Pandemi ”Hallyu” Budaya Korea
Sejak pandemi, gelombang budaya Korea lewat tontonan drama semakin popular di dunia.
Drama Korea terus saja menancapkan tonggak popularitasnya, baik di Indonesia maupun di sejumlah negara lainnya di dunia. Fenomena ini menjadi titik balik ekonomi negeri tersebut setelah terpuruk akibat kolonialisme dan perang.
Saat ini, drama Korea bukanlah hal yang asing lagi bagi masyarakat, baik di Indonesia maupun dunia. Hal ini tecermin dari hasil survei yang dilakukan oleh Statista tentang poularitas drama Korea di seluruh dunia tahun 2020.
Survei yang dilakukan pada 24 September-4 November 2020 itu menunjukkan bahwa pengetahuan dan pengenalan akan K-Drama cukup tinggi. Dari 8.500 responden, mayoritas mengenal drama Korea.
Dua dari sepuluh responden merasa bahwa drama Korea sangat populer bagi mereka dan mereka mengaku sangat menggemari drakor, sebutan lain untuk drama Korea. Bahkan, 13 persen responden yang merupakan masyarakat umum, bukan penggemar, juga merasa drakor sangat populer.
Sementara sekitar separuh responden mengatakan cukup mengetahui drama Korea meski bukan bagian dari penggemar. Hanya 12,4 persen yang tidak mengetahui karena tidak mengonsumsi K-Drama. Sebagai informasi, survei tersebut dilakukan di 19 negara, salah satunya Indonesia, melalui panel dalam jaringan (daring).
Banyak peminat
Apalagi pandemi Covid-19 membuat masyarakat semakin banyak memiliki waktu luang di rumah. Waktu untuk menonton drakor semakin banyak, maka tak heran jika banyak orang semakin populer dengan serial drama asal Korea itu.
Indonesia, misalnya. Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada awal pandemi menunjukkan bahwa jumlah penonton drakor bertambah dan lama waktu menonton menjadi 4,6 jam sehari, sebelumnya hanya 2,7 jam (Kompas, 7 Maret 2021).
Indonesia juga menjadi negara dengan minat menonton konten Korea yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Dalam sebuah survei yang dilakukan Statista, 3 dari 10 responden di Indonesia mengaku sangat sering menonton drakor.
Tiga dari sepuluh lainnya kadang-kadang menonton, dan 24 persen jarang menonton. Hanya 16 persen responden yang tidak pernah menonton drakor.
Negara lainnya adalah China, hanya 14 persen responden di China yang tidak pernah menonton drama Korea. Separuh lainnya mengatakan sangat sering dan kadang-kadang menonton. Sepertiga lainnya menyatakan jarang menonton.
Contoh lain yang menarik adalah India. Meski India memiliki serial drama yang juga diekspor ke negara lain, permintaan drama seri Korea di India juga cukup tinggi. Enam judul drama Korea masuk dalam daftar 10 judul teratas di Netflix India sejak Maret 2020 (The Economic Times, 10 November 2020).
Ketertarikan masyarakat India terhadap K-Drama juga tergambar dari traffic climb up pada Rakuten Viki di India, salah satu situs web global penyedia video dan music streaming. Traffic climb up ini semacam lalu lintas situs, layaknya lalu lintas pengunjung di toko fisik.
Drama Korea dalam situs tersebut mendapatkan 1,1 juta klik pada Maret 2020 (36 persen), meningkat dari 3 persen pada Oktober 2019. Kemudian bertambah lagi menjadi 1,6 juta 6 bulan berikutnya (46 persen).
Baca juga: Pandemi, Di Rumah Saja, “Mager” dan “Baper” Drama Korea
Sejarah K-Drama
Di balik larisnya drama Korea di pasar global, K-Drama telah melalui perjalanan panjang untuk bisa menjadi populer seperti sekarang ini. Menilik sejarahnya, drama Korea awalnya dibuat untuk konsumsi lokal.
Merujuk publikasi Layanan Informasi dan Budaya Korea Selatan (KOCIS, 2015), era 1960-an menjadi titik di mana drama Korea dimulai. Judul pertama yang ditayangkan adalah Backstreet of Seoul tahun 1962, disiarkan di televisi lokal. Pada masa itu, TV masih menjadi barang mewah yang hanya dimiliki oleh kalangan tertentu.
