Nasib PRT dari Reformasi sampai Pandemi
Pekerja rumah tangga masih saja berada pada kondisi ketidakpastian upah, jam kerja, rentan PHK, hingga kekerasan dalam bekerja.
Payung hukum yang tak kunjung hadir bagi pekerja rumah tangga (PRT) selama lebih dari satu dasawarsa turut memperberat berbagai persoalan yang dihadapi pekerja di sektor ini, khususnya saat pandemi Covid-19.
Hasil Survei lembaga United Nation Women bertajuk Rapid Gender Assessment on the Consequences of Covid-19 in Indonesia (2020) menyimpulkan, banyak keluarga di Indonesia yang mengubah pola kerja pekerja rumah tangga (PRT) selama masa pandemi saat ini.
Demi alasan kesehatan ataupun efisiensi keuangan, sebagian keluarga memutuskan tidak lagi mempekerjakan PRT sejak berlangsungnya pandemi Covid-19. Namun, ada juga seperempat bagian responden keluarga (26 persen) yang tetap mempekerjakan PRT dengan jam kerja yang lebih panjang. Sementara ada 16 persen keluarga yang justru mempekerjakan PRT baru.
Apa pun pola kerja PRT, hasil survei tersebut menunjukkan kecenderungan besarnya ketidakpastian jam kerja dan jaminan keberlangsungan pekerjaan para PRT. Hasil survei lainnya, yakni dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Desember 2020, juga memperkuat fakta tersebut.
Hasil survei Jala PRT terhadap 668 PRT itu menunjukkan, 6 dari 10 PRT yang berada dalam pendampingan organisasi tersebut tidak menerima atau mengalami pemotongan upah, mengalami PHK sepihak tanpa upah/pesangon, dan tidak menerima tunjangan hari raya. Sebagian besar PRT (82 persen) juga tidak bisa mengakses jaminan sosial.
Dalam kondisi ketidakpastian pekerjaan dan haknya, sebagian PRT berhadapan dengan kekerasan majikan atau orang lain dalam pekerjaan mereka. Setahun terakhir (2019-2020), kasus kekerasan terhadap PRT justru meningkat 80 persen.
Tren kasus kekerasan terhadap PRT meningkat rata-rata 5,5 persen sejak 2012 hingga 2019 dan semakin meningkat sejak memasuki masa pandemi Covid-19.
Baca juga: Pekerja Rumah Tangga Nantikan Perlindungan dan Pengakuan Negara
Catatan dari lembaga Jala PRT tersebut sangat mungkin baru menggambarkan permukaan gunung es problematika PRT. Pasalnya, data pasti jumlah PRT pun tidak tersedia. Sejauh ini, belum ada data terkini mengenai PRT yang resmi dari pemerintah.
Merujuk laporan JALA PRT bertajuk National Network for Domestic Workers Advocacy (2015-2017), data jumlah PRT yang ada sejauh ini hanya sebatas estimasi pada 2015 saja yang mencapai sekitar 4,2 juta orang (Kompas, 21/2/2021).
Populasi PRT sebanyak itu setara dengan 40 persen penduduk DKI Jakarta tahun 2020 yang mencapai 10,56 juta jiwa dan bahkan melampaui penduduk DI Yogyakarta yang mencatat populasi penduduk 3,88 juta jiwa tahun lalu.
Populasi PRT juga terbilang besar jika dilihat dari kategori kelompok sektor pekerjaannya. Badan Pusat Statistik membagi lapangan pekerjaan ke dalam 21 sektor usaha, salah satunya kategori sektor ekonomi jasa lainnya.
Kategori jasa lainnya merupakan gabungan empat kategori pada klasifikasi baku lapangan usaha. Salah satu kategori kegiatan jasa lainnya ini adalah jasa perorangan yang melayani rumah tangga.
Berdasarkan kategori BPS tersebut, tercatat pekerja di sektor jasa lainnya konsisten meningkat sepanjang 2017-2020, dari 6 juta orang menjadi 6,41 juta pekerja. Jika merujuk jumlah PRT 4,2 juta orang dari publikasi Jala PRT, artinya hampir dua pertiga pekerja di sektor jasa lainnya adalah PRT.
