Zaman Perubahan, Zaman Kesempatan
Bonus demografi menjadikan anak muda sebagai generasi dominan di Indonesia. Saat ini adalah zaman kesempatan bagi anak-anak muda untuk terlibat dalam menciptakan pergerakan dan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
”Anak muda boleh pandai beretorika, tapi juga harus sadar untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita.” (Mohammad Hatta)
Kutipan Wakil Presiden pertama Mohammad Hatta di atas rasanya pas untuk menjadi pelecut bagi anak muda hari ini. Eksistensi dan kontribusi anak muda sedang ditunggu publik.
Mereka adalah generasi masa depan yang akan membawa bangsa ini ke zaman mereka, zaman perubahan, dan zaman kesempatan. Namun, kemauan politik tak cukup. Butuh kapasitas dan integritas politik agar anak muda dapat mentransformasikan sebuah kesempatan menjadi sebuah perubahan.
Sulit dibantah anak muda hari ini adalah jawaban atas matinya secara perlahan kekuatan gerontokrasi. Kata ini mewakili sebuah rezim yang lebih menempatkan golongan atau kepentingan kelompok tua dalam sebuah pemerintahan. Kini, gerontokrasi rasanya sudah lapuk, tak relevan bertahan dan hegemonik di era digital.
Apa dasarnya? Banyak. Demografi penduduk kita hampir separuh sudah didominasi oleh usia-usia produktif. Hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 mencatat, jumlah generasi milenial yang di dalamnya ada Gen Y, Gen Z, dan Alfa Generation tercatat menjadi golongan yang paling dominan. Proporsi ketiga generasi milenial ini lebih kurang mencapai separuh dari total populasi Indonesia yang mencapai 270,20 juta jiwa. Dahsyat bukan?
Mengutip Yanuar Surya Putra dalam Teori Perbedaan Generasi (2016), Y-gen lahir tahun 1980-1995, Z-gen 1996-2010, dan A-gen setelah tahun 2010. Berdasarkan struktur ini, total dari ketiga generasi ini berumur antara 10 dan 39 tahun saat ini. Jumlah ini lebih besar dari kelompok nonmilenial.
Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih milenial (usia 17-39 tahun) sekitar 85 juta orang dari 185 juta pemilih. Angka ini lebih kurang mencapai 45 persen. Sisanya adalah kelompok nonmilenial, yakni Veteran generation lahir 1925-1946, Baby Boomers generation lahir tahun 1945-1964, dan X generation yang lahir pada 1965-1979.
Menariknya, X generation menjadi generasi yang beririsan dengan kelompok milenial. Gen-X menjadi generasi yang usianya tidak termasuk milenial, tetapi karakter dan model berpikirnya menyesuaikan dengan milenial.
Dalam konteks kepemimpinan politik di Indonesia, Gen-X ini tidak bisa dimungkiri perannya sebagai jembatan atau intermediary generation. Inilah potensi anak-anak muda yang begitu besar dan menjadi berkah sekaligus bonus penggerak bagi bangsa ini.
Sayangnya, jika kita lihat kembali data yang ada, anak-anak muda belum tergerak secara masif memasuki dunia usaha. Data Himpunan Pengusaha Muda Indonesia menyebutkan, hingga saat ini pemuda Indonesia yang menggeluti atau masuk ke dalam dunia usaha hanya 3 persen dari total jumlah penduduk sekitar 260 juta jiwa.
Persentase ini tidak bertumbuh, bahkan masih jauh dibandingkan dengan negara tetangga yang umumnya mencapai 5-7 persen. Data BPS kembali menyebutkan, hanya 11,2 juta pengusaha muda yang ada di Indonesia. Sebagian besar dari mereka (45,6 persen) berasal dari usia 30-34 tahun.
Gen-X ini tidak bisa dimungkiri perannya sebagai jembatan atau intermediary generation.
Besarnya potensi anak muda melakukan gerakan ekonomi yang masuk dalam dunia usaha semakin menemukan relevansinya pada era pandemi Covid-19 ini. Berdasarkan survei UNDP dan Citi Foundation, disebutkan bahwa pandemi berdampak besar pada sekitar 78 persen pengusaha muda.
Sebanyak 21 persen dari mereka terpaksa menutup usahanya. Kondisi ini tentu menambah beban tantangan ke depan, terutama bagaimana menggerakkan anak-anak muda untuk masuk di sektor ekonomi.
