Menurut publik, pemerintah perlu membantu anak buruh migran dengan menjamin akses dan keberlanjutan pendidikan.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·3 menit baca
Anak pekerja migran rentan mengalami penelantaran, kekerasan, hingga tekanan psikologis. Memberikan jaminan akses pendidikan sembari memberikan pendampingan pribadi perlu ditingkatkan, baik di lingkup keluarga, masyarakat, maupun lembaga pendidikan, untuk memupuk rasa percaya diri anak pekerja migran.
Mengadu nasib di negeri orang menjadi jalan bagi paling tidak 3,19 juta warga Indonesia untuk meningkatkan perekonomian keluarga mereka. Mereka inilah pekerja migran Indonesia yang harus meninggalkan daerahnya dan keluarganya demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Harga yang dibayar pun besar. Mereka harus berpisah dengan anak-anaknya dalam waktu yang lama. Penelitian yang dilakukan Kementerian Sosial pada 2018 di delapan daerah kantong pekerja migran menyebutkan hampir separuh responden (46 persen) sudah ditinggalkan ibu yang bekerja di luar negeri selama empat tahun hingga lebih dari 10 tahun.
Dari sisi usia, sebagian besar anak yang ditinggalkan (79 persen) masih berusia kurang dari 10 tahun. Sepertiganya bahkan ditinggal saat berusia di bawah lima tahun (balita).
Kondisi ini tidak hanya membebani para pekerja migran, tetapi juga bagi anak-anaknya. Mau tidak mau mereka hanya diasuh oleh satu orangtua. Bahkan, menurut penelitian yang sama, lebih banyak anak yang diasuh oleh kerabat keluarga, seperti kakek, nenek, paman, dan bibi.
Anak-anak yang ditinggal orangtua bekerja di luar negeri rentan mengalami permasalahan kompleks, seperti kekerasan, penelantaran, dan tekanan mental. Sering kali anak-anak ini depresi, merasa sendirian, khawatir berlebihan, dan merasa tersingkirkan.
Gambaran serupa juga terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas 2-4 Februari 2021. Lebih dari separuh responden (52 persen) melihat kondisi anak pekerja migran memprihatinkan dan kurang perhatian. Kurangnya perhatian orangtua dan pendampingan dalam pola asuh membuat anak pekerja migran berhadapan dengan masalah relasi sosial, kedisiplinan, kenakalan remaja, hingga motivasi pendidikan.
Jauh dari dekapan orangtua membuat anak pekerja migran juga mengalami penelantaran serta kekerasan fisik, verbal, hingga seksual oleh pengasuhnya. Penelitian Kementerian Sosial (2018) juga menemukan beberapa kasus perlakuan kasar pengasuh pada anak-anak pekerja migran. Pengasuh memukul, membakar alat-alat sekolah, tidak memberi makan, hingga melakukan pelecehan seksual terhadap anak pekerja migran.
Dalam relasi sosial, sebagian anak-anak buruh migran tidak jarang terlibat perbuatan menyimpang, bahkan ada yang harus masuk ke ranah hukum. Tak heran, masyarakat memberikan stigma anak tidak terurus, anak nakal, anak pembawa masalah, dan anak tidak terurus pada mereka. Padahal, stigma ini menambah beban sosial pada anak pekerja migran sehingga mereka terisolasi dari pergaulan.
Kerentanan anak
Sejumlah permasalahan itu juga dinilai publik sebagai beban utama yang harus dihadapi anak-anak buruh migran. Sebanyak 35,7 persen responden menganggap relasi sosial anak-anak buruh migran menjadi permasalahan utama yang dihadapi.
Permasalahan ini berhubungan juga dengan pola asuh dan relasi dengan lingkungan di sekitarnya. Pada beberapa kasus, anak-anak pekerja migran tidak diperhatikan dan cenderung dibiarkan begitu saja oleh pengasuhnya. Pada kasus lain, anak buruh migran yang diasuh oleh kakek atau neneknya terbiasa menerima kasih sayang berlebihan dan kurang dididik tegas. Akibatnya, mereka bersikap semaunya serta tidak disiplin dan bertanggung jawab.
Serupa dengan itu, sepertiga responden juga beranggapan anak-anak ini mengalami permasalahan terkait pola asuh dan kesehatan mental. Hal lain yang dianggap publik sebagai permasalahan utama anak-anak ini adalah ketertinggalan pendidikan (12,8 persen), ekonomi keluarga (2,5 persen), serta gizi dan kesehatan (2,5 persen).
Jika dibiarkan, sejumlah permasalahan itu tetap menjadi lingkaran setan yang sulit dihentikan. Kemiskinan dan ketertinggalan bisa jadi tetap melekat pada keluarga pekerja migran.
Harapan pekerja migran yang rela bekerja di luar negeri demi memenuhi kebutuhan keluarga dan anak supaya lebih sejahtera pupus. Tanpa didikan dan asuhan yang tepat, kasih sayang yang cukup, serta pendidikan yang terarah, perkembangan dan pertumbuhan anak-anak pekerja migran terganggu.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 20 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Bina Keluarga Pekerja Migran Indonesia mengatur perlindungan dan pembinaan anak pekerja migran.
Beberapa di antaranya penyusunan pelaksanaan dan teknis perlindungan anak, memberikan perlindungan atas kekerasan dan eksploitasi, mendorong anak mengikuti pendidikan formal, serta memberikan bantuan hukum pada anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan.
Hingga 2 Februari 2018, telah terbentuk 117 kelompok kerja Bina Keluarga Pekerja Migran di 63 kabupaten/kota di 12 provinsi. Selain Bina Keluarga Pekerja Migran, ada pula program Pelatihan Ketahanan Keluarga dan Pemenuhan Hak Anak, Desa Migran Produktif (Kementerian Ketenagakerjaan), Komunitas Keluarga Buruh Migran (BP2MI), dan Program Peduli-LPKP Jatim yang memberikan layanan perlindungan dan pendampingan anak buruh migran.
Pendidikan pendampingan
Namun, melihat banyaknya permasalahan anak buruh migran yang belum sepenuhnya terselesaikan, pemerintah perlu meningkatkan upayanya dalam menjamin kesejahteraan anak-anak itu. Hal ini pun disuarakan oleh publik yang merasa pemerintah belum optimal mengatasi permasalahan anak-anak buruh migran.
Menurut publik, pemerintah perlu membantu anak buruh migran dengan menjamin akses dan keberlanjutan pendidikan (29,2 persen). Upaya ini penting mengingat anak-anak buruh migran rentan putus sekolah.
Selain itu, publik juga berharap pemerintah meningkatkan pendampingan kepribadian (20,6 persen) dan pendampingan pengasuhan anak (19,8 persen). Di sektor kesehatan, 19,2 persen responden berharap pemerintah menjamin hak gizi dan kesehatan anak.
Upaya melindungi dan mendampingi anak pekerja migran tak hanya terbatas di lingkungan keluarga saja. Sekolah sebagai wadah terdekat bagi anak untuk berkembang dan bersosialisasi juga dapat menjadi sarana untuk mendampingi anak pekerja migran serta meluruskan stigma-stigma buruk yang berkembang di masyarakat.
Permasalahan anak pekerja migran tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pekerja migran. Karena itu, mempersiapkan perlindungan dan pendampingan anak serta pengasuh sama pentingnya dengan mempersiapkan kapasitas sumber daya manusia para pekerja migran. (LITBANG KOMPAS)