Baca juga: Pekerja Rumah Tangga Rawan Terpapar Korona dan Dikenai PHK
Standar upah
Satu aspek yang krusial dalam persoalan PRT adalah soal upah. Banyak negara yang masih mengabaikan hal ini. Pekerjaan PRT tidak dianggap sebagai pekerjaan nyata dan dikeluarkan dari produk domestik bruto serta kalkulasi lain dari kegiatan ekonomi produktif.
Begitu juga di Indonesia, undang-undang upah minimum hanya berlaku untuk perusahaan sehingga tidak termasuk rumah tangga pribadi. Namun, tidak mudah menentukan standar upah minimum bagi PRT.
Ketiadaan batasan kerja secara jelas dan hubungan kekeluargaan antara majikan dan PRT menjadi faktor yang memperkuat kompleksitas penentuan standar tersebut.
Bagi PRT, bekerja di sebuah keluarga mengandung makna pengabdian kepada majikan yang telah memberikan kerja dan perlindungan bagi mereka. Kondisi demikian terjadi manakala sebuah keluarga memilih mencari PRT melalui jalur informal yang hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut.
Aturan yang diterima PRT melalui jalur ini terbilang lebih longgar. Pihak keluarga yang mempekerjakan PRT cukup membayar semacam uang jaminan, sedangkan soal gaji bisa dinegosiasikan.
Negosiasi tersebut tidak lepas dari harga pasar yang berlaku di antara para penyalur. Untuk DKI Jakarta, misalnya, hingga 2020, gaji PRT rata-rata mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta, tergantung dari pengalaman kerja PRT bersangkutan. Ukuran pengalaman ini biasanya terkait dengan umur dan lama pengalaman bekerja.
Sementara itu, jika mengambil lewat yayasan, pihak keluarga yang mempekerjakan PRT mengikuti ketentuan yang lebih kaku. Sebuah keluarga harus memenuhi biaya administrasi, standar upah sesuai dengan tingkat pengalaman, uang jaminan, antar-jemput, bahkan swab test Covid-19.
Bukan hal yang aneh kalau calon majikan harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk kebutuhan ini. Apalagi, biaya ekstra untuk iklan sejumlah yayasan penyalur juga menjadi tren yang secara tidak langsung dibebankan juga kepada keluarga calon pengguna jasa PRT.
Baca juga: Potret Pekerja Rumah Tangga di Indonesia
Kepastian regulasi
Persoalan upah PRT, secara implisit sebetulnya sudah diatur melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 juga mengatur secara umum tentang upah PRT.
Meski demikian, kedua regulasi tersebut tetap saja tidak menjelaskan hak PRT, khususnya terkait standar upah, secara detail dan jelas. Melihat kondisi tersebut, pemerintah pun mengupayakan payung regulasi yang mengatur khusus mengenai PRT.
Sayang, upaya melahirkan regulasi khusus mengenai PRT telah mengalami perjalanan panjang yang belum kunjung berakhir sejauh ini. Sejak 2004, RUU PRT sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR.
Upaya pemerintah mewujudkan produk hukum bagi PRT semakin serius ditindaklanjuti melalui survei dan studi banding ke sejumlah negara. Namun, hasil dari survei, studi banding, dan RUU PRT kemudian terhenti di Badan Legislasi DPR pada 2014.
Tahun lalu, RUU PRT kembali masuk dalam Prolegnas DPR. Di satu sisi, hal ini kembali memunculkan harapan besar bagi PRT untuk mendapatkan kepastian hak dan kewajiban di dalam pekerjaannya.
Meski demikian, perjalanan panjang regulasi PRT juga menunjukkan bahwa tidak tertutup kemungkinan upaya ini dapat kembali berujung tanpa hasil. Pada titik inilah kesadaran dan kemauan politik pemerintah serta pembuat kebijakan akan menjadi kunci penentu hasil akhir RUU PRT.
(KRISHNA P PANOLIH, BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)