Membaca Peluang Perdagangan Digital
Peluang pasar bagi perdagangan digital masih terbuka lebar. Persaingan antar-pemain di pasar digital juga menjadi tantangan bagi pengembangan bisnis di pasar daring ini.
Peningkatan kegiatan e-dagang atau e-commerce diperbincangkan di berbagai ruang publik. Konon, kegiatan perdagangan digital ini menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di tahun-tahun mendatang. Di tengah masyarakat Indonesia, benarkah kegiatan belanja berbasis internet semenarik itu?
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mendefinisikan e-dagang sebagai kegiatan penjualan atau pembelian barang atau jasa melalui jaringan internet. Penjual barang di internet dapat ditemukan di marketplace, situs web, media sosial, dan aplikasi pesan singkat.
Melalui empat jenis kanal tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan jumlah usaha yang berbasis internet. Hal ini dapat dilihat dari komposisi sampel usaha digital menurut awal tahun beroperasi.
Setidaknya 45,9 persen usaha beroperasi sejak tiga tahun lalu. Komposisi kedua sebanyak 38,6 persen beroperasi sejak sepuluh tahun lalu dan 15,5 persen beroperasi lebih dari sepuluh tahun.
Peningkatan penjual berbasis internet juga dapat diintip dari jumlah peserta Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas). Meski terbatas pada marketplace dan situs web, pada 2020, Harbolnas diikuti oleh 250 peserta atau meningkat 76 persen dari tahun 2015.
Selain dari sisi pelapak, prospek menggiurkan e-dagang juga diindikasikan dari pembukuan transaksi yang meningkat dan diprediksi akan terus menjulang di tahun-tahun mendatang. Bank Indonesia memperkirakan nilai transaksi pada 2020 sebesar Rp 253 triliun dan akan tumbuh 33,2 persen pada tahun 2021.
BPS juga merinci pembukuan tahunan pelaku usaha berbasis internet yang terentang hingga miliaran rupiah. Sebanyak 75,1 persen pelaku usaha digital membukukan transaksi hingga Rp 300 juta per tahun. Sementara itu, 19,6 persen membukukan hingga Rp 5 miliar dan 5,3 persen di atas Rp 5 miliar.
Dalam konteks Harbolnas, Indonesian E-commerce Association (idEA) melaporkan transaksi sebesar Rp 11,6 triliun pada Harbolnas 2020 atau naik 452 persen dari tahun 2015.
Lalu, bagaimana dengan konsumen yang berbelanja di penyedia barang dan jasa berbasis digital ini? Apakah peningkatan tersebut seiring dengan antusiasme masyarakat terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19?
Litbang Kompas pada 27 Desember 2020 hingga 9 Januari 2021 melakukan survei pada 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya, sebanyak 40,3 persen responden mengaku pernah berbelanja daring atau online. Jumlah ini mencerminkan bahwa belum ada separuh responden yang mewakili masyarakat Indonesia telah berbelanja daring.
Baca juga :https://www.kompas.id/baca/riset/2021/02/23/babak-awal-e-commerce-di-era-internet/
Angka tersebut juga dapat mengindikasikan jika belum seluruh pengguna internet di Indonesia melakukan kegiatan belanja secara daring. Merujuk survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi pengguna internet di Indonesia pada kuartal II-2020 sebesar 73,7 persen dari total penduduk Indonesia. Sebanyak 95,4 persen menjawab terhubung dengan internet melalui gawai dan 19,7 persen melalui komputer setiap harinya.
Kedua data tersebut setidaknya mencerminkan peluang sesungguhnya terkait penguatan peran e-dagang dalam ekonomi nasional. Di tengah euforia e-dagang, masih ada sejumlah masyarakat yang belum sekalipun tersentuh dengan kegiatan belanja di ranah digital.
Karakter
BPS dalam laporan Statistik E-commerce 2020 meneliti 16.277 sampel usaha umum dan menemukan 90,2 persen diantaranya telah beroperasi secara digital.
Dari seluruh usaha digital, 90,6 persen melakukan penjualan melalui pesan instan, seperti Whatsapp, Line, dan Telegram. Di urutan kedua, sebanyak 65,1 persen melalui media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Di posisi ketiga, sebanyak 25,7 persen melalui akun penjualan di marketplace dan di urutan keempat melalui situs web sebanyak 4,96 persen.
