Dualisme dan Keterpilihan Partai Politik
Dualisme kepemimpinan di parpol adalah potret kegagalan politisi partai melakukan konsolidasi internal. Ujungnya, konflik partai pun berdampak pada elektoral di pemilu.
Dualisme kepemimpinan memang menjadi mimpi buruk bagi partai politik. Tak hanya soliditas internal yang terbelah, perebutan keabsahan sang pemimpin beserta gerbong loyalis itu banyak memengaruhi sepak terjang partai, termasuk tingkat elektoral.
Dualisme yang membelit Partai Demokrat menambah daftar panjang perpecahan yang terjadi di tubuh partai politik. Penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat di Sumatera Utara yang memilih Moeldoko sebagai ketua umum menyisakan kontroversi. Polemik ini muncul karena Moeldoko yang notabene masih aktif sebagai Kepala Staf Kepersidenan bukan kader Partai Demokrat.
Kisruh perebutan pucuk kepemimpinan partai itu telah menjadi bagian dinamika perpolitikan dan demokrasi sejak lama. Sebagai organisasi politik, konflik internal telah menjadi bagian dari dinamika kelompok yang tak mungkin terhindarkan.
Kisruh internal yang berujung pada dualisme perebutan kekuasaan dan mencuat ke permukaan hingga menjadi konsumsi publik secara luas dapat dipandang sebagai puncak dari timbunan berbagai konflik di dalam organisasi yang tak pernah selesai.
Sejak sistem pemilu langsung digulirkan pada 2004, tercatat badai dualisme telah melanda internal sejumlah partai politik, antara lain Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), hingga Partai Berkarya.
Konflik internal yang dialami partai politik begitu berpengaruh pada banyak hal yang menyangkut pengelolaan organisasi. Tentu, pada akhirnya ini berimbas pada penurunan perolehan suara partai.
Tahun 2008, dualisme kepemimpinan dialami oleh PKB pada 2007. Kisruh bermula saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat Ketua Dewan Syuro memecat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai ketua umum partai.
Hal tersebut membuat kubu Cak Imin menggelar musyawarah luar biasa di Ancol, Jakarta Utara. Acara tersebut hanya berselang sehari setelah kubu Gus Dur menggelar MLB di Parung, Bogor, Jawa Barat.
MLB di Ancol yang digawangi Cak Imin memutuskan untuk mencopot jabatan Gus Dur dan digantikan Aziz Mansyur. Kisruh PKB tersebut berakhir setelah pengadilan memutuskan bahwa kepemimpinan PKB yang sah di bawah komando Cak Imin.
Di bawah kepemimpinan Cak Imin, pada gelaran Pemilu 2009, PKB hanya berhasil menguasai 4,94 persen suara. Perolehan itu turun drastis daripada pemilu sebelumnya yang mencapai lebih dari 10 persen.
Kepemimpinan Cak Imin bertahan hingga saat ini dan relatif cukup stabil pascakonflik internal tersebut, bahkan suara PKB di 2019 kembali melonjak. Namun, fakta suara PKB turun setelah terjadi dualisme adalah jejak sejarah yang tak terbantahkan.
Sejarah kelam dualisme juga pernah dialami oleh Golkar pada 2014. Saat itu, ada dua kubu yang saling berseteru berebut kursi pemimpin partai. Kubu pertama dimotori oleh Aburizal Bakrie yang terpilih sebagai ketua umum dari Musawarah Nasional (Munas) Golkar di Nusa Dua, Bali. Sementara, kubu kedua yang juga menyelenggarakan munas di Jakarta menyepakati Agung Laksono sebagai pimpinan Golkar yang sah.
Adanya dua munas yang berbeda itu terjadi akibat penyusunan rencana munas yang dinilai tak demokratis oleh sejumlah kader. Kisruh partai berlambang beringin itu mereda setelah pemerintah ikut menetapkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum Golkar yang sah secara hukum.
Masih dirundung pusaran konflik yang belum merada, ketika mengikuti pemilu pada 2014 Golkar pun harus berpuas dengan perolehan yang bergeming di angka 14,75 persen. Angka tersebut jauh menurun dari penguasaan suara Golkar di awal pemilu yang mencapai di atas 20 persen.
Di tahun yang sama, kasak-kusuk berebut kursi ketua umum juga menerpa PPP. Tak jauh berbeda dengan Golkar, perpecahan tersebut berujung pada adanya dua muktamar berbeda. Muktamar digelar di Jakarta memenangkan Djan Faridz sebagai ketua umum, sedangkan di muktamar di Surabaya justru menyepakati Romahurmuziy sebagai kader yang akan memimpin partai.
Kisruh tersebut pun bahkan membuat kubu Djan Faridz menggugat ke PTUN. Gugatan itu sempat menang hingga tingkat kasasi, tetapi kalah di peninjauan kembali. Di Pemilu 2014, PPP berhasil menguasai 6,53 persen suara dan menurun pada 2019 dengan perolehan 4,52 persen.
Jelang Pemilu 2019, giliran Hanura yang dirundung konflik antarkelompok kader yang berujung pada dualisme kepemimpinan antara Oesman Sapta Odang (OSO) dan Daryatmo. Puncak perseteruan tersebut terjadi ketika musyawarah nasional luar biasa dari 27 DPD dan 401 DPC memutuskan untuk memecat OSO sebagai ketua umum.
Belakangan diketahui bahwa Wiranto, tokoh besar Hanura, berada di balik munaslub yang digelar. Namun, pada akhirnya konflik mereda seiring pengunduran diri Wiranto dari partai untuk mengemban tugas sebagai Dewan Pertimbangan Presiden.
Di bawah kepemimpinan OSO, keterpilihan Hanura justru merosot hanya di angka 1,54 persen pada Pemilu 2019. Capaian itu membuat Hanura harus berpuas diri tak dapat melenggangkan calon legislatifnya menuju kursi DPR karena suara partai yang diraih jauh di bawah ambang batas parlemen.
Dualisme kepemimpinan tak hanya melanda partai-partai besar, tetapi juga dialami oleh pendatang baru di pemilu, yakni Partai Berkarya pada Juli 2020. Perseteruan internal tersebut terjadi antara kubu Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dan kubu Muchdi Purwopranjono (Muchdi PR).
Hasil munaslub menempatkan Muchdi PR sebagai ketua umum partai. Sementara posisi Tommy bergeser menjadi Ketua Dewan Pembina. Munaslub tersebut menjadi puncak perpecahan antarkelompok kader yang telah muncul sejak 2019.
Konflik mencuat setelah ada perbedaan dukungan yang diberikan oleh Partai Berkarya untuk dua calon presiden. Kubu Muchdi PR mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sedangkan kubu Tommy Soeharto mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Tak sampai di situ, perselisihan tersebut kembali memanas Pascapemilu 2019 yang menempatkan Berkarya sebagai salah satu partai terbawah yang tak lolos ambang batas parlemen dengan penguasaan suara hanya 2,09 persen. Kondisi tersebut dimanfaatkan kubu Muchdi PR untuk membentuk presidium penyelamat Partai Berkarya.
Citra buruk
Mencuatnya polemik di internal partai politik yang pada akhirnya menarik perhatian dan konsumsi publik secara luas tentulah sedikit banyak akan memengaruhi citra partai. Konflik di organisasi partai sedikit banyak berdampak pada perubahan perwajahan pengelolaan partai, kekuatan soliditas, hingga berbagai kepentingan politis lainnya.
Kekacauan di dalam yang berujung pada memburuknya perolehan suara membuktikan bahwa tak mudah bagi partai untuk mengembalikan gerak selaras mesin partai pasca-kekisruhan yang terjadi.
Bagaimanapun, dualisme kepengurusan menyisakan berbagai benih persoalan yang dapat mencuat kembali. Dengan begitu, proses rekonsiliasi yang ditempuh harus benar-benar dapat menjadi titik temu dari keterbelahan yang ada.
Kisruh perpecahan yang berimbas pada kondisi elektabilitas partai juga diungkap oleh hasil survei Litbang Kompas terbaru pada periode 2019 hingga awal 2021. Selama periode survei tersebut, ada dua partai yang dilanda dualisme, yaitu Hanura dan Berkarya.
Mengacu pada temuan tingkat keterpilihan publik kepada partai, perpecahan internal tersebut tak pelak membawa keterpurukan bagi elektabilitas kedua partai itu. Tercatat elektabilitas Partai Hanura dan Berkarya tak juga membaik, masih berada di bawah 1 persen.
Perpecahan yang terjadi di tubuh partai politik memang akan membawa banyak kerugian, terlebih jika hal itu harus melibatkan campur tangan dari pihak di luar partai. Dalam organisasi kepartaian, kongres atau musyawarah luar biasa sebagai upaya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan lumrah dilakukan.
Namun, dalam banyak kasus, dualisme yang mengerucut pada perebutan kepemimpinan partai kerap kali dibarengi dengan praktik politik yang mengabaikan aturan main di internal partai.
Selain soliditas yang terguncang, masalah perpecahan juga menyeret berbagai persoalan lain yang kian memperkeruh krisis. Termasuk pula saling klaim dukungan tokoh berpengaruh hingga menguak berbagai isu kebobrokan yang dilakukan sesama kader partai, tentulah hanya akan membentuk persepsi buruk publik dan ujungnya berpengaruh pada elektoral partai.
Keterpilihan sebuah partai memang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan dinamika politik dari luar. Namun, soliditas di dalam organisasi tetap menjadi sebuah modal dasar yang harus dipenuhi.
Keutuhan partai yang bergerak dalam satu komando ketua umum merupakan hal terpenting untuk dapat menjalankan segala bentuk visi dan misi, serta berbagai langkah strategis partai.
Aturan
Berbagai kisruh dualisme yang telah banyak melanda partai sudah semestinya menjadi pembelajaran dan tolak ukur seluruh pihak untuk kembali berpijak kepada aturan kepartaian. Mekanisme penyelesaian perselisihan yang terjadi di internal partai sebetulnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Dalam Pasal 32 dan 33 UU tersebut disebutkan, persoalan internal partai diselesaikan melalui pembentukan mahkamah partai dan terdapat mekanisme untuk membawa persoalan yang terjadi dalam gugatan pengadilan negeri dan Mahkamah Agung.
Secara garis besar, dalam aturan tersebut telah menjelaskan bahwa proses penyelesaian dualisme di internal partai menggunakan jalan kongres atau musyawarah luar biasa yang mengabaikan ketentuan UU kepartaian memang tidak dapat dibenarkan.
Sejatinya aturan kepartaian juga dibentuk untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan kepentingan yang berbalut isu dualisme atau memecah soliditas partai. Terlebih jika internal tersebut dimanfaatkan sebagai upaya politik yang sengaja dilakukan untuk memberikan efek kerugian bagi partai politik tertentu. (LITBANG KOMPAS)