Konflik di partai politik menjadi indikator perlunya pembenahan tata kelola kepartaian. Kegagalan dalam mengelola konflik di parpol berpotensi merusak soliditas, menurunkan citra partai, dan menggerus pemilih loyal.
Oleh
Eren Marsyukrilla/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Persoalan yang terjadi di tubuh partai politik sejatinya urusan rumah tangga yang harus diselesaikan dengan mekanisme internal. Berlarutnya kekisruhan di ruang domestik partai, apalagi menjalar menjadi polemik di publik, tentu akan menjadi beban berat bagi partai tersebut.
Bagi partai politik, konflik dalam organisasi akan mendatangkan banyak kerugian. Tak hanya persoalan soliditas kader yang terdampak, perpecahan internal juga akan menimbulkan efek negatif bagi aspek elektoral partai.
Benang merah ini terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Mayoritas responden (78,5 persen) sepakat bahwa konflik internal akan berpengaruh buruk pada citra partai. Perspektif yang terbangun di ruang publik ini cukup beralasan. Berlarut-larutnya konflik akan memengaruhi kredibilitas partai politik di mata publik.
Sejalan dengan hal itu, jajak pendapat juga menangkap adanya hubungan antara konflik partai dan loyalitas pemilihnya. Sebanyak 27 persen responden mengaku akan mengalihkan dukungan mereka kepada partai lain jika partai pilihannya mengalami konflik. Meskipun sikap ini masih dibayangi loyalitas pemilih lainnya, pilihan ini adalah wujud kekecewaan pemilih terhadap konflik partai.
Kecenderungan itu diutarakan responden dari kelompok pemilih dari hampir semua partai politik, termasuk Partai Demokrat yang kini sedang mengalami konflik setelah adanya sejumlah pihak yang menggelar kongres luar biasa.
Terlepas dari itu semua, ada gejala umum yang layak menjadi keprihatinan bersama. Kekisruhan partai ternyata juga melahirkan apatisme terhadap institusi partai itu sendiri. Tercatat lebih dari 26 persen responden menyatakan akan bersikap untuk tidak lagi memilih partai politik mana pun jika mengetahui partai pilihannya berkonflik.
Perebutan kekuasaan
Umumnya, konflik yang terjadi di partai politik lebih banyak didominasi urusan perebutan kekuasaan, dalam hal ini jabatan ketua umum partai. Gejala ini ditegaskan oleh pendapat responden dalam jajak pendapat Kompas bahwa semua konflik partai ini tidak lepas dari urusan perebutan kekuasaan di internal partai.
Sebanyak 49,2 persen responden berpandangan, kisruh partai bermuara pada perebutan kursi ketua umum. Persoalan lain dipicu perebutan penguasaan anggaran, krisis kepemimpinan, hingga perbedaan visi-misi antarfaksi di dalam partai.
Harus diakui, persoalan-persoalan tersebut juga berkaitan satu sama lain. Perbedaan visi atau sikap terkait isu tertentu terkadang juga memicu lahirnya dualisme partai. Sebut saja dalam hal menentukan dukungan politik yang terkadang menjadi sumber konflik di internal partai.
Hal ini pernah dialami Golkar setelah Pemilu 2014 ketika hendak memutuskan tetap berada di luar pemerintahan atau mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini kemudian melahirkan dualisme kepengurusan yang dialami partai beringin tersebut. Belakangan konflik tersebut dapat teratasi.
Konflik juga dialami Partai Amanat Nasional terkait posisi politiknya setelah Pilpres 2019 meskipun tidak melahirkan dualisme seperti yang dialami Golkar pada 2014. Hal serupa dialami Partai Berkarya yang akhirnya meruncing pada dualisme kepengurusan yang hingga kini masih dalam upaya penyelesaian di pengadilan. Kini, kasus yang sama juga dialami Partai Demokrat dengan hadirnya kepengurusan Partai Demokrat hasil kongres luar biasa.
Mekanisme internal
Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sudah mengatur langkah penyelesaian konflik partai. Pasal 32 dan 33 menjelaskan, upaya penyelesaian konflik seharusnya dilakukan dengan mekanisme internal, yakni melalui mahkamah partai. Jika upaya itu tak melahirkan solusi, baru persoalan dibawa ke pengadilan.
Bergulirnya konflik partai yang memicu perpecahan pada akhirnya membuktikan belum matangnya tradisi bermusyawarah dari para elite partai. Sejarah merekam, sejumlah konflik internal partai, setidaknya yang pernah terjadi setelah era reformasi, semuanya masuk dalam ranah hukum. Hampir tidak ada penyelesaian konflik berakhir dengan mekanisme internal partai politik.
Hampir semua konflik partai berakhir di meja hijau, mulai dari konflik Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, Partai Berkarya, hingga Partai Demokrat saat ini.
Fakta ini semakin menunjukkan bahwa penyelamatan partai dari belenggu konflik dengan menegakkan mekanisme internal memang bukan perkara mudah. Membangun sikap saling percaya, kedisiplinan, dan ketaatan pada aturan yang telah ditetapkan organisasi partai menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan di situasi konflik internal partai.
Pada akhirnya, meskipun faktanya tidak mudah, penyelesaian dengan mekanisme internal tetap harus menjadi pilihan bagi partai politik yang dilanda konflik. Sebanyak 63,6 persen responden dalam jajak pendapat ini berpandangan, semestinya konflik internal dapat diselesaikan melalui keputusan mahkamah partai tanpa melibatkan pihak eksternal.
Penyelesaian internal juga menjadi bagian penguatan kelembagaan partai itu sendiri. Apalagi, amanat undang-undang menyebutkan, semua partai politik harus memiliki lembaga penyelesaian konflik internal mereka, yakni mahkamah partai.
Meskipun upaya penyelesaian internal partai menjadi hal yang diprioritaskan, keterlibatan pemerintah dalam penyelesaian konflik juga dianggap bisa menjadi pilihan. Tentu campur tangan pemerintah yang dimaksud lebih untuk mendudukkan persoalan sesuai kewenangan dan aturan perundang-undangan, tanpa disertai intervensi terkait urusan internal partai itu sendiri.
Konflik internal partai yang berkepanjangan, terlebih yang berujung pada dualisme jabatan kepemimpinan partai, hanya akan mempertontonkan kebobrokan integritas dan ketidakberpihakan politisi pada kepentingan rakyat. Hal itu tentu bisa meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Pada akhirnya, perselisihan partai yang melahirkan konflik dan dualisme kepengurusan ini semakin menegaskan bahwa penguatan kelembagaan partai politik harus menjadi agenda serius. Pembenahan mekanisme penyelesaian konflik di internal partai harus menjadi bagian dari agenda penguatan kelembagaan partai. Sebagai institusi demokrasi, partai politik mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kualitas demokrasi. Jangan sampai demokrasi justru rusak hanya karena konflik internal partai politik.