Akan tetapi, koordinator Perkumpulan Kader Bangsa yang sekaligus founder dari Anak Muda Punya Usaha (Ampuh), Dimas Oky Nugroho, justru melihat masa seperti ini menjadi kesempatan baru bagi anak-anak muda. Menurut Dimas, kondisi ini justru menjadi zaman kesempatan bagi anak-anak muda untuk lebih kreatif dan inovatif menghadapi masa pandemi.
”Jumlah usia produktif para anak muda sangat besar, potensi untuk menggerakkan ekonomi terbuka lebar. Apalagi jika anak-anak muda dibekali dengan spirit kebangsaan, kapasitas, dan integritas yang kokoh, generasi ini bisa menjadi generasi juara,” ungkap Dimas.
Sejumlah upaya yang digalang Dimas dengan gerakannya yang fokus pada penguatan kebangsaan dan kewirausahaan kreatif, antara lain, adalah bagaimana menjadikan era kesempatan ini tidak disia-siakan oleh anak-anak muda.
Salah satunya dengan mengajak mereka untuk berkiprah dengan menguatkan UMKM yang selama ini menjadi penopang dari setiap krisis ekonomi, termasuk pada situasi pandemi saat ini. Menurut dia, beberapa sektor yang populer dimasuki oleh anak-anak muda kekinian adalah kuliner, teknologi informasi, dan pertanian.
Pertanian? Ya, sektor pertanian. Data Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian mencatat, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 2,7 juta orang.
Angka ini sekitar 8 persen dari total petani di Indonesia yang berjumlah lebih kurang 33,4 juta orang. Artinya, sektor pertanian saat ini masih didominasi generasi tua. Padahal, sektor pertanian sebenarnya menjadi jawaban akan tantangan krisis pangan yang menjadi problem dunia ke depan.
Problem regenerasi di sektor pertanian inilah yang semestinya menjadi peluang untuk dimasuki anak-anak muda. Data BPS 2019 mencatatkan, jumlah petani muda mengalami penurunan 415.789 orang dari periode 2017 ke 2018.
Terkait dengan pentingnya regenerasi petani ini, apa yang dilakukan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang mengajak 5.000 pemuda Jawa Barat untuk menjadi petani milenial semakin relevan.
Peran politik
Masih minimnya anak-anak muda masuk dalam zaman kesempatan dan perubahan ini pada akhirnya juga berpulang bagaimana sebuah kebijakan harus berpihak pada membuka peluang kepada anak-anak muda.
Pintu politik menjadi kunci agar kebijakan-kebijakan yang berdampak luas bagi masyarakat juga menyertakan aspek kepentingan anak-anak muda untuk berkembang. Kecenderungan ini sebenarnya menemui jawaban ketika peran anak muda di sektor politik mulai menunjukkan eksistensinya.
Bagaimanapun, anak muda dan politik tak bisa dilepaskan. Mereka menjadi ceruk pemilih yang sangat besar dan berpengaruh pada dinamika politik yang ada. Lebih kurang 45 persen pemilih di Indonesia berasal dari kelompok anak-anak muda ini. Tentu, kebijakan politik yang tidak menempatkan anak muda akan sedikit mencederai hakikat dari politik itu sendiri yang semestinya akomodatif dan dialogis.
Anak muda menjadi ceruk pemilih yang sangat besar dan berpengaruh pada dinamika politik
Apalagi anak-anak muda kini tengah sukses menarik perhatian pemilih. Lihat saja hasil Pilkada 2020. Meskipun jumlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah masih didominasi generasi post millenial, anak-anak muda tetap mampu menunjukkan perannya.
Dari 178 pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilantik pada 26 Februari 2021, sebanyak 32 orang di antara mereka adalah anak-anak muda berusia 26-35 tahun. Rata-rata dari kelompok usia ini ada sekitar 7-10 persen dari total pasangan pemenang yang dilantik pada gelombang pertama hasil Pilkada 2020. Kepala daerah paling muda yang dilantik pada Jumat lalu masih berusia 28 tahun.
Menariknya, tidak sedikit dari mereka adalah para wirausaha muda. Hal ini tentu mengingatkan kita pada analisis Anies Baswedan di harian Kompas pada 31 Oktober 2006 berjudul Siapakah ”Ruling Elite” Indonesia? Di artikel tersebut Anies memprediksi, anak-anak muda akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite setelah mencapai kematangan. Mereka akan menjadi penentu arah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika mengikuti regenerasi kepemimpinan, dengan munculnya lembaga pendidikan modern sejak 1901, tren bergeser. Kaum muda yang mendapatkan pendidikan modern pada era 1900-an sampai 1930-an menjadi ruling elite pada 1940-an sampai 1960-an. Tren bergeser pada era 1970-an sampai 1990-an, di mana formasi elite Indonesia akhirnya beralih di tangan militer.
Selanjutnya, tren utama bangsa berubah lagi pada periode 1960-an sampai 1990-an yang didominasi oleh organisasi kemahasiswaan sebagai media perekrutan pemimpin muda. Mereka adalah aktivis kampus kaum muda yang kemudian menjadi elite tahun 2000-an ke atas.
Saat ini, tren beralih. Anies memprediksikan sampai 2020-an dan selanjutnya lingkaran elite akan didominasi kalangan entrepreneur dan profesional bisnis. Hal ini tidak lepas dari banyaknya anak muda yang berkecimpung di dunia ekonomi yang kemudian beralih ke politik. Anak muda pemenang Pilkada 2020 menjadi salah satu bukti penguatnya.
Anak-anak muda akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite setelah mencapai kematangan. Mereka akan menjadi penentu arah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengamat politik Fisip Universitas Airlangga, Hari Fitrianto, melihat banyaknya anak muda memenangi pilkada ini merupakan sinyal positif bagi lahirnya model kepemimpinan baru di Indonesia. ”Pemimpin muda diharapkan mampu menjadi ’hub’ serta mampu menerjemahkan apa yang menjadi way of life anak muda saat ini yang diwakili generasi Y dan Z. Mereka adalah generasi yangg dilahirkan di arus deras teknologi digital,” ucap Hari.
Meskipun demikian, kemenangan sebagian anak-anak muda ini juga tidak lepas dengan tuduhan jaringan politik kekerabatan yang dilekatkan pada mereka. Hari melihat hal ini tentu menjadi tantangan bagi anak-anak muda yang sebagian dari mereka memiliki latar belakang keluarga mantan pejabat politik atau bahkan yang saat ini masih sedang menjabat. ”Waktu akan menunjukkan kualitas kepemimpinan dari para pemimpin muda, masyarakat akan menilai dan membandingkan,” ungkapnya.
Konfigurasi nasional
Kiprah anak-anak muda di konfigurasi politik lokal sebagai hasil pilkada tersebut semestinya menjadi inspirasi bagi konfigurasi yang sama di tingkat nasional. Sayangnya, peran anak muda belum begitu mendapatkan kesempatan untuk berkiprah meskipun bukan berarti tidak ada.
Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan segala pro dan kontra yang menyertainya, harus diakui juga bagian dari upaya memberikan panggung bagi anak-anak muda untuk berkiprah di dunia politik.
Selain itu, penunjukan Staf Khusus Presiden dari kelompok milenial juga sinyal positif bagaimana pemerintah memberikan tempat bagi anak-anak muda. Sayangnya, peran mereka belum begitu menonjol, bahkan beberapa di antara mereka sempat menjadi sorotan publik terkait dengan dugaan pemanfaatan jabatan untuk kepentingan bisnis yang mereka jalankan. Anak muda memang penuh dengan gairah, tetapi juga penuh dengan godaan.
Ke depan, tidak ada salahnya Presiden menguatkan staf khusus milenial ini untuk berkolaborasi bersama dalam satu payung Kantor Staf Presiden (KSP) agar tim khusus yang membantu kerja-kerja presiden ada perubahan dengan diwarnai oleh gerak langkah anak-anak muda yang terkoordinasi, berintegritas dan kompeten di bidangnya.
KSP, tentunya dengan sejumlah perubahan, sesungguhnya bisa menjadi institusi untuk rumah progresif dan kreatif bagi anak-anak muda yang bekerja mendukung Presiden Joko Widodo dalam membangun negara.
Rasanya sudah waktunya Presiden memberikan kesempatan yang lebih berani dan konkret bagi anak-anak muda untuk berkiprah di panggung politik nasional guna membantu negara dan membantu kesuksesan program pemerintahannya.
Tak pelak, seperti halnya Bung Hatta bilang, anak-anak muda semestinya tidak cukup sekadar cakap beretorika, ia harus turut bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bangsa dan negara ini, seperti yang tertuang dalam pembukaan konstitusi negara yang ujungnya adalah menciptakan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Anak muda pasti bisa dan berani, tinggal bagaimana kesempatan ini dibuka dan dimanfaatkan. Inilah zaman kesempatan bagi anak muda yang tak bisa diabaikan lagi. Semoga. (LITBANG KOMPAS)