konsisten.
Akibatnya, kerap kali terjadi kecelakaan ketika pengendara tidak dapat mengendalikan kendaraannya dalam kecepatan tinggi. Ambil contoh kecelakaan fatal sebuah minibus di Jalan Magelang Km 8 Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 5 Oktober 2020 lalu. Melalui analisis rekaman CCTV oleh Polres Sleman, diketahui bahwa kecelakaan yang merenggut empat korban jiwa itu terjadi akibat mobil melaju sangat kencang di kawasan padat lalu lintas.
Begitu juga aturan kadar alkohol dalam darah sebagai salah satu komponen dalam izin mengemudi. Di Indonesia, peraturan bebas alkohol bagi pengemudi sudah tersedia, tetapi belum ada standar baku terkait batas maksimum kadar alkohol dalam darah. Sebagai contoh, kebijakan di Swiss sebagai negara minim kecelakaan menerapkan maksimal kadar alkohol dalam darah sebesar 0,05 g/dl.
Sementara itu, khusus pengendara motor belum ada peraturan larangan penumpang anak kecil. Di sejumlah negara, peraturan ini diterapkan berdasarkan batas usia dan batas tinggi badan. Contohnya di Luksemburg, Lituania, dan Kirgistan melarang penumpang motor di bawah usia 12 tahun. Sementara di Lesotho ada larangan untuk penumpang dengan tinggi kurang dari 150 cm.
Kesadaran warga
Di balik belum lengkapnya sektor regulasi, pemerintah telah memberlakukan sejumlah peraturan untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan. Itu dimulai dari kewajiban membawa SIM bagi setiap pengendara bermotor, mengenakan helm bagi pesepeda motor, sabuk pengaman bagi pengendara mobil, hingga rambu-rambu keselamatan di sepanjang jalan.
Meski demikian, kecelakaan dapat tetap terjadi karena beberapa faktor. Mengutip modul Pengenalan Rekayasa Keselamatan Jalan (PU, 2016) di antaranya faktor manusia, faktor kendaraan, serta faktor jalan dan lingkungan. Dari ketiganya, faktor manusia memiliki andil paling besar karena berkaitan dengan kondisi fisik dan mental, sikap berkendara, dan keterampilan mengemudi.
Senada dengan itu, penilaian Ivan Firnanda, Ketua Road Safety Association (RSA) Indonesia yang menengarai, mayoritas kecelakaan lalu lintas akibat faktor manusia. Ketika pengendara lengah, mengantuk, kelelahan, atau ugal-ugalan, potensi kecelakaan terjadi. Oleh karena itu perlu tiga faktor keamanan berlalu lintas, yaitu peraturan, keterampilan mengemudi, dan sikap(Kompas.id, 15/11/2020).
Menengok mobilitas warga yang sangat tinggi, prosedur keselamatan dalam berkendara harus menjadi kesadaran bersama. Pengguna angkutan umum maupun angkutan pribadi, harus berkendara dengan aman agar menciptakan ekosistem transportasi jalan raya yang menunjang keselamatan bersama. Sebab, di setiap perjalanan pengguna jalan selalu ada keluarga yang menanti di rumah. (LITBANG KOMPAS)