Kisah Dua Dekade Sjamsul Nursalim
Keputusan KPK mengeluarkan SP3 terhadap kasus Sjamsul Nursalim menjadi antiklimaks di tengah penantian publik terhadap penuntasan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Buah dari revisi terhadap UU KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi memutuskan untuk menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim sekaligus mengakhiri kelumit kisah yang terukir selama lebih dari dua dekade. Kisah ini menjadi antiklimaks di tengah penantian publik terhadap penuntasan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
KPK pada 31 Maret lalu akhirnya memutuskan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan Sjamsul Nursalim beserta istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. Keputusan ini cukup mengejutkan mengingat besarnya energi yang dihabiskan untuk mengusut kasus yang diduga merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Penerbitan SP3 dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) dari KPK pada 2020 lalu. Pengajuan PK ini terkait dengan putusan MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan hukum.
Syafruddin adalah mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang pada 2004 mengeluarkan surat pembebasan dari tuntutan hukum (release and discharge) dalam bentuk Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
Sebelum mengajukan kasasi, Syafruddin divonis 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena terbukti merugikan negara dalam penerbitan SKL BLBI. Hukuman ini diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Di balik putusan ini, apa kaitan kasus Sjamsul Nursalim dengan Syafruddin Arsyad Temenggung? Dan, bagaimana kisah Sjamsul Nursalim hingga akhirnya terjerat kasus BLBI yang berakhir dengan SP3 dari KPK?
Baca juga: Benang Kusut Praktik Korupsi
Bantuan likuiditas
Untuk memahami kasus ini, perlu dipahami terlebih dulu tentang kebijakan pemerintah dalam memberikan bantuan likuiditas bagi perbankan pada 1997. Saat itu, perbankan tengah dilanda kesulitan karena tekanan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Menurut catatan Kompas, jika pada 31 Juli 1997 nilai tukar rupiah mencapai Rp 2.608 per dollar AS, maka pada 30 Desember 1997 nilainya melemah hingga menyentuh Rp 5.050 per dollar AS.
Kondisi ini membuat perbankan goyah. Apalagi, pada saat yang bersamaan, masyarakat yang panik memutuskan untuk mengambil uang yang masih tersimpan di bank. Dalam dunia perbankan, fenomena ini dikenal dengan sebutan rush money, yakni mengambil uang yang masih tersimpan di bank secara serentak.
Hantaman ini tentu membuat likuiditas perbankan terganggu. Secara sederhana, likuiditas perbankan dapat dipahami sebagai kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya. Misalnya, ketika nasabah ingin menarik uang Rp 1 miliar, bank tersebut harus memiliki uang senilai Rp 1 miliar. Atau, ketika nasabah ingin mencairkan dana deposito, perbankan harus siap dengan jumlah dana yang akan ditarik.
Akan tetapi, pelemahan nilai tukar rupiah, penarikan uang secara masif, hingga kredit macet akibat krisis moneter turut memengaruhi likuiditas perbankan. Untuk itu, pemerintah memutuskan untuk memberikan bantuan likuiditas.
Artinya, pemerintah memberikan dana talangan atau pinjaman kepada bank agar mampu memenuhi kebutuhan likuiditas di tengah situasi yang serba sulit saat itu. Bantuan inilah yang dikenal dengan istilah BLBI atau bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Bantuan likuiditas diberikan guna menjaga kondisi perbankan dan ekonomi nasional. Harapannya, bank tetap mampu bertahan dan tidak kolaps atau bangkrut di tengah terpaan krisis moneter yang mengganggu roda perekonomian negara.
Lalu, apa kaitan BLBI dengan Sjamsul Nursalim?
Baca juga: Sulitnya KPK Menangkap Buronan
Bank Dagang Nasional Indonesia
Saat banyaknya bank menerima bantuan likuiditas, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dipimpin oleh Sjamsul Nursalim juga turut menerima bantuan ini. Pemberian bantuan likuiditas diberikan di tengah dominasi BDNI di sektor perbankan. Pada awal 1997, BDNI adalah bank terbesar keempat di Indonesia. Dua tahun sebelumnya, bank ini menjadi satu dari 20 perusahaan pembayar pajak perusahaan dan perorangan terbesar di Indonesia.
Bantuan likuiditas yang diterima oleh BDNI cukup fantastis. Menurut catatan arsip Kompas, hingga awal 1998, BDNI telah menerima bantuan likuiditas sekitar Rp 17,4 triliun untuk mengatasi penarikan deposito dan tabungan secara massal. Bantuan dana ini meningkat hingga mencapai Rp 27,6 triliun pada pertengahan tahun 1998.
Menyadari pentingnya kesehatan perbankan di tengah ancaman krisis, pemerintah pada 27 Januari 1998 membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas memulihkan kesehatan bank-bank umum di Indonesia. Setiap bank yang mengalami kesulitan keuangan akan berada di bawah pengawasan BPPN.
BDNI adalah salah satu bank yang berada di bawah pengawasan BPPN. Artinya, bank ini dinilai memiliki kesulitan keuangan meski sudah disuntik bantuan likuiditas oleh pemerintah. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan mengingat besarnya dana yang telah dipinjamkan oleh pemerintah untuk menjaga kesehatan perbankan.
