Potensi film lokal ditumbuhkan melalui komitmen dari pekerja film hingga pemerintah demi memajukan perfilman nasional. Pandemi tidak boleh dibiarkan memukul mundur harapan ini.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Film lokal di platform digital diminati publik. Potensi ini perlu ditumbuhkan melalui komitmen dari pekerja film hingga pemerintah demi memajukan perfilman nasional. Pandemi tidak boleh dibiarkan memukul mundur harapan ini.
Kompas
Bu Tejo, salah satu karakter dalam film pendek Tilik yang viral di media sosial. Film buatan tahun 2018 itu diluncurkan pada 17 Agustus 2020 dan mendapatkan respons hangat dari warganet.
Pada 30 Maret 1950, napas perfilman nasional dimulai dengan pengambilan gambar pertama Darah dan Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh H Usmar Ismail. Tahun ini, perayaan Hari Film Nasional (HFN) ke-71 juga sekaligus memperingati bakti Usmar Ismail sebagai pelopor perfilman Indonesia.
HFN mendorong inisiasi dari semua pihak untuk turut mengembangkan perfilman nasional, baik dari pemerintah daerah, asosiasi, komunitas film, maupun masyarakat pada umumnya. Tahun pandemi 2020 menjadi masa lalu untuk dievaluasi demi penyesuaian hulu hingga hilir industri perfilman yang lebih berkualitas di masa mendatang.
Antusiasme publik untuk menikmati film tidak surut. Namun, ada peralihan media menonton dari platform konvensional ke digital. Hal ini dapat dilihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada 16-18 Maret 2021 terhadap 518 responden di seluruh Indonesia. Dari riset tersebut ditemukan, 34,5 persen responden menonton film Indonesia selama enam bulan terakhir.
Antusiasme publik untuk menikmati film tidak surut. Namun, ada peralihan media menonton dari platform konvensional ke digital.
Pilihan kanal untuk menonton terpusat pada media di ranah digital. Dari total responden yang menonton film Indonesia tersebut, 56,3 persen menonton lewat layanan pelantar digital (streaming) gratis, seperti Youtube. Sementara 36,5 persen melalui layanan pelantar digital berbayar.
Antusiasme juga ditunjukkan dengan peningkatan jumlah pelanggan layanan pelantar digital berbayar. Data Pemandangan Umum Industri Film Indonesia 2020 menunjukkan, pelanggan aktif Netflix pada 2020 menjadi 906.000 atau naik 88 persen daripada tahun sebelumnya.
Peningkatan ini pun direspons penyedia layanan dengan peningkatan jumlah film Indonesia yang ditayangkan. Pada rentang 2000-2009, hanya ada 62 judul film Indonesia. Sementara pada 2010-2019, ada 349 judul film atau naik hampir enam kali lipat.
Film lokal
Berbicara film lokal, fenomena film Tilik tidak dapat dilepaskan dari linimasa tahun 2020. Animo masyarakat pada film ini merembet pada film lokal lainnya yang ditayangkan di platform Youtube. Tilik menjadi penabuh bagi sineas film sekaligus pemerintah untuk terus mendukung produksi film di aras lokal.
Film Tilik diunggah akun Youtube Ravacana Films pada 17 Agustus 2020. Dalam lima hari penayangan, yakni hingga 21 Agustus 2020, film ini ditonton 3,9 juta kali. Terakhir, pada 28 Maret 2021, film ini telah ditonton 25,4 juta kali. Jumlah penonton ini adalah sebuah pencapaian.
Meski tidak bisa diperbandingkan, film terlaris di Indonesia selama 15 tahun terakhir yang diputar di bioskop saja hanya mencapai 6,9 juta penonton, yakni film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang tayang tahun 2016.
Dalam analisis Google Tren, pencarian dengan kata kunci ”film tilik” mencapai puncak (100 poin) pada rentang 23-29 Agustus 2020. Kemudian menurun tajam pada hari-hari berikutnya. Tren yang serupa dijumpai pada pencarian dengan kata kunci ”Bu Tedjo”, tokoh sentral dalam film tersebut.
