Urgensi Peningkatan Keterampilan bagi Kelompok Muda
Pasar tenaga kerja telah berubah karena perkembangan teknologi dan digital. Kreativitas dan inovasi dianggap sebagai keterampilan paling penting yang diperlukan pada masa depan.
Kelompok penduduk usia muda menyadari adanya tuntutan peningkatan keterampilan demi menghadapi perubahan pasar tenaga kerja karena perkembangan teknologi dan digitalisasi. Kesadaran ini perlu direspons dengan kebijakan peningkatan keterampilan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, mulai dari sektor pendidikan hingga ketenagakerjaan.
Tantangan perubahan pasar tenaga kerja karena disrupsi teknologi semakin nyata. Pandemi Covid-19 mengakselerasi perubahan ini karena banyak perusahaan mempercepat adopsi teknologi. Karena itu, diperkirakan 85 juta pekerjaan akan tergantikan mesin dan 97 juta pekerjaan baru akan muncul.
Perubahan itu juga merombak kebutuhan tenaga kerja. Lowongan pekerjaan yang berkaitan dengan data dan teknologi semakin terbuka dan paling banyak ditawarkan dalam lima tahun ke depan.
Perubahan ini menjadi tantangan yang akan dihadapi kelompok muda sebagai pengisi pasar tenaga kerja pada masa depan. Sebagian besar kelompok ini mengaku khawatir bahwa penggunaan teknologi tidak akan memperluas kesempatan kerja. Di sisi lain, ada kesadaran bahwa situasi ini menuntut mereka untuk meningkatkan keterampilan demi menyesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Respons kelompok muda ini terekam dalam survei Forum Ekonomi Dunia pada 2019 kepada 56.000 responden berusia 15-35 tahun. Survei yang dilakukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam ini bertujuan mengetahui pandangan dan prioritas kelompok muda dalam menghadapi tantangan itu.
Hasilnya, sebagian besar responden merasa butuh peningkatan keterampilan. Lebih dari separuh (52,4 persen) responden menyadari bahwa pendidikan dan keterampilan yang dimiliki saat ini perlu diperbarui secara berkala. Kelompok muda ini menyadari bahwa kebutuhan pasar tenaga kerja pada masa depan berbeda dengan ketersediaan keterampilan tenaga kerja saat ini.
Selain itu, sebanyak 20 persen responden merasa keterampilan yang dimiliki hanya mampu bertahan lima hingga sepuluh tahun ke depan. Pada akhirnya mereka meyakini bahwa lebih dari waktu itu dibutuhkan peningkatan dan perbaruan keterampilan. Sementara 9,2 persen responden mengungkapkan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki sudah ketinggalan zaman.
Responden juga mengetahui sejumlah keterampilan yang akan dibutuhkan pasar tenaga kerja pada masa depan. Kreativitas dan inovasi dianggap sebagai keterampilan paling penting yang diperlukan pada masa depan.
Selanjutnya, secara berurutan ada keterampilan fasih berbagai bahasa, penggunaan teknologi, desain teknologi, kecerdasan emosional dan komunikasi, berpikir kritis dan analisis, manajemen dan kepemimpinan, kemampuan bertahan dan adaptasi. Sementara keterampilan eksak, seperti analis data, matematika, dan sains ada di urutan terakhir.
Pandangan kelompok muda ini sesuai dengan laporan Forum Ekonomi Dunia 2020. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa 13 dari 15 keterampilan yang paling dibutuhkan pada 2025 berkaitan dengan nonteknis. Beberapa di antaranya adalah berpikir kritis dan analitis, kreativitas, inovasi, kepemimpinan, ketahahanan, toleransi stres, fleksibilitas, penyelesaian masalah, dan orientasi pelayanan.
Jawaban dari responden ini menunjukkan bahwa isu perubahan pasar tenaga kerja karena berkembangnya teknologi, komunikasi, dan internet sudah menjadi perhatian tenaga kerja. Kesadaran akan peningkatan kapasitas SDM tenaga kerja perlu diakomodasi dengan peningkatan keterampilan kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Persiapan ASEAN
Pemerintah negara-negara ASEAN telah menyadari perubahan pasar tenaga kerja akibat digitalisasi dan industri 4.0. Maka, pembangunan yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) mulai banyak dilakukan. Hal ini dilakukan mulai dari sektor pendidikan hingga pelatihan keterampilan bagi pencari kerja.
Pendanaan untuk meningkatkan keterampilan melalui pelatihan menjadi salah satu program yang diunggulkan di beberapa negara, seperti Singapura dan Indonesia. Singapura melalui program MySkillsFuture menyediakan dana sebesar 500 dollar Singapura bagi penduduk berusia 25 tahun ke atas yang digunakan untuk mengikuti pelatihan.
Lebih dari setengah juta warga Singapura telah menggunakan fasilitas itu untuk mempelajari keterampilan dan minat baru. Sejak diluncurkan tahun 2015, tingkat partisipasi pelatihan melalui pendanaan meningkat 35 persen pada 2019.
