Pembatasan Periode Perkuat Sistem Presidensial (Bagian Pertama)
Wacana presiden tiga periode memunculkan polemik di ruang publik. Sejarah mencatat, pembatasan jabatan presiden adalah upaya penguatan sistem presidensial itu sendiri.
Wacana penambahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode memunculkan polemik di ruang publik. Sejarah mencatat, pembatasan jabatan presiden adalah upaya penguatan sistem presidensial itu sendiri.
Polemik perpanjangan masa jabatan presiden lima tahun ke-3 ini bermula dari pernyataan mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais. Dia mengunggah pernyataan di media sosial terkait adanya upaya Sidang Istimewa MPR yang ingin mengubah satu dua pasal dalam UUD 1945.
Salah satu pasal yang diduga Amien akan ditambahkan/diubah adalah terkait periode jabatan presiden menjadi tiga kali. Pernyataan Amien tersebut seakan menyulut sumbu bahan bakar yang sebelumnya masih samar-samar, hanya ”tercium bau”-nya, tetapi tidak tegas dinyatakan di depan publik.
Beberapa hari kemudian, Presiden Joko Widodomenjawab tegas soal isu ini. Melalui video yang diunggah di saluran Youtube Sekretariat Presiden, Jokowi menegaskan kembali sikapnya yang menolak terkait tudingan presiden tiga periode. ”Bolak-balik sikap saya enggak berubah. Saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode,” kata Jokowi.
Tulisan ini tidak membahas secara langsung tentang polemik masa jabatan presiden yang dimunculkan Amien Rais, tetapi lebih mengulas perjalanan ketentuan masa jabatan presiden selama dua periode yang merupakan salah satu buah dari gerakan reformasi 1998.
Wacana isu tiga periode jabatan presiden ini bukan hal baru. Sebelumnya, di era periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana yang sama juga muncul terkait perlunya presiden diberi kesempatan satu periode lagi.
Perbincangan soal durasi periode jabatan presiden tak bisa dilepaskan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia.
Usulan ini diembuskan sejumlah pihak yang masih menginginkan SBY menjadi presiden untuk periode ketiga. Namun, usulan ini ditolak oleh SBY. ”Enough is enough, cukup dua periode karena kita punya pengalaman sejarah di zaman yang sebelumnya,” ujar SBY saat itu.
Upaya mengubah kembali masa durasi jabatan presiden juga dilakukan dengan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi ini diajukan Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi. Mereka mengajukan uji materi terkait persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ada dua pasal yang diajukan, yakni Pasal 169 Huruf n yang berbunyi ”belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”. Selain itu juga Pasal 227 Huruf i yang berbunyi ”surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.
Kedua syarat ini dinilai multitafsir oleh pemohon uji materi karena itu mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan penafsiran lebih tegas terhadap pasal-pasal tersebut. Gerakan ini bertepatan dengan wacana untuk mengajukan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden Jokowi menjelang Pemilu 2019.
Namun, MK memutuskan tidak menerima permohonan uji materi tersebut pada 28 Juni 2018 dengan alasan pemohon tidak punya legal standing (hak menggugat) karena bukan presiden atau mantan Presiden RI.
Sistem presidensial
Perbincangan soal durasi periode jabatan presiden tak bisa dilepaskan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia. Sejarah merekam, diskusi penentuan sistem pemerintahan ini terjadi dalam panitia hukum dasar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945. Hasilnya, tim ini kemudian menyepakati bahwa Indonesia tidak memilih sistem parlementer, tetapi lebih condong ke sistem presidensial.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebutkan, pilihan kepada sistem pemerintahan presidensial lebih tepat untuk Indonesia masa depan ketika para pendiri bangsa memutuskan saat itu.
”Para bapak bangsa tidak nyaman dengan konsep kerajaan karena itu dianggap tidak bisa menjadi pedoman untuk Indonesia masa depan, maka pilihannya adalah sistem presidensial,” ungkap Feri dalam webinar bertema ”Peta Pencalonan Presiden, Setelah Gagalnya Revisi Undang-Undang Pemilu dan Gonjang Ganjing Demokrasi”, Kamis (18/3/2021).
Feri juga menjelaskan, pilihan sistem presidensial dipilih karena kontrol terhadap sistem ini terbuka dan salah satunya melalui pembatasan masa jabatan kepresidenan.
Di Indonesia, pada awalnya, pembatasan jabatan presiden hanya terkait durasi lima tahun untuk satu kali periode. Hal ini tertuang di Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Frasa ”dapat dipilih kembali” menjadi celah bahwa pembatasan masa jabatan tidak menutup peluang seseorang dapat dipilih kembali. Fakta ini terbukti dengan masa kepresidenan Soeharto di era Orde Baru selama 32 tahun lebih menjabat presiden. Di setiap lima tahun digelarnya pemilu di era Orde Baru, Soeharto menjadi satu-satunya calon presiden yang ada dan otomatis terpilih kembali.
Pengalaman kelam durasi kepresidenan di era Orde Baru ini sebenarnya bukan hal baru. Di era sebelumnya, yakni masa kepresidenan Soekarno, pada 18 Mei 1963 disebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Sebuah sejarah yang tak bisa dihapus soal bagaimana sirkulasi kekuasaan masih tertutup kala itu.
Penguatan
Untuk itulah, ketika memasuki era reformasi dilakukan upaya penguatan kembali sistem presidensial. Upaya penguatan itu dilakukan dengan jalan membatasi masa jabatan presiden agar memori kekuasaan otoritarian yang menjadi praktik kekuasaan di era Orde Baru tidak lagi terjadi.
Hal ini tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 13 November 1998. Ketetapan MPR ini mengatur bahwa pasangan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Ketetapan ini kemudian diperkuat lagi dengan upaya amendemen terhadap Pasal 7 UUD 1945. Pada Sidang Umum MPR, 14-21 Oktober 1999, dihasilkan perubahan atas Pasal 7 tersebut yang kemudian berbunyi ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Perubahan ini semakin menguatkan upaya pembatasan sebagai langkah penguatan sistem presidensial itu sendiri. Sebelumnya, pembatasan hanya sekadar soal durasi dari satu periode jabatan presiden, yakni lima tahun.
Hasil amendemen ini sekaligus membatasi upaya pencalonan kembali presiden petahana dari semula tidak ada batasan, kini dibatasi hanya boleh satu kali masa jabatan untuk perpanjangan. Artinya, maksimal seseorang menjadi presiden di Indonesia itu hanya dua periode. (LITBANG KOMPAS)