Diplomasi Menuju Ketahanan Energi Nasional
Fenomena energi baru terbarukan (EBT), menjadi dilema bagi kepentingan negara eksportir minyak.
Konsumsi listrik dari sumber energi baru dan terbarukan, diperkirakan akan melonjak dalam dekade ke depan. Proyeksi tersebut membuka celah diplomasi antara produsen dan konsumen minyak dunia, termasuk Indonesia untuk mewujudkan ketahanan energi jangka panjang.
Berdasarkan proyeksi organisasi energi terbarukan, “The International Renewable Energy Agency (IRENA)”, dalam beberapa dasawarsa ke depan akan terjadi penurunan konsumsi energi fosil di seluruh dunia.
Merujuk skenario “Transforming Energy Scenario (TES)” yang cenderung sangat ambisius mendorong transformasi energi bersih, pada tahun 2030 diperkirakan konsumsi batu bara turun hingga 41 persen dari konsumsi tahun 2016. Berlanjut hingga tahun 2050, konsumsinya diperkirakan semakin anjlok lagi atau berkurang hingga 87 persen.
Konsumsi minyak juga akan mengalami perubahan signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2016. Pada tahun 2030 konsumsi minyak diperkirakan turun drastis hingga 31 persen dan pada tahun 2050 kian dalam lagi hingga berkurang sekitar 70 persen. Bahkan energi gas yang relatif jauh lebih ramah lingkungan pun juga diyakini menurun konsumsinya, yakni hingga 41 persen pada tahun 2050.
Dengan proyeksi TES tersebut, lonjakan jumlah penggunaan energi dunia beralih ke energi listrik. Pada tahun 2030, kontribusi final energi berbentuk listrik akan mencapai 29 persen. Selanjutnya, pada tahun 2050 akan melonjak sangat masif hampir mencapai 50 persen dari total bentuk konsumsi energi. Artinya, energi listrik akan semakin menjadi tulang punggung energi seluruh aktivitas sehari-hari manusia di seluruh dunia.
Sektor transportasi, yang merupakan kelompok terbesar pengonsumsi energi fosil saat ini akan bergeser teknologinya secara signifikan. Salah satu bentuknya berupa kendaraan yang menggunakan sumber energi dari listrik. Kendaraan untuk transportasi diperkirakan jumlahnya akan meningkat pesat hanya dalam waktu satu dekade ke depan.
Pada tahun 2030 nanti, jumlah kendaraan listrik diperkirakan setidaknya akan mencapai 260 juta unit. Estimasi ini lebih dari 30 kalinya jumlah kendaraan listrik tahun 2019 yang jumlahnya masih sekitar 8 juta unit. Dengan skenario itu, perubahan peta dan karakter teknologi transportasi pun akan menjadi sangat signifikan dan masif.
Perubahan yang massif dan diperkirakan dalam waktu dekat itu tentu berimbas kepada negara-negara yang hidupnya tergantung dari produksi dan perdagangan energi fosil.
Baca juga: Lompatan Besar Mewujudkan Mobil Listrik
Cadangan minyak
Semenjak terjadinya Pandemi Covid-19, fenomena energi baru terbarukan (EBT) menjadi isu penting yang semakin diwacanakan dan dikembangkan oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Hal tersebut tentu saja menjadi dilema bagi kepentingan negara eksportir minyak. Cadangan energi fosil yang dimilikinya justru bisa-bisa akan bernilai rendah di masa depan seiring beralihkan konsumsi energi dari fosil menuju EBT.
Oleh sebab itu, negara-negara produsen minyak berkepentingan untuk menyelamatkan sumber perekonomiannya agar tetap dibutuhkan tanpa bertentangan dengan pengembangan EBT dunia. Kita sudah melihat bagaimana negera seperti Venezuela yang dua tahun terakhir bisa dibilang bangkrut karena rendahnya harga minyak dunia. Hal itu karena Venezuela mendasarkan 90 persen pendapatan negara dari ekspor minyak dan gas.
Kajian “Energy Diplomacy in a Time of Energy Transition” dari Steven Griffiths yang dipublikasi Elsevier tahun 2019 memperkuat kesimpulan tersebut. Kajian itu menerangkan, negara-negara eksportir migas menjadi sangat berkepentingan membina hubungan bilateral dan multilateral dengan semua negara mitra strategis perdagangan hidrokarbonnya. Salah satu tujuannya, menjaga aliran finansial dari kekayaan migas yang dimilikinya dapat terus berlangsung dalam jangka panjang hingga cadangan yang dimilikinya habis.