Melihat kondisi BDNI yang tak kunjung membaik, pada Agustus 1998, atau sekitar tiga bulan setelah pergantian pemerintahan, keputusan tegas diambil oleh pemerintah. Selain menghentikan sementara perdagangan saham BDNI, bank ini juga dibekukan oleh pemerintah. BDNI pun resmi berstatus sebagai Bank Beku Operasi (BBO).
Sebelumnya, BPPN juga telah mencium sejumlah kejanggalan dalam laporan BDNI. Salah satunya adalah terkait dengan kredit yang disalurkan BDNI senilai Rp 16,9 triliun. Dari jumlah ini, sebesar 76 persen di antaranya diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau berkaitan dengan Sjamsul Nursalim.
Padahal, modal yang dilaporkan BDNI adalah sebesar Rp 1,3 triliun. Dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) untuk pihak terkait sebesar 20 persen atau Rp 260 miliar, kredit yang disalurkan telah melebihi hampir 50 kali dari jumlah maksimum yang ditentukan oleh Bank Indonesia saat itu (Kompas, 10 Februari 2000).
Untuk menyelesaikan segala persoalan tentang pembayaran pinjaman likuiditas, pada September 1998 dilakukan perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset atau master of settlement and acquisition agreement (MSAA). Sederhananya, pinjaman likuiditas yang diberikan dapat dibayar melalui jaminan aset yang diberikan oleh perbankan. Hal ini telah disepakati oleh pemegang saham BDNI dan BPPN.
Menurut catatan Kompas pada 10 Februari 2000, jumlah utang BDNI kepada pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh BPPN, mencapai Rp 47,3 triliun. Utang ini terdiri dari BLBI sebesar Rp 30,9 triliun, deposito dan pinjaman sebesar Rp 7,1 triliun, pinjaman kepada Bank Indonesia melalui skema penjaminan sebesar Rp 4,7 triliun, serta surat kredit dan utang lainnya sebesar Rp 4,6 triliun.
Baca juga: Sulitnya KPK Menangkap Buronan
Jaminan aset
Inilah salah satu persoalan yang menjerat Sjamsul Nursalim. Jika merujuk pada program MSAA, Sjamsul diharuskan untuk membentuk sebuah perusahaan induk. Perusahaan induk inilah yang memiliki utang kepada BPPN untuk melunasi kewajiban dari BDNI.
Kebijakan ini disebut sebagai settlement amount atau utang yang jumlahnya telah ditentukan dalam perjanjian sebelumnya. Besaran utang yang ditetapkan untuk dilunasi dalam jangka waktu empat tahun adalah sebesar Rp 28,4 triliun.
Setelah dihitung, total nilai saham perusahaan Sjamsul Nursalim mencapai Rp 27,4 triliun. Artinya, masih terdapat kekurangan sekitar Rp 1 triliun yang harus dibayarkan. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, ternyata nilai perusahaan tersebut dianggap terlalu tinggi oleh BPPN. Bahkan, jika semua aset perusahaan dijual, pemerintah baru mendapatkan sekitar 20-25 persen dari total utang Sjamsul Nursalim.
BPPN pun menilai Sjamsul Nursalim telah ingkar janji terhadap aset yang dijanjikan, terutama tentang Dipasena, aset tambak terbesar di dunia di Lampung yang dijaminkan kepada BPPN. Setelah ditelisik, aset tersebut hanya sebatas kolam dan air (Kompas, 10 Februari 2000).
Sejak saat itu, nama Sjamsul Nursalim kerap disebut dalam berbagai pembahasan tentang BLBI. Persoalan ini semakin meruncing setelah Sjamsul ditetapkan sebagai tersangka pada Oktober 2000 dalam kasus pelanggaran BLBI. Ia diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 7,28 triliun.
Kasus ini sempat menjadi berita hangat pada paruh kedua tahun 2001. Pada Mei 2001, Kejagung mengizinkan Sjamsul Nursalim untuk berobat ke Jepang. Namun, kebijakan ini justru mempersulit upaya pemeriksaan. Bahkan, pada November 2001, Kejaksaan Agung meminta bantuan Interpol untuk membahwa Sjamsul kembali ke Indonesia. Menurut keterangan dari penasihat hukumnya, Sjamsul saat itu sedang berada di Singapura untuk menjalani pengobatan (Kompas, 29 November 2001).
Desakan untuk penuntasan kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim juga disuarakan oleh tim bantuan hukum yang dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Pada Juni 2002, tim ini merekomendasikan kepada KKSK untuk segera menindak Sjamsul secara perdata dan pidana. Pasalnya, Sjamsul dinilai masih belum memenuhi kewajiban sebesar Rp 28,4 triliun kepada negara dari total kewajiban Rp 47,3 triliun (Kompas, 11 Juni 2002).