Konten drama pun masih di bawah kekuasaan pemerintah yang sarat akan agenda politik. Judul kedua yang cukup populer adalah Real Theatre. Merupakan drama seri terpanjang yang tayang selama dua dekade dan menjadi alat gerakan antikomunisme pada masa itu.
Pada masa itu, pemerintah sempat melarang ada pendapatan dari pengiklanan. Namun, memasuki era 1970-an, larangan tersebut dicabut dan konten K-Drama menjadi lebih ringan. Drama serial menjadi hiburan keluarga seiring dengan makin banyaknya rumah tangga yang memiliki TV.
Susa Banjang menjadi salah satu judul yang populer saat itu. Sama seperti Real Theatre, Susa Banjang bertahan tayang selama 18 tahun. Drama ini menceritakan tentang kemiskinan yang berujung pada masalah sosial, muncul banyaknya penculikan, pembunuhan, dan penggunaan obat terlarang.
Era 1980-an variasi K-Drama meningkat. Drama romansa mulai diproduksi dan menyasar kalangan remaja. Drama Love and Ambition yang tayang tahun 1986 menjadi ikon pada era ini.
Tak berhenti di situ, era 1990-an menjadi awal di mana drama Korea mulai diproduksi di luar negeri dan memakan biaya yang besar, atau disebut blockbuster. Drama tentang sejarah Korea dari masa kolonial hingga perang Korea mulai diceritakan pada masa ini.
Drama romansa juga semakin diminati, bahkan dihubungkan dengan penjualan merchandise kepada penggemar K-Drama. Jealously dan Sandglass menjadi dua judul drama yang populer saat itu.
Seiring kemajuan teknologi, K-Drama tidak hanya bisa dinikmati di televisi. Pertumbuhan layanan video daring dan pesatnya perkembangan media sosial membuat drakor semakin dikenal luas. Era inilah, tahun 2000-an, menjadi titik awal drakor masuk ke pasar luar negeri dan kian diminati hingga saat ini, sejalan dengan penggunaan ponsel pintar di seluruh dunia.
Hallyu
Tidak hanya K-Drama, Korea juga mempernalkan musik Korea kepada dunia yang kini dikenal sebagai K-Pop. Musik asal Korea ini memang berkembang belakangan, sekitar tiga dekade setelah era K-Drama dimulai. Namun, popularitasnya tidak kalah dengan K-Drama.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jungsoo Kim (2016) dari Seoul National University disebutkan bahwa daya saing budaya populer Korea terlihat paling jelas melalui keberhasilan K-Pop. Tahun 1993, K-Pop mengalahkan popularitas musik dari Barat, dan makin populer tahun 2004 hingga saat ini. Sebelumnya, musik Korea masih masih didominasi musik dari Amerika Serikat.
Sejumlah grup K-Pop yang populer, antara lain, adalah Bangtan Boys (BTS), Super Junior, Blackpink, dan SuperM. Masih merujuk survei Statista, sembilan dari sepuluh responden mengaku mengetahui keberadaan K-Pop di industri musik global. Bahkan, salah satu boy band Korea, Big Bang, pernah memenangkan Penghargaan Musik Eropa tahun 2011, mengalahkan Britney Spears untuk kategori Best Worldwide Act.
Kini, K-Pop dan K-Drama menjadi teman sehari-hari para penggemar yang tersebar di banyak negara di dunia. Tak jarang, kecintaan mereka pada budaya Korea dan kekaguman meraka pada sang idola mengubah gaya hidup mereka. Gaya rambut, fashion, dan makanan yang dikonsumsi ditiru oleh para penggemar.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa Korea cukup berhasil memengaruhi minat masyarakat secara luas, baik domestik maupun luar negeri. Pengaruh budayanya yang kini telah meluas sering disebut-sebut sebagai Gelombang Korea (Korean Wave) atau dalam bahasa Korea disebut Hallyu.
Baca juga: Drama Korea Kian Diminati di Kala Pandemi
Faktor pendorong
Keberhasilan Korea Selatan ini boleh jadi bentuk dari titik balik setelah kesulitan yang dialami pada masa kolonialisme dan Perang Korea. Secara historis, Korea Selatan merupakan salah satu negara pinggiran.