Salah satu kawasan di dunia yang berkepentingan menjalin diplomasi tersebut adalah Timur Tengah. Kawasan ini merupakan pemasok minyak bumi terbesar di dunia. Sekitar 847 juta ton atau hampir 75 persen neraca perdagangan minyak bumi dunia diangkut dari wilayah ini tiap tahun.
Lebih jauh data BP Statistical Review of World Energy 2020 menunjukkan cadangan minyak bumi terbesar di dunia berada di wilayah Timur Tengah. Cadangan terbukti wilayah ini pada tahun 2019 mencapai 833,9 milyar barel.
Cadangan ini menguasai sekitar 48 persen cadangan minyak dunia yang pada tahun 2019 terakumulasi sekitar 1.733 milyar barel. Dengan produksi sekitar 30,33 juta barel per hari maka diperkirakan cadangan minyak di Timur Tengah baru akan habis dalam waktu 75 tahun mendatang. Itu pun belum menghitung jika ada penemuan cadangan minyak dan gas baru.
Besarnya pasokan minyak dunia tersebut membuat posisi geopolitik kawasan Timur Tengah, khususnya Gulf Cooperation Council (GCC) yang mencakup Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman, menjadi sangat kuat. Sebagian negara di Timur Tengah dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara hanya melalui “soft power” kekayaan migasnya.
Pengaruh itu antara lain ada di kawasan Asia sebagai pangsa terbesar konsumsi migas dari Timur Tengah. Konsumen besar migas di Asia antara lain China, Jepang, Korea Selatan, Singapura, India, dan Indonesia.
Baca juga: Kendaraan Listrik di Luar Jawa Dipacu
Kerjasama energi
Sejalan dengan semakin berkembangnya pembangunan dan pemanfaatan EBT secara global, negara-negara produsen minyak bisa saja mengalami “pembalikan situasi” dan bersifat katastrofik seperti dalam kasus Venezuela. Melemahnya ekonomi suatu negara di Timur Tengah umumnya juga akan mempengaruhi posisi negara itu dalam geopolitik Timur Tengah.
Oleh sebab itu, negara-negara teluk yang tergabung dalam GCC itu akan terus berupaya melakukan politik diplomasi luar negeri untuk memperjuangkan posisi strategisnya menghadapi lansekap kebutuhan energi di masa depan.
Prioritas utama kebijakan GCC adalah diplomasi energi yang mendukung monetisasi sumber daya hidrokarbon dalam jangka waktu sepanjang mungkin. Bahasa sederhananya, berupaya menjual “dagangan” mereka supaya laku dijual sebelum akhirnya menjadi tak relevan di pasar. Diplomasi pun dilakukan untuk tujuan pengembangan diversifikasi ekonomi dari sektor energi.
Upaya diplomasi luar negeri negara-negara Kawasan timur tengah, khususnya kelompok GCC, dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjalin kerjasama baru untuk tujuan ketahanan energi. Saat ini impor minyak Indonesia mayoritas juga berasal dari kawasan Timur Tengah dan dilakukan melalui pihak ketiga.
Sekitar 37 persen kebutuhan impor Indonesia berasal dari kawasan ini, terutama dari negara GCC seperti Saudi Arabia, UAE, Kuwait, dan Qatar. Hal ini dapat menjadi modal Indonesia untuk melakukan pendekatan diplomasi menawarkan kerjasama dengan negara produsen minyak itu.
Ada sejumlah potensi sumber daya alam milik Indonesia yang dapat dikerjasamakan untuk mendapatkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Salah satunya adalah pengembangan industri nikel mulai dari hulu hingga hilir dengan mengundang investor dari Timur Tengah.
Nikel diproyeksikan akan menjadi komoditas unggulan dunia seiring dengan berkembangnya industri perakitan baterai kendaraan dan produksi mobil listrik beberapa tahun mendatang. Indonesia berpotensi besar menjadi produsen terbesar kedua komoditas tersebut karena memiliki cadangan nikel terkaya di dunia.
Dengan stok cadangan nikel yang diestimasi hingga 73 tahun ke depan maka sudah sewajarnya komoditas ini dapat digunakan Indonesia sebagai daya tawar politik internasional untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
(LITBANG KOMPAS)