Pada akhir tahun 2002, pemerintah mencoba cara lain untuk menyelesaikan polemik pembayaran utang dari penerima bantuan likuiditas. Hal ini dilakukan oleh Presiden RI ke-4, Megawati Soekarnoputri, dengan menerbitkan instruksi presiden (inpres) mengenai penanganan para obligor atau debitor yang telah memenuhi kewajiban penyelesaian kewajiban pemegang saham. Dalam aturan ini, pemerintah memberikan surat jaminan pembebasan dari proses ataupun tuntutan hukum bagi obligator yang kooperatif dan memenuhi kewajibannya.
Terkait dengan kebijakan ini, nama Sjamsul Nursalim ramai disebut akan menerima jaminan pembebasan hukum. Apalagi. Pada Januari 2004, Sjamsul juga telah menyerahkan semua aset yang dimilikinya kepada BPPN.
Pada Maret 2004, Sjamsul telah membayar senilai Rp 1 triliun dan menyerahkan aset yang dimiliki, seperti menyerahkan aset Gajah Tunggal Tyre, tambak udang Dipasena, dan Petrochemical Tyre. Namun, untuk memastikan pelunasan utang, BPPN harus menghapusbukukan utang dari Dipasena agar tidak lagi ada tagihan setelah aset diberikan kepada pemerintah.
Pada 26 April 2004, BPPN akhirnya mengeluarkan surat pembebasan dari tuntutan hukum (release and discharge) dalam bentuk Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. SKL diberikan dengan pertimbangan bahwa Sjamsul telah melunasi kewajiban membayar utang kepada negara sebesar Rp 28,4 triliun. Pada Juli 2004, Sjamsul juga menerima surat perintah penghentian penyidikan perkara (SP3) dari Kejaksaan Agung.
Baca juga: Hentikan Penyidikan Kasus BLBI, KPK Dinilai Mulai Dilemahkan
Babak baru
Keputusan pemberian SKL bagi Sjamsul Nursalim dipertegas oleh hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2006. Dalam auditnya terhadap kinerja BPPN, BPK menemukan tidak ada persoalan terkait dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham BDNI.
Akan tetapi, setelah penerbitan SKL dan SP3, nama Sjamsul Nursalim masih terus menghiasi jagat pemberitaan hingga tahun-tahun setelahnya. Pada Mei 2008, misalnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membatalkan SP3 BLBI PT BDNI milik Sjamsul Nursalim.
Namun, pada September 2008, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima eksepsi Jaksa Agung yang mengajukan permohonan banding terhadap putusan PN Jakarta Selatan. Artinya, SP3 kasus Sjamsul tetap berlaku.
Pada 2011, nama Sjamsul juga pernah dibicarakan terkait dengan kepergiannya ke luar negeri. Namun, saat itu kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail, menegaskan bahwa Sjamsul bukanlah buron dan memiliki izin resmi dari pemerintah untuk keluar negeri.
Nama Sjamsul juga pernah disebut oleh KPK pada Desember 2014. Saat itu, KPK berencana memanggil Sjamsul untuk memintai keterangan terkait dengan pemberian SKL kasus BLBI.
Babak baru kasus BLBI pada akhirnya kembali dibuka tahun 2017. Saat itu, audit investigatif BPK mengungkap ada indikasi tindak pidana korupsi atas penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI.
Total kerugian negara ditaksir Rp 4,58 triliun. Menurut BPK, audit kali ini secara spesifik bertujuan menghitung kerugian negara dan berbeda dengan audit tahun 2006 yang berbentuk audit kinerja.
Hasil audit ini segera ditanggapi Sjamsul Nursalim. Melalui kuasa hukumnya, Sjamsul menggugat auditor BPK ke Pengadilan Negeri Tangerang terkait dengan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK.
Sjamsul akhirnya harus kembali berurusan dengan persoalan hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Juni 2019. Sekitar tiga bulan berselang, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, masuk ke dalam daftar pencarian orang setelah mangkir beberapa kali dari panggilan KPK.
Baca juga: Kasus yang Sudah Di-SP3 KPK Dinilai Tetap Bisa Dibuka Kembali
Protes
Pada akhirnya, persis seperti 17 tahun silam, kasus ini kembali berakhir dengan SP3 bagi Sjamsul. Di satu sisi, kuasa hukum Sjamsul, Otto Hasibuan, menilai KPK telah memberikan keputusan yang tepat mengingat telah ada putusan MA terkait dengan Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Ketua BPPN yang memberikan SKL kepada Sjamsul.
Di sisi lain, keputusan ini juga menimbulkan kritik dari kalangan masyarakat. Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, menilai keputusan ini sebagai efek buruk dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengubah UU KPK sebelumnya.
Salah satu persoalannya adalah kewenangan pemberian SP3 yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004. Saat itu, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang menerbitkan SP3 demi menjaga penyalahgunaan wewenang di lingkungan KPK.
Pada akhirnya, kasus ini memang menjadi antiklimaks di tengah penantian publik terkait dengan penyelesaian kasus BLBI. Meski demikian, kasus ini masih memiliki kemungkinan untuk kembali dilanjutkan melalui gugatan praperadilan terhadap kebijakan KPK dalam mengeluarkan SP3. Akankah ini menjadi muara kisah dari pengusutan kasus BLBI? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?