Hati-hati Menelan Propaganda di Media Sosial
Keberadaan berita-berita bohong tidak dapat dipandang sebagai sekadar dinamika konten dalam media sosial, tetapi juga sebagai alat propaganda di dunia maya.
Seruan propaganda tidak lagi tersebar melalui poster di jalanan atau siaran radio. Propaganda kini disajikan di media sosial dengan menampilkan ”kebenaran” yang mengecoh persepsi, menipu indera, serta memelintir logika.
Sepanjang Januari 2020 hingga Januari 2021, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah mengumpulkan 1.387 berita bohong (hoaks) terkait Covid-19 yang tersebar di media sosial. Paling banyak, ditemukan di Maret 2020 sebanyak 311 hoaks. Situasi saat itu bertepatan dengan momen pemberitaan dua orang yang positif tertular virus Covid-19 pertama kali di Indonesia (2/3/2020).
Lebih detail lagi, jumlah sebaran berita bohong tersebut mencapai dua kali lipat dari konten hoaks yang ditemukan. Kementerian Kominfo dan Polri menemukan 2.154 hoaks yang tersebar di media sosial Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube. Di antara platform ini, Facebook menjadi media penyebaran paling banyak dengan jumlah sebaran 1.625 hoaks.
Sementara itu, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi yang fokus memerangi hoaks, menemukan 893 konten hoaks dari 1 Januari 2020 hingga 15 Februari 2021. Jumlah tersebut belum termasuk persebarannya di lintas platform media sosial.
Menariknya, temuan Mafindo ini juga menangkap konten hoaks seputar vaksin Covid-19 yang mulai meningkat di Desember 2020 dan memuncak di Januari 2021. Lengkapnya, di Desember 2020 ditemukan 16 konten hoaks vaksin Covid-19 yang kemudian meningkat menjadi 45 konten hoaks vaksin Covid-19 pada Januari 2021. Melihat rentang waktu munculnya hoaks, peningkatan ini terkait erat dengan momentum dimulainya program vaksinasi Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo dan sejumlah tokoh lainnya pada 13 Januari 2021.
Keberadaan berita-berita bohong ini tidak dapat dipandang sebagai sekadar dinamika konten dalam media sosial. Sejak 2017, TrendLabs telah mengendus motif penyebaran hoaks ini sebagai sebuah alat propaganda di dunia digital. Perusahaan teknologi ini merilis hasil penelitian terhadap konten-konten hoaks di media sosial.
Secara jelas, para pembuat konten hoaks ini memiliki tujuan tertentu, bukan sekadar iseng atau bersenang-senang. Tujuannya ada dua, keuntungan ekonomi bagi produsen hoaks dan propaganda politik bagi kalangan besar pengguna jasa. Para produsen hoaks ini bekerja dengan model agensi sesuai pesanan dengan harga proyek tertentu.
Bagi pemakai jasa, tawaran yang diberikan menggiurkan karena menggiring opini warganet di media sosial jauh lebih murah daripada memasang iklan di platform tersebut. Misalkan saja di salah satu produsen asal China yang menawarkan konten hoaks yang tersebar di 10 situs (berskala nasional) dengan harga 800 yuan atau setara Rp 1,7 juta. Selain itu, pemakai jasa mendapatkan laporan analisis tentang jangkauan hingga amplifikasi dari konten hoaks yang disebarkan.
Untuk sampai pada kesimpulan ini, TrendLabs melakukan analisis terhadap jasa produsen hoaks dari China, Rusia, dan Timur Tengah yang telah lama beroperasi. Para produsen hoaks ini biasanya berkedok sebagai jasa analis media sosial atau pembuat konten media sosial bagi suatu produk. Model bisnis menguntungkan inilah yang pada akhirnya diikuti oleh pihak lain di berbagai negara.
Hoaks dan akun bot
Para produsen ini begitu lihai dalam menipu warganet yang menjadi targetnya, bahkan dapat menimbulkan kerugian berlipat ganda. Sebagai contoh, Perusahaan A (produsen hoaks) mendapat pesanan untuk membuat konten hoaks yang dimuat di media sosial (Youtube, Facebook, Instagram, dan Twitter) dengan akun-akun mereka. Selain itu mereka juga memuatnya di 10 situs berskala nasional di suatu negara.
Begitu konten hoaks tersebar dan menyita perhatian di media sosial, mereka akan berfokus untuk mengubah opini seseorang tentang pilihan politik atau produk tertentu. Konten ini biasanya memuat rujukan (link) ke situs yang Perusahaan A buat sebelumnya, tentunya dengan konten hoaks yang lebih komprehensif (diberikan gambar, ilustrasi, atau video). Ketika ada warganet yang mengetuk link tersebut, maka gawai mereka rentan bahaya peