Menimbang Dampak Pembelian Mobil Baru
Pembebasan pajak penjualan mobil baru menjadi insentif bagi perekonomian, tetapi bisa mengakibatkan disinsentif pada kualitas udara.
Kebijakan mempermudah pembelian mobil baru seakan bertentangan dengan upaya mengurangi emisi karbon yang sebelumnya juga dicanangkan pemerintah.
Belum lama ini Pemerintah Indonesia resmi memberlakukan kebijakan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru. Usulan yang sudah bergaung sejak tahun lalu itu akhirnya terealisasi setelah penetapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2021.
Kebijakan yang berlaku per 1 Maret 2021 ini selama tiga bulan diberlakukan dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya di sektor industri kendaraan bermotor. Pertimbangan kedua sebagai wujud pemerintah menjaga keberlangsungan dunia usaha di sektor yang sama yang turut terdampak akibat pandemi Covid-19.
Pembebasan PPnBM ini berlangsung dalam tiga tahap. Dimulai dari tahap pertama dari Maret hingga Mei 2021 dengan diskon pajak 100 persen dari tarif normal, kemudian menjadi 50 persen di tahap kedua dari Juni hingga Juli 2021, dan terakhir diskon 25 persen selama empat bulan hingga Desember 2021. Besaran diskon ini akan dievaluasi efektivitasnya setiap tiga bulan sekali.
Terdapat dua tipe mobil baru yang mendapatkan diskon, di antaranya mobil sedan dan mobil dengan sistem satu gardan penggerak (4x2) berkapasitas mesin hingga 1.500 cc. Keduanya juga harus memenuhi syarat penggunaan komponen produksi dalam negeri paling sedikit 70 persen. Artinya, mobil impor (CBU) dan mobil murah hemat energi (LCGC) tidak termasuk di dalamnya.
Menurut Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 169 Tahun 2021, terdapat 21 model mobil dari enam merek yang akan menikmati pembebasan pajak ini, di antaranya Avanza, Yaris, dan Vios dari Toyota; Xenia, Luxio, dan Gran Max dari Daihatsu; Xpander dari Mitsubishi; Brio RS, Mobilio, dan BR-V dari Honda; New Ertiga dan XL-7 dari Suzuki; serta Confero dari Wuling.
Melalui pembebasan PPnBM, harga mobil baru menjadi lebih terjangkau belasan hingga puluhan juta rupiah dibandingkan harga normal. Dari PT Toyota Astra Motor (TAM) contohnya yang resmi menurunkan harga enam produk mobilnya per 1 Maret 2021. Mulai dari diskon pajak terkecil Rp 12,2 juta untuk Transmover MT hingga terbesar Rp 65,25 juta untuk Vios G CVT.
Baca juga : Bahu-membahu Mengurangi Emisi Karbon
Kebijakan serupa
Dalam satu dekade terakhir, sejumlah kebijakan serupa pernah dikeluarkan pemerintah. Pertama ketika ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013. Di dalam peraturan itu pembebasan 100 persen PPnBM juga diterapkan pada kendaraan bermotor yang termasuk dalam program mobil LCGC selain sedan atau station wagon.
Syarat mobil di program ini adalah berkapasitas mesin khusus nondiesel maksimal 1.200 cc dan konsumsi BBM paling sedikit 20 km per liter. Setidaknya ada tujuh model LCGC dari lima merek, yaitu Ayla, Sigra, Agya, Calya, Brio Satya, Datsun Go Panca, dan Karimun Wagon R. Di tahun awal kebijakan ini, sebagian mobil LCGC itu ditawarkan dengan harga retail cukup terjangkau di bawah Rp 100 juta.
Tidak jauh berbeda dengan peraturan terbaru, kala itu pembebasan PPnBM pada LCGC juga didasari sejumlah pertimbangan. Di antaranya untuk mendorong penggunaan kendaraan bermotor hemat energi dan ramah lingkungan, mendukung konversi energi di bidang transportasi, serta mendukung upaya peningkatan kapasitas produksi kendaraan bermotor dalam negeri.
Tahun lalu kemudahan pembelian mobil baru juga diatur pemerintah terkait keringanan uang muka kredit. Di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/13/PBI/2020 disebutkan uang muka untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) roda tiga atau lebih non-kegiatan produktif paling sedikit 20 persen. Besaran ini menurun dari peraturan serupa pada tahun 2018 yang masih sebesar 25 persen.
Tujuan kebijakan ini tidak lepas dari upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, walau juga mengusung ekonomi berwawasan lingkungan melalui uang muka 0 persen KKB pada kendaraan berbahan bakar energi terbarukan, yaitu kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan yang kini juga sedang gencar dipromosikan pemerintah.
Emisi karbon
Lesunya penjualan mobil baru di Indonesia sejatinya sudah terjadi beberapa tahun sebelum pandemi. Merunut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil baru tipe sedan dan 4 x 2 berkapasitas mesin kurang dari 1.500 cc terpantau terus menurun dalam 10 tahun terakhir.
Diketahui tipe mobil yang digunakan mayoritas taksi daring bukanlah mobil sedan, tetapi justru mobil multifungsi (MPV) maupun mobil LCGC dengan harga yang relatif lebih terjangkau. Maka dari itu, setelah diterbitkan kebijakan diskon 100 persen PPnBM untuk mobil LCGC, penjualannya terus meroket, setidaknya dari tahun 2013 hingga 2018.
Hal inilah yang mungkin terjadi pada kebijakan serupa pada tahun ini. Kemerosotan berturut-turut penjualan mobil sedan dan 4 x 2 akan dapat ditahan seiring kebijakan 1 Maret 2021. Terlebih lagi sudah terjadi tanda kenaikan penjualan kedua tipe mobil itu sejak Juni 2020 dari level penjualan terendah bulan sebelumnya yang hanya 1.200 unit.
Jika peningkatan itu terjadi, kebijakan pembebasan pajak dapat terwujud dan roda ekonomi di industri kendaraan bermotor dapat terdorong. Namun, kebijakan ini juga dapat mengancam kelestarian lingkungan melalui peningkatan produksi emisi karbon.
Baca juga : Pasar Mobil Bekas Bersiap Sesuaikan Harga Jual
Mayoritas moda transportasi tersebut masih menggunakan mesin bakar konvensional yang menghasilkan emisi polutan udara dan menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar. Menurut Climate Transparency Report tahun 2019, secara global transportasi menyumbang 20 persen dari total emisi sektor energi dan berada di peringkat ketiga setelah pembangkit listrik (37 persen) dan industri (24 persen).
Indonesia sebagai salah satu perwakilan negara penanda tangan Perjanjian Paris 2015 memiliki misi khusus terkait emisi gas rumah kaca. Menindaklanjuti perjanjian itu, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 persen pada tahun 2030 dengan kekuatan sendiri atau 41 persen pada tahun yang sama dengan bantuan internasional.
Pengamat transportasi dalam webinar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), 21 Februari 2021, memberikan beberapa masukan, di antaranya terkait refleksi yang seharusnya dilakukan pemerintah di masa pandemi Covid-19. Refleksi itu dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan sektor transportasi berbasis lingkungan. Jika diskon PPnBM tetap diberlakukan, alangkah baiknya lebih menyasar angkutan desa.
Masukan lain juga dilontarkan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, salah satunya dengan upaya meningkatkan konsumsi kelas menengah dari sektor budaya, rekreasi, maupun sandang. Ketiganya dianggap sebagai sektor yang lebih dibutuhkan warga selama pandemi. Selain itu, perlu dicari alternatif sumber pajak pengganti kehilangan PPnBM.
Dengan demikian, negara tak perlu berkorban ganda dalam periode ini, di satu sisi kehilangan pendapatan negara dari pajak barang mewah dan di sisi lain mempersulit mencapai target perjanjian Paris 2015.
(LITBANG KOMPAS)