Pendanaan juga dikucurkan kepada pemilik usaha untuk mendukung transformasi bisnis dan pelatihan tenaga kerjanya. Tidak hanya usaha berskala besar, tetapi usaha kecil dan menengah akan mendapatkan manfaat dari program ini.
Serupa dengan Singapura, Pemerintah Indonesia juga memberikan pendanaan untuk peningkatan kapasitas SDM, khususnya bagi kelompok produktif, melalui program Kartu Prakerja. Berdasarkan laporan Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja 2020, sebanyak 5,5 juta penduduk dari 514 kabupaten/kota telah terpilih sebagai penerima manfaat Kartu Prakerja.
Setiap peserta rata-rata mengambil satu hingga dua pelatihan. Ada delapan kategori pelatihan yang paling diminati, yaitu penjualan dan pemasaran, gaya hidup, bahasa asing, makanan dan minuman, manajemen, keuangan, sosial dan perilaku, serta teknologi informasi.
Di tingkat perguruan tinggi, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Kampus Merdeka. Program ini membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di luar program studinya selama tiga semester.
Pembelajaran ini dapat berwujud perkuliahan, penelitian, pengabdian masyarakat, magang/praktik kerja, proyek kemanusiaan, independen, serta wirausaha. Tujuannya, mahasiswa dapat memperluas wawasan dan meningkatkan keterampilan secara nyata melalui praktik sehingga siap menghadapi dunia kerja.
Selain itu, upaya untuk mempersiapkan kelompok muda dalam menghadapi tantangan digital juga menyasar sektor pendidikan. Sebagai contoh, Malaysia melalui program MyDigitalMaker membekali pelajar berusia 7 hingga 17 tahun untuk mengembangkan keterampilannya di dunia digital. Program ini menyediakan berbagai platform khusus, seperti keterampilan pengodean, pengembangan aplikasi, percetakan tiga dimensi, robotik, pemrograman, dan analisis data.
Tantangan Indonesia
Berbagai upaya pemerintah untuk mempersiapkan warganya menghadapi pasar tenaga kerja pada masa depan bakal menempuh jalan panjang. Di Indonesia tampaknya upaya ini akan membutuhkan kerja keras dari sejumlah pihak. Hal ini dilihat dari beberapa sektor pembentuk kualitas SDM Indonesia yang masih tertinggal.
Misalnya dari sektor pendidikan, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara kain. Dari pencapaian aspek kognitif yang diukur melalui survei pendidikan siswa Programme for International Student Assessment (PISA), selama 2000-2018 Indonesia selalu menempati peringkat 10 terendah dari sekitar 70 negara.
Sebanyak 52,4 persen responden kelompok muda menyadari bahwa pendidikan dan keterampilan yang dimiliki saat ini perlu diperbarui secara berkala.
Tingkat pendidikan akhir yang ditempuh para pekerja juga banyak yang belum mencapai tingkat SMA, bahkan SMP. Per Agustus 2020, sebanyak 51,8 juta orang atau 37,5 persen angkatan kerja Indonesia hanya mengenyam pendidikan di tingkat SD ke bawah.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam sebuah diskusi pada 2019, sistem pendidikan yang ada saat ini belum berbasis pada kreativitas, komunikasi, kolaborasi, dan berpikir kritis. Akibatnya, kelompok muda yang memasuki dunia kerja memiliki softskill yang rendah.
Sektor pendidikan bukan hanya satu-satunya faktor yang memengaruhi kualitas SDM. Bidang kesehatan juga menentukan. Sayangnya, di Indonesia sendiri masih banyak permasalahan terkait dengan rendahnya asupan gizi, seperti tengkes dan usia harapan hidup yang menjadi hambatan bagi pengembangan SDM.
Dua sektor ini hanyalah hulu dari pembentukan kualitas SDM dalam proses persiapan menghadapi pasar tenaga kerja. Setelah menapaki proses ini, nantinya pada jenjang peralihan dari sekolah ke tenaga kerja, calon pekerja menghadapi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja. Masalah ini sudah terjadi dan mungkin semakin besar jika perubahan akibat perkembangan teknologi tidak diikuti dengan peningkatan keterampilan.
Karena itu, pembangunan SDM yang berkualitas dan siap di pasar tenaga kerja tidak hanya dilakukan di sektor ketenagakerjaan, tetapi juga dari semua lini, mulai dari awal pembentukan kualitas SDM hingga akhir. Iklim inovasi, kreativitas, dan kemauan untuk terus belajar demi beradaptasi dengan perubahan perlu dipupuk sejak dari lingkup keluarga, pendidikan formal, hingga lingkungan kerja.
Perlu diperhatikan bahwa upaya peningkatan keterampilan tenaga kerja dan calon pekerja juga diupayakan merata. Sebab, diprediksi bahwa hadirnya digitalisasi akan membuat kesenjangan bertambah besar. Tidak hanya antardaerah, tetapi juga antarusaha, yaitu perusahaan besar dengan usaha kecil dan menengah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Tantangan Tiada Henti Pekerja Muda di Masa Pandemi