Jika di lihat dari sisi pembeli, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan mayoritas pembelanja daring, yakni 86,2 persen, lebih sering berbelanja di marketplace dan situs web.
Sementara 13,8 persen lainnya mengaku lebih sering berbelanja melalui pesan instan dan media sosial. Karakter pembelanja daring ini tebal dengan profil perempuan, berusia muda, dan memiliki pendidikan tinggi.
Tercatat juga beberapa provinsi dengan proporsi pembelanja daring yang tinggi, seperti DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Maluku, dan Papua Barat.
Tingginya antusiasme publik berbelanja di marketplace dan website mengindikasikan peluang yang besar untuk melapak di platform ini. Sebaliknya, masih minimnya minat publik berbelanja melalui pesan singkat dan media sosial mengisyaratkan adanya persaingan yang ketat di antara pelapak yang menurut data justru paling dominan berjualan di platform ini.
Meski begitu, penyedia jasa media sosial tidak mengabaikan peluang bisnis ini. Misalnya saja, pengembang platform media sosial terus berinovasi dengan menambah fitur belanja. Country Director Facebook Indonesia Pieter Lydian menyebutkan, penyediaan fitur-fitur untuk mendukung kegiatan belanja terus dikembangkan. Hal ini terkait dengan potensi bahwa sembilan dari sepuluh pengguna Instagram setidaknya sudah mengikuti satu akun bisnis (Kompas, 7/10/2020).
Persaingan juga akan memanas di antara platform media sosial dan pesan instan untuk menggaet pasar. Survei Paypal Inc memeringkat pilihan responden Indonesia terkait kegiatan social commerce ini. Di urutan pertama adalah Facebook yang dipilih oleh 92 persen responden. Berturut-turut di posisi berikutnya adalah Whatsapp (76 persen), Instagram (72 persen), dan Facebook Messenger (49 persen).
Covid-19
Pandemi Covid-19 dianggap signifikan memengaruhi peningkatan kegiatan e-dagang. Di masa ini, ruang gerak terbatas sehingga berbelanja daring adalah pilihan paling rasional. Menurut survei Litbang Kompas, baru 15,3 persen dari seluruh responden yang mengaku semakin sering berbelanja di masa pandemi.
Melihat lebih dalam, peningkatan terjadi dari responden yang sebelum pandemi sudah sering berbelanja daring dan yang hanya kadang-kadang saja. Dari total responden yang pernah berbelanja daring, 24,2 persen publik dengan frekuensi tinggi berbelanja mengaku semakin sering berbelanja di masa pandemi. Sementara sebanyak 13,9 persen publik dari frekuensi sedang mengaku kini sering belanja daring.
Tidak berbeda, karakter responden yang semakin sering berbelanja daring ini didominasi oleh perempuan dan berusia muda dengan rentang usia 24-40 tahun. Sementara dari sisi pendidikan, peningkatan ini disumbang oleh responden dengan pendidikan menengah setara SMP dan SMA.
Meski terbukti ada peningkatan, lebih dari separuh responden tidak menunjukkan adanya peningkatan belanja. Sebanyak 33,8 persen mengaku tidak ada perbedaan frekuensi belanja ketika sebelum dan di masa pandemi, Sejumlah 28,1 persen bahkan mengatakan kini lebih berkurang.
Stagnasi atau bahkan penurunan preferensi belanja masyarakat di platform daring menjadi tantangan di tengah faktor pandemi Covid-19 yang dianggap sangat mendukung. Masyarakat yang lebih berhati-hati untuk melakukan konsumsi menjadi aspek yang perlu diperhatikan.
Di tengah kesuksesan, sejumlah penyedia barang dan jasa daring tak sedikit yang mengalami masa suram hingga gulung tikar. BPS mencatat, 85,8 persen pelaku usaha digital mengalami penurunan pendapatan usaha. Terdapat 1.162 usaha yang melakukan kegiatan e-dagang selama tahun 2019 tidak berlanjut hingga 31 Agustus 2020.
Euforia kegiatan e-dagang diharapkan tidak menjadi petaka bagi pebisnis mula yang ingin menjajal beroperasi secara digital. Peningkatan di berbagai aspek tak semata menjanjikan keuntungan. Tanpa langkah yang tepat, kesuksesan e-dagang dapat menjadi bomerang bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : https://www.kompas.id/baca/riset/2021/02/19/belanja-daring-sebelum-era-internet/