Tantangan Tiada Henti Pekerja Muda di Masa Pandemi
Covid-19 dan adaptasi teknologi digital mengubah tatanan pasar tenaga kerja yang memberikan tantangan ganda bagi pekerja usia muda.
Dua tantangan besar dialami pekerja muda saat pandemi Covid-19. Pekerja usia muda lebih rentan menganggur dan mendapat upah lebih rendah. Di sisi lain, kaum muda harus menghadapi percepatan adopsi teknologi yang berdampak terhadap perubahan pasar tenaga kerja.
Satu tahun pandemi Covid-19 telah berlangsung dan belum juga tampak gejala akan mereda. Kasus terus bertambah, berbagai sektor kehidupan masih terpuruk. Perekonomian yang jatuh akibat pandemi turut berimbas pada sektor ketenagakerjaan. Pada April 2020, Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperingatkan dalam skenario terburuk sebanyak 24,7 juta orang akan menjadi pengangguran akibat dampak Covid-19.
Hingga akhir tahun 2020, kondisi bertambah parah karena pandemi belum juga mereda. Dalam laporan terbarunya per 25 Januari 2021, ILO bahkan mencatat 114 juta pekerja telah kehilangan pekerjaannya. Sebanyak 33 juta diantaranya menjadi pengangguran dan sisanya menjadi pekerja inaktif yaitu kelompok usia produktif yang tidak menganggur namun juga tidak mencari kerja.
Dari laporan itu disebutkan bahwa pekerja pada kelompok usia muda yaitu 15-24 tahun adalah yang paling terdampak pandemi. ILO memperkirakan pandemi menyebabkan 8,7 persen kelompok muda kehilangan pekerjaannya. Sementara pada kelompok pekerja dewasa (lebih dari 25 tahun), hanya 3,7 persen yang kehilangan pekerjaan. Perhitungan tersebut berdasarkan persentase tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya dibandingkan total tenaga kerja pada permodelan tidak terjadi pandemi.
Dalam survei ILO kepada 3.615 responden berusia 18-29 tahun di lima wilayah bagian dunia, satu dari enam responden menyebutkan berhenti bekerja sejak pandemi terjadi. Sebanyak 6,9 persen mengatakan kehilangan pekerjaan dan 10,5 persen berstatus pekerja tetapi dengan jam kerja nol atau berhenti sementara.
Dengan kondisi seperti ini, beban kelompok muda di sektor ketenagakerjaan bertambah. Tanpa adanya krisis ekonomi atau pandemi saja, kelompok muda sudah rentan di pasar tenaga kerja. Data membuktikan bahwa tingkat pengangguran kelompok muda lebih tinggi dibandingkan kelompok dewasa.
Data ILO pada 2019 menyebutkan tingkat pengangguran kelompok muda mencapai 13,5 persen. Sementara tingkat pengangguran kelompok dewasa (25 tahun ke atas) hanya 4 persen.
Ada beberapa alasan untuk menjelaskan tingkat pengangguran kelompok muda yang lebih tinggi dibanding kelompok dewasa. Pertama, sebagian besar kelompok muda menganggur karena belum mendapatkan pekerjaan setelah mereka lulus sekolah atau perguruan tinggi. Kedua, tenaga kerja usia muda baru saja memasuki dunia pekerjaan sehingga pengalaman mereka sedikit. Akibatnya dalam persaingan pasar tenaga kerja, mereka bersaing lebih keras dengan para senior yang sudah berpengalaman.
Selanjutnya, kaum muda cenderung lebih mudah berpindah pekerjaan sehingga mereka menganggur sembari mencari pekerjaan yang baru. Pada beberapa kasus, kelompok muda juga lebih rentan menganggur karena perlindungan ketenagakerjaan yang diberikan pada mereka lemah terutama pada sektor informal.
Dampak jangka panjang
Meningkatnya tingkat pengangguran kaum muda bukan satu-satunya permasalahan utama yang diakibatkan krisis ekonomi. Berdasarkan pengalaman krisis-krisis sebelumnya, permasalahan ketenagakerjaan kaum muda ini berlanjut dan meningkatkan kerentanan kaum muda di pasar tenaga kerja.
Dibandingkan kelompok dewasa, kaum muda menerima efek krisis dalam jangka waktu yang lebih lama. Sebagai contoh, pasca krisis resesi ekonomi 2007-2008 tingkat pengangguran kelompok muda dan dewasa sama-sama meningkat dengan peningkatan melebihi sebelum krisis terjadi. Tetapi tingkat pengangguran kelompok muda pasca resesi mengalami stagnasi bahkan meningkat lebih tinggi dibandingkan tren kelompok dewasa.
Pada 2006, tingkat pengangguran kelompok muda 12,8 persen dan kelompok dewasa 3,9 persen. Kemudian pada 2009, tingkat pengangguran kelompok muda mencapai 13,4 persen dan kelompok dewasa 4,4 persen. Pada 2016 tingkat pengangguran kelompok muda bahkan mencapai puncak tertinggi selama periode 2005-2019 yaitu 13,8 persen, sementara kelompok dewasa bertahan di 4,2 persen.
Selain itu, krisis ekonomi juga dapat berdampak pada pendapatan kelompok muda dalam jangka waktu panjang. Ekonom dari Northwestern University, Hannes Scwandt dan ekonom University of California, Till Von Wachter, dalam penelitiannya pada kelompok muda di Amerika Serikat menyebutkan, kelompok muda yang mencari pekerjaan pertama saat krisis pandemi Covid-19 berpotensi menerima pendapatan lebih rendah selama beberapa tahun ke depan.
Diperkirakan 6,8 juta tenaga kerja muda AS kehilangan pendapatan 400 miliar dollar AS dalam sepuluh tahun di awal pekerjaan pertama mereka. Ini berdasarkan prediksi pemulihan ekonomi berhasil di 2021. Jika situasi tidak membaik, kemungkinan mereka untuk tertinggal semakin besar.
Disrupsi teknologi
Covid-19 menambah tantangan baru bagi kelompok muda setelah sebelumnya pengangguran meningkat akibat disrupsi teknologi. Akibat Covid-19, makin banyak perusahaan mempercepat adopsi teknologi.
Ini berdampak pada hilangnya sejumlah jenis pekerjaan dan pengurangan karyawan yang bahkan sebelum pandemi sudah diprediksi akan terjadi. Sebanyak 85 juta pekerjaan akan tergantikan oleh mesin. Namun, 97 jenis pekerjaan baru akan muncul dengan penyesuaian pembagian kerja antara manusia dengan mesin.
pandemi Covid-19 menyebabkan 8,7 persen kelompok muda kehilangan pekerjaannya
Menyusul perubahan ini, pasar tenaga kerja juga akan berubah sesuai permintaan tenaga kerja. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja yang memiliki kualifikasi berbasis teknologi digital.
Dalam lima tahun ke depan permintaan pekerja di bidang kecerdasan buatan (AI) dan machine learning, pengembang aplikasi dan perangkat lunak, hingga robotik akan terus meningkat. Kondisi ini menurut ILO justru menempatkan kelompok muda menjadi yang paling rentan dalam pasar tenaga kerja. Penyebabnya ada dua faktor.
Pertama, kelompok muda lebih diarahkan pada tugas dan pekerjaan yang lebih rentan digantikan oleh otomatisasi mesin atau robot. Kedua, dalam jenis pekerjaan yang sama pekerjaan yang dikerjakan kelompok muda cenderung memiliki proporsi otomatisasi oleh mesin atau robot lebih besar.
Situasi ini juga disadari dan dikhawatirkan oleh kelompok muda. Dalam laporan Global Employment Trends for Youth 2020, ILO memaparkan hasil survei yang memotret kekhawatiran kelompok muda akan tantangan disrupsi teknologi bagi pasar tenaga kerja.
Lebih dari 50 persen responden kelompok muda di beberapa negara seperti Kanada, Brazil, Jepang, Hungaria menyatakan tidak percaya bahwa penggunaan teknologi seperti robot akan membuka kesempatan kerja baru dengan upah yang lebih baik.
Di sisi lain, perubahan ini membuka kesempatan besar bagi kelompok muda yang sudah lebih ramah digital. Perusahaan-perusahaan mengaku masih sulit menemukan tenaga kerja yang memiliki keterampilan sesuai yang dibutuhkan. Munculnya kesenjangan keterampilan (skill gap) tersebut perlu diisi oleh kelompok muda.
Perlu peningkatan keterampilan kelompok muda sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Ini dimulai dari jenjang sekolah hingga pendidikan tinggi termasuk menyediakan akses pendidikan berkualitas dan berbasis teknologi pada semua daerah baik kota maupun perdesaan, baik negara maju maupun negara berkembang.
Pada akhirnya Covid-19 dan adaptasi teknologi digital memang mengubah tatanan pasar tenaga kerja yang memberikan tantangan ganda bagi kelompok muda. Menjamin terciptanya tenagakerja kelompok muda yang adaptif menjadi hal mutlak yang harus dilakukan saat-saat ini. Karena kelompok muda inilah yang nantinya mau tidak mau akan menjadi generasi penerus setiap bangsa di dunia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Covid-19 dan Perubahan Pasar Tenaga Kerja Masa Depan