Penanganan Banjir Tak Cukup Sebatas Soal Teknis
Beberapa kota di Indonesia masih mengadopsi sistem pengendalian banjir versi Belanda yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa intervensi nonteknis.
Banjir yang terjadi di beberapa kawasan akhir-akhir ini mengajarkan bahwa pengendalian tidak cukup dengan infrastruktur teknis. Penanganan aspek nonteknis, seperti penegakan aturan tata ruang serta pemberdayaan masyarakat, harus dijalankan.
Awal 2021 dibuka dengan sejumlah kejadian banjir di beberapa wilayah Indonesia. Dimulai dengan banjir di Kalimantan Selatan, Aceh, selanjutnya menyusul beberapa wilayah perkotaan di Jawa, seperti Semarang, kawasan Jabodetabek, dan Kab Bekasi.
Beberapa kawasan perkotaan yang banjir tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur fisik untuk pengendalian banjir tidaklah cukup. Banjir bukan sekadar kondisi tidak tertampungnya air dalam badan air sehingga meluap dan menggenangi daerah sekitarnya, tetapi harus dicari penyebabnya mengapa sampai kapasitas badan air tidak mencukupi.
Penyebabnya bisa karena faktor alam, yakni curah hujan tinggi, sedimentasi sungai, ataupun kegiatan manusia yang mengubah bentang alam, di antaranya membangun di daerah konservasi, membuang sampah di badan air, dan mengokupansi sempadan sungai.
Menurut paparan ”Kebijakan Penanggulangan Banjir” oleh Bappenas, banjir di kawasan perkotaan lebih disebabkan adanya perubahan dan eksalasi perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan. Manusia lebih banyak mengubah kawasan konservasi menjadi kawasan budidaya untuk menampung aktivitasnya.
Infrastruktur fisik memang lebih cepat dilihat manfaat langsungnya dan bisa cepat mengendalikan banjir. Namun, suatu infrastruktur fisik mempunyai umur pengoperasian yang biasanya setelah 25 atau 30 tahun harus ditinjau ulang. Kekuatan bangunan saat dibangun bisa jadi belum memperhitungkan faktor perubahan iklim yang memicu curah hujan ekstrem.
Baca juga: Kota yang Terkepung Tiga Banjir
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur fisik cukup mahal. Apalagi infrastruktur berskala besar, seperti kanal, bendungan, polder, ataupun tanggul. Grey infrastructure tersebut juga sering menimbulkan konflik sosial terkait dengan pembebasan lahan saat pembangunannya.
Beberapa kota di Indonesia masih mengadopsi sistem pengendalian banjir versi Belanda yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa intervensi nonteknis. Pemerintahan Belanda dulu mempunyai konsep pengendalian bagi kawasan pesisir untuk mengalirkan secepat-cepatnya air dari hulu ke laut melalui kanal (drainase besar).
Sarana pengendali banjir peninggalan Belanda tersebut tetap bisa diteruskan, hanya saja dibutuhkan pemeliharaan. Pemeliharaan berupa pengerukan sedimentasi lumpur dan sampah hingga pengecekan kekuatan bangunan.
Upaya nonfisik
Alasan itulah yang membuat upaya nonfisik juga dibutuhkan untuk mengendalikan banjir. Infrastruktur nonfisik terdiri atas upaya untuk mengurangi risiko dan ketangguhan menghadapi banjir.
Aspek mengurangi risiko, seperti sosialisasi banjir pada masyarakat, aturan tata ruang dan bangunan, serta pemeliharaan infrastruktur. Adapun aspek ketangguhan ialah persiapan sisi keuangan untuk menghadapi bencana, early warning system, serta upaya pemulihan setelah terjadi bencana.
Infrastruktur nonfisik, menurut Firdaus Ali dalam Webinar ”Mencari Pembelajaran Penanggulangan Banjir Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur”, dibutuhkan untuk mengembalikan lagi fungsi daerah konservasi dan meningkatkan kapasitas sungai. Selain itu, juga dari sisi regulasi untuk mencegah okupansi daerah konservasi melalui rencana tara ruang wilayah.
Pendekatan nonstruktural ini secara umum memang lebih murah dari sisi pembiayaan. Selain itu, juga tidak menimbulkan perubahan lingkungan yang signifikan serta lebih efektif dalam menangani dampak dan kerusakan banjir.
Akan tetapi, upaya nonteknis ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengendalikan banjir. Apalagi jika banjir sudah terjadi dan menimbulkan daya rusak yang besar. Upaya nonteknis tetap harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur.
Kelemahan lainnya, sejumlah upaya nonteknis, seperti penegakan aturan tata ruang dan tata bangunan, cukup sulit dilakukan di Indonesia. Sejumlah aturan larangan pemanfaatan daerah konservasi telah dilanggar sejak dulu.
Sebut saja kawasan Puncak, Jawa Barat, yang merupakan kawasan hulu Jakarta. Menurut data Kementerian ATR/BPN, luas kawasan terbangun di Puncak terus meningkat selama tiga periode. Tahun 2006, luas kawasan terbangun 3.605 hektar. Tahun 2019 sudah meningkat tiga kali lipat.
Di sisi hilirnya pun, bantaran sungai Jakarta belum sepenuhnya bebas dari bangunan. Di beberapa titik, sungai menjadi menyempit sehingga mengurangi kapasitas sungai.
Itu baru urusan memfungsikan kembali daerah konservasi. Menambah luasan ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan pun menjadi pekerjaan rumah sendiri. Dalam UU Penataan Ruang tahun 2007, luasan RTH kota adalah 30 persen dari luasan kota. Namun, di Jakarta, misalnya, hingga sekarang baru terwujud 9,98 persen.
Baca juga: Keseimbangan Antara Ekonomi dan Lingkungan
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat ini merupakan bagian dari pengendalian banjir nonteknis yang sebenarnya lebih mudah dilakukan. Sebetulnya hal ini cukup strategis untuk meminimalisasi risiko korban jiwa ataupun kerugian material jika terjadi banjir.
Masyarakat diajak memelihara lingkungan dengan bergotong royong membersihkan saluran air dan sungai sekaligus melakukan mitigasi bencana dengan menjadi sukarelawan tanggap bencana.
Kota Semarang, Jawa Tengah, misalnya, hingga Agustus 2020 telah membentuk 58 kelurahan siaga bencana. Pembentukan ini dimulai sejak 2017 di 8 kelurahan yang dilewati Kanal Banjir Barat.
Hal serupa telah terbentuk di Jakarta, yakni Kampung Siaga Bencana. Hingga Desember 2020, BPBD DKI Jakarta telah membentuk delapan kelurahan yang tersebar di semua wilayah, seperti kelurahan Pulau Panggang, Pengadegan, Karet Tengsin, Cililitan, dan Rawa Buaya.
Hanya saja, mewujudkan partisipasi masyarakat bukanlah pekerjaan mudah. Membangkitkan rasa kebersamaan untuk bergotong royong membersihkan lingkungan pun masih sulit. Di sisi lain, sarana dan prasarana serta sarana kesiapsiagaan masih kurang.
Banjir akan terus berulang setiap tahun pada musim hujan. Harapannya ke depan tidak hanya mengandalkan proyek fisik pengendalian banjir, tetaoi harus dibarengi juga dengan upaya nonfisik. Bebas banjir tak lagi impian kosong jika upaya pengendalian melibatkan peran semua pihak untuk lebih menjaga lingkungan dan menegakkan aturan tata ruang. (LITBANG KOMPAS)