Korea merupakan negara bekas jajahan Jepang. Tahun 1945, Korea bebas dari jajahan Jepang setelah dikuasai selama 36 tahun. Tidak berhenti di situ, 25 Juni 1950-27 Juli 1953 menjadi masa kelam berikutnya bagi Korea dengan adanya Korea. Perang tersebut yang kini membuat Korea terbagi menjadi dua bagian, Korea Utara dan Korea Selatan.
Peristiwa itu membuat banyak budaya Korea hilang dan kemudian didominasi oleh budaya Jepang. Di sisi lain, kemiskinan membuat Korea menjadi negara terbelakang di dunia. Namun, kini Korea telah bangkit dan menjadi salah satu kekuatan dunia.
Masih merujuk penelitian Jungsoo Kim, setidaknya ada lima faktor yang membuat Korea pulih, bahkan, menumbuhkan Gelombang Korea. Pertama adalah faktor internal. Histori Korea yang menjadi negara bekas jajahan membuat produk-produk bahkan budaya negara penjajah menguasai Korea.
Namun, ketidakcocokan penduduk Korea terhadap budaya asing membuat mereka mengembangkan budaya mereka sendiri, baik musik maupun drama. Musik AS yang mendominasi kala itu mendorong penduduk Korea untuk menghidupkan kembali musik mereka.
Sama halnya dengan drama. Awal kemunculan drama yang banyak menerima kritik karena ceritanya yang using, membuat drama dan konten pertelevisian asing mulai diimpor dan menguasai Korea. Namun, para pekerja seni berupaya keras agar produksi drama mereka tidak mati. Semangat inilah yang membuat K-Drama semakin populer saat ini.
Kedua adalah faktor ekternal. Tanpa adanya penerimaan dari pihak luar, Korea tidak akan mendunia seperti sekarang. Perkembangan ekonomi yang pesat, politik yang demokratis, dan liberalisasi di wilayah Asia Timur, seperti China, secara alami meningkatkan permintaan konsumen akan budaya populer, khususnya di kalangan generasi muda. Namun, budaya lokal China tidak mampu menyediakan.
China memegang peranan besar atas keberhasilan popularitas Korea. Ekonomi China berkembang pesat, tetapi pertumbuhan penduduk juga pesat. Akhirnya Pemerintah China membuat kebijakan agar keluarga Tionghoa hanya memiliki satu anak.
Anak-anak muda kaya ini menjadi semakin liberal dan semakin terbuka dengan budaya asing. Kekosongan budaya di China kemudian diisi oleh Korea. Budaya Korea dipilih karena negara-negara Asia Timur masih menolak budaya Jepang karena masa pahit kolonialisme.
Berikutnya adalah faktor individu. Beberapa tokoh Korea pada masa kebangkitan Korea mengupayakan agar budaya Korea menjadi populer. Pengusaha lokal, misalnya, mereka memperkenalkan musik pop Korea, diawali dengan promosi ke China dan negara Asia lainnya.
Pemerintah juga menjadi faktor penentu keberhasilan budaya pop Korea. Tahun 1995, Pemerintah Korea mendirikan Biro Industri Budaya di Lingkungan Kementerian Kebudayaan. Pemerintah juga memfasilitasi promosi budaya Korea ke dunia melalui pameran musik internasional.
Investasi sebesar 42 juta Won juga dilakukan pemerintah untuk membuat CD promosi dan pamflet untuk memperkenalkan musisi pop Korea kepada konsumen asing. Hal ini menunjukkan bahwa ada keseriusan dari pemerintah untuk membuat budaya Korea menjdai populer.
Terakhir adalah teknologi. Kemajuan teknologi informasi dan ekspansi jaringan global membantu Korea memperkenalkan budayanya, melalui mesin perambahan, kanal Youtube, dan media sosial.
Keseriusan sejumlah pihak membuat Korea berhasil mendunia saat ini. Meskipun belum seutuhnya mendunia, dari berbagai hasil penelitian menunjukkan ketergantungan akan budaya Korea masih mendominasi di wilayah Asia.
Terlepas dari seberapa besar kesuksesannya dan seberapa luas jangkauanya, Korea telah menunjukkan kemampuannya bangkit dari masa kelam, bahkan menjadi salah satu raksasa dunia untuk saat ini. (LITBANG KOMPAS)