Manajemen konflik dengan pendekatan humaniora merupakan sarana penting untuk membantu menangani konflik sehingga tidak menimbulkan masalah yang lebih besar.
Oleh
Inggra Parandaru
·3 menit baca
Adagium klasik ”lebih baik mencegah daripada mengobati” sangat relevan dengan manajemen konflik. Segala bentuk kekerasan tidak akan pernah bisa mengurai benang kusut konflik secara tuntas.
Makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki naluri mempertahankan diri dan terbebas dari konflik. Meski dalam proses mempertahankan diri harus saling melukai dan bersifat destruktif, konflik berpotensi menjadi konstruktif dan membuka peluang baru bagi kebaikan bersama apabila tepat mengelolanya.
Terdapat berbagai macam definisi konflik. Wall dan Callister (1995) mengerucutkan definisi konflik sebagai suatu proses ketika suatu pihak memandang kepentingannya sedang dilawan atau secara negatif terpengaruh oleh pihak lain. Konflik melibatkan dua belah pihak atau lebih.
Menurut ilmuwan politik tersohor dari Amerika Serikat, Samuel Huntington, perbedaan etnis, kebudayaan, agama, atau pandangan hidup akan menimbulkan benturan sosial yang berujung pada konflik. Huntington melihat sumber konflik dunia pasca-Perang Dingin disebabkan oleh masalah kultural (Barat, Islam, Hindu, Kristen, dan sebagainya). Tidak ada kebudayaan universal yang dapat diterima secara umum.
Gagasan Huntington ini mendapat antitesis dari Jonathan Sacks, dituangkan dalam buku TheDignity of Difference. Sacks melontarkan pemikiran baru. Menurut dia, rangkaian perbedaan etnis, agama, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik bukanlah alasan untuk bertikai. Perbedaan justru memiliki kemuliaan dan kekuatan yang bisa menjadi modal dasar dalam pembangunan kemanusiaan.
Konsep-konsep tersebut disinggung dalam buku Manajemen Konflik (Analisis Etika Sosial), yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2021). Di sini William Chang dan Andreas Chang mengupas akar terjadinya konflik dan menawarkan jalan untuk menghadapi konflik dari tinjauan etika sosial.
Ditekankannya peran etika sosial, seperti kebenaran, keadilan, kerukunan, saling menghargai, dan toleransi, perlu didorong dalam manajemen konflik. Etika ini menawarkan rambu-rambu pergaulan dan hubungan antarpribadi sehingga mewujudkan suasana harmonis dan kerja sama yang baik. Penerapan manajemen konflik tanpa kekerasan merupakan salah satu alternatif utama dalam penyelesaian konflik.
Sumber konflik
Akar konflik sosial terletak dalam pikiran, perkataan, suasana hati, buruknya komunikasi, dan tindakan manusia. Konflik sosial sangat dipengaruhi oleh keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, makhluk politik, homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesama), insting dan agresivitas manusia, serta frustrasi sosial.
Berbagai jenis konflik dalam kehidupan manusia dapat dikategorikan meliputi konflik mayoritas dan minoritas, konflik ekonomi, konflik kelas, konflik religius, serta konflik internal kelompok. Meski banyak jenisnya, konflik justru menciptakan sifat kehati-hatian yang menambah kebijaksanaan setiap insan.
Banyak sumber yang dapat menyebabkan konflik. Secara garis besar ada tiga hal yang mendasari terjadinya konflik. Pertama, karena diferensiasi atau perbedaan. Kedua, karena hubungan tugas-tugas yang tumpang tindih. Ketiga, karena sumber daya manusia dan alam.
Apapun penyebabnya konflik berakibat destruktif bagi manusia. Dampak konflik dapat digolongkan menjadi beberapa bidang, antara lain ketidaktenangan batin, kerugian harta benda, keretakan sosial, kehilangan nyawa, dan trauma.
Manajemen konflik
Setiap konflik memiliki latar belakang dan penyebab, untuk itu sangat dibutuhkan kecerdasan manusia untuk menggali dan menyelesaikannya.
Untuk mengatasi konflik sosial diperlukan manajemen konflik yang efektif. Manajemen konflik dapat digambarkan sebagai rangkaian usaha untuk menyelesaikan pertikaian antara dua belah pihak atau lebih agar dapat membuat kehidupan damai, rukun, dan normal kembali.
Dalam menghadapi konflik diperlukan kerjasama antarmanusia untuk mencari solusinya. Buku ini menawarkan langkah manajemen konflik menggunakan Metode MIABKU dan teori EASE. Metode MIABKU terdiri dari masalah, informasi, adil, bijaksana bertutur, komunikasi dengan jujur, dan ulurkan tangan. Masing-masing aspek dalam metode MIABKU dianalisis untuk ditemukan solusinya.
Sementara teori EASE terdiri dari empathy, appreciation, search for solutions, dan explore. Teori ini mengedepankan pendekatan personal dibanding pendekatan konfrontasi dalam diskusi untuk mencapai kesepakatan damai. Teori EASE mengedepankan win-win solution yang dapat memuaskan pihak-pihak bertikai.
Manajemen konflik merupakan sarana penting yang membantu menangani konflik dengan bijaksana sehingga tidak menimbulkan masalah lebih besar. Pendekatan dalam manajemen ini tidak hanya mengedepankan aspek yuridis, tetapi juga aspek humaniora yang memandang manusia secara utuh dengan tubuh, jiwa, dan rohnya. (LITBANG KOMPAS)