Di Twitter, pembicaraan dengan tagar #BuTedjo dipakai oleh 7.000 akun dalam lima hari pertama sejak film Tilik ditayangkan. Unggahan di Instagram, pesan di Whatsapp, dan platform lainnya sempat ramai dengan stiker dan meme tentang Bu Tedjo.
Meski sekejap, viralnya film Tilik menyumbang narasi penting dalam pengenalan film lokal ke publik luas. Film Tilik memicu gelombang antusiasme masyarakat dalam menonton film pendek yang mengangkat kedaerahan.
Misalnya saja, film-film pendek lokal, seperti Lemantun (2014), Nilep (2015), Singsot (2016), Anak Lanang (2017), Pemean (2020), dan Marak (2020), yang ditonton lebih dari satu juta kali.
Fenomena film Tilik menyumbang dua pemahaman, yakni konten film pendek lokal terbukti menarik penonton. Kedua, pentingnya peran pemerintah atau swasta dalam menyokong aspek finansial pembuatan film.
Film-film pendek yang mudah diakses oleh publik mau tidak mau harus didistribusikan secara murah atau bahkan gratis sehingga pembuatannya tidak berorientasi pada keuntungan. Film Tilik, misalnya, merupakan salah satu film yang didanai oleh Dinas Kebudayaan, Pemerintah Daerah Yogyakarta.
Artinya, dukungan dari pemerintah daerah punya peran untuk ikut mengembangkan perfilman nasional. Apalagi di tengah situasi pandemi ini, karakter publik cenderung mengakses film di platform digital secara gratis.
Sayangnya, belum banyak pemerintah yang memberikan dukungan finansial pada pembuatan film lokal. Dukungan pemerintah daerah pada umumnya terbatas pada dukungan formal atau kemudahan dalam memproses perizinan lokasi.
Dukungan dari pemerintah daerah punya peran untuk ikut mengembangkan perfilman nasional.
Layar mandiri
Di tengah pandemi, pemutaran film alternatif di tempat selain bioskop makin memegang peran penting dalam diseminasi film dan pengetahuan sinema bagi publik. Kerja ini pun tidak bisa dipisahkan dari komunitas film yang tidak hanya memproduksi film, tetapi juga menggelar ekshibisi, diskusi, dan penyelenggaraan layar-layar mandiri.
Cinema Poetica Research Center pada 2016 mencatat ada 77 komunitas film yang terdata sejak 1998. Dalam Temu Komunitas Film tahun 2018 yang diselenggarakan oleh Sukabumi Sinema Indie Forum dan Spektakel, terdata 98 komunitas film yang tersebar di 41 kota/kabupaten di Indonesia. Mayoritas memang masih terpusat dari Pulau Jawa. Dengan geliat yang ada, jumlah komunitas film diprediksi terus bertambah.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu film yang diputar dalam roadshow Borneo Environment Film Festival (BEFF) 2019 dengan judul Menplak Diam untuk Hutan yang dibuat oleh komunitas Himba Indonesia di Palangkaraya, Sabtu (23/6/2019).
Dari sisi platform, pandemi juga menunjukkan bahwa moda dalam jaringan (daring) menjadi pilihan yang rasional saat ini. Andrian J Pasaribu, pendiri Cinema Poetica, dalam ”Dari Insan Film untuk Bapak Presiden” menunjukkan peluang penyelenggara festival serta layar mandiri yang dapat mengadopsi penayangan daring.
Layar mandiri melalui kanal digital meningkatkan jumlah keterpaparan masyarakat pada keragaman film Indonesia, termasuk jenis karya yang umumnya tidak beredar di bioskop, seperti film pendek, animasi, dokumenter, dan eksperimental.
Potensi ini tentunya hanya akan ada di atas kertas tanpa adanya upaya dari pemerintah untuk serius mendukung sinema virtual. Keterbatasan dalam menghadirkan tayangan, seperti keterbatasan dana, beban operasional, dan keengganan pembuat film terhadap pemutaran alternatif, bisa diatasi dengan langkah yang lebih konkret.
Di tengah antusiasme publik yang tetap ada pada film nasional, perubahan preferensi media menonton perlu disikapi bijak. Apalagi, potensi persaingan juga tinggi di tengah film-film luar negeri yang telanjur mapan dapat diakses melalui layanan pelantar digital. (LITBANG KOMPAS)