Paradoks Vaksinasi Covid-19 di Sumbar
Aspek kultural dan struktural dapat menjadi jalan masuk ke lapisan masyarakat guna meningkatkan penerimaan publik terhadap vaksin di Sumatera Barat
Meski menuai sejumlah penolakan, asa untuk penerimaan vaksin Covid-19 di Sumatera Barat masih terbuka. Aspek kultural dan struktural dapat menjadi jalan masuk ke lapisan masyarakat guna meningkatkan penerimaan publik terhadap vaksin.
Vaksinasi Covid-19 di Sumatera Barat (Sumbar) dihadapkan kepada sebuah realitas sosial yang cukup komplet. Aspek kultural, sosial, hingga politik, memberikan pengaruh secara linear pada penolakan masyarakat terhadap vaksin.
Namun, situasi ini juga mengalami paradoks. Tidak semua masyarakat menutup mata. Nyatanya, celah penerimaan masih cukup terbuka. Setidaknya hal ini terekam dalam survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 27 Desember 2020-9 Januari 2021 terhadap 400 responden di daerah Padang, Bukittinggi, Solok, dan Payakumbuh.
Di tengah relatif tingginya penolakan terhadap vaksin dibandingkan daerah lainnya, masih terdapat sejumlah kelompok masyarakat yang bersedia divaksinasi. Siapa saja mereka? Dan mengapa mereka bersedia menerima vaksin Covid-19?
Sebanyak 20,4 persen responden, atau satu dari lima orang yang diwawancarai di Sumbar, menyatakan penolakannya terhadap vaksin Covid-19. Dengan alasan apa pun, seperti jaminan kehalalan, vaksin gratis, hingga vaksin buatan Indonesia, kelompok masyarakat ini tetap tidak bersedia menerima vaksin. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan angka penolakan secara nasional pada kategori yang sama (5,2 persen).
Namun, di balik tingginya penolakan ini, masih terdapat dua kelompok masyarakat yang menjadi tumpuan untuk memperlebar potensi penerimaan terhadap vaksin. Kelompok masyarakat pertama adalah mereka yang menerima vaksin tanpa syarat. Artinya, tanpa memandang faktor apa pun, kelompok masyarakat ini bersedia menerima vaksin Covid-19.
Jumlahnya memang kecil, hanya sebesar 7,2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan penerimaan secara nasional pada kategori ini yang mencapai 26,8 persen. Namun, hadirnya kelompok masyarakat ini dapat menjadi pemantik untuk mendorong keinginan kelompok masyarakat lainnya agar bersedia divaksinasi.
Kelompok masyarakat kedua adalah mereka yang bersedia divaksinasi, tetapi dengan beberapa syarat. Syarat yang diajukan beragam, mulai dari kehalalan, vaksin gratis, hingga vaksin yang berasal dari Indonesia.
Jumlah responden yang masuk pada kategori ini cukup besar, yaitu sebesar 44,3 persen. Artinya, jika sejumlah syarat yang diharapkan oleh masyarakat terpenuhi, secara keseluruhan terdapat 51,5 persen masyarakat di Sumbar yang bersedia divaksinasi.
Kategori penerima
Derajat penerimaan masyarakat di Sumbar terhadap vaksin Covid-19 dapat dilihat pada beberapa kategori. Pada kategori usia, misalnya, penerimaan terendah disuarakan oleh kelompok responden di atas 53 tahun atau yang termasuk kelompok generasi baby boomers. Hanya sepertiga responden (39,1 persen) pada kelompok ini yang bersedia menerima vaksin. Hal ini cukup wajar mengingat faktor kesehatan yang juga menjadi syarat utama vaksinasi.
Sebaliknya, derajat penerimaan yang cukup tinggi ditunjukkan oleh kelompok responden generasi muda. Pada kelompok usia di bawah 22 tahun, misalnya, sekitar dua pertiga masyarakat pada kelompok usia ini bersedia menerima vaksin. Sementara pada kelompok usia lainnya, penerimaan vaksin berada di bawah 60 persen.
Kondisi yang sama juga terlihat pada level pendidikan. Semakin tinggi level pendidikan, semakin besar pula derajat penerimaan masyarakat di Sumbar terhadap vaksin. Angka penerimaan tertinggi adalah pada jenjang pendidikan tinggi sebesar 63 persen.
Jika melihat tingkat penerimaan masyarakat Sumbar terhadap vaksin, tak ada satu pun kategori yang mencatatkan penerimaan di atas 70 persen. Padahal, untuk dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity, pemerintah menargetkan vaksinasi sebesar 70 persen dari jumlah penduduk.
Jika skenario ini diturunkan dari tingkat nasional pada level provinsi, tampaknya target 70 persen vaksinasi di Sumbar akan sulit tercapai. Apalagi, jika menilik berdasarkan penerimaan pada tingkat wilayah, penerimaan vaksin juga masih di bawah 70 persen, yakni Solok (65,4 persen), Padang (59,2 persen), Payakumbuh (47,4 persen), dan Bukittinggi (42,9 persen).
Artinya, dalam skenario terburuk, butuh intervensi untuk meningkatkan penerimaan vaksinasi bagi masyarakat di Sumbar. Jika tidak, tingkat penerimaan vaksin di Sumbar, khususnya pada kota-kota utama yang menjadi sumber penggerak ekonomi, akan sulit tercapai.
Peluang positif
Di balik rendahnya cakupan penerimaan vaksin di Sumbar, ada dua peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan potensi penerimaan masyarakat. Pertama adalah dari aspek struktural. Bagi mereka yang bersedia divaksinasi, aspek ini berperan penting sebagai sumber informasi yang dipercaya.
Aspek struktural yang dimaksud adalah peran pemerintah dan tenaga medis. Dari seluruh sumber informasi yang dipercaya terkait vaksin, peran tenaga medis dan pemerintah cukup berpengaruh pada pilihan masyarakat Sumbar untuk divaksinasi. Sosialisasi hingga ke berbagai lapisan masyarakat dari tenaga medis dan pemerintah dibutuhkan untuk meningkatkan derajat penerimaan vaksin di wilayah ini.
Kehadiran pemerintah sebagai sumber informasi yang dipercaya oleh masyarakat di Sumbar sesungguhnya merupakan sesuatu yang wajar, terutama jika melihat berdasarkan latar belakang politik. Pasalnya, penolakan vaksin terbesar di Sumbar disuarakan oleh kelompok masyarakat yang tidak memilih Joko Widodo pada Pilpres 2019.
Bagi pemilih Jokowi, sebanyak 77,2 persen di antaranya bersedia divaksinasi. Sementara bagi pemilih Prabowo Subianto, hanya separuh responden yang bersedia menerima vaksin. Namun, munculnya kepercayaan kepada pemerintah sebagai sumber informasi terkait vaksin tentu menjadi suatu kesempatan bagi pemangku kebijakan untuk terjun langsung ke masyarakat bersama dengan tenaga kesehatan.
Jika menilik berdasarkan konfigurasi kepercayaan masyarakat di Sumbar kepada kinerja pemerintah dalam penanganan Covid-19, dan kaitannya dengan ketersediaan masyarakat untuk divaksinasi, harapan untuk mencapai penerimaan di atas 70 persen sebenarnya dapat terwujud.
Pasalnya, masih terdapat 22,1 persen kelompok masyarakat yang percaya dengan kinerja pemerintah, tetapi masih belum bersedia divaksinasi. Jika kelompok masyarakat ini berhasil didekati, potensi penerimaan vaksinasi di Sumbar dapat mencapai 73,7 persen.
Dari aspek kultural, ketersediaan vaksinasi juga turut dipengaruhi oleh saudara, tokoh adat, dan tokoh agama setempat. Kondisi ini memang tidak dapat dipisahkan dari peran ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai dalam kaitannya dengan penerimaan vaksin. Dalam budaya Minang, ketiga tokoh ini juga jamak disebut sebagai Tigo Tungku Sajarangan.
Imbauan dari tokoh agama lokal akan berpengaruh pada keputusan untuk menerima vaksin. Jika ulama setempat sudah diberi vaksin, publik akan mempertimbangkan mengikuti program vaksinasi.
Jika kedua strategi ini dapat dimanfaatkan, yakni sosialisasi dari pemerintah dan tenaga kesehatan, serta diikuti gerakan dari tokoh adat dan tokoh agama lokal untuk terjun ke masyarakat dalam kampanye vaksin, bukan hal yang mustahil penerimaan vaksin di Sumbar dapat meningkat. (LITBANG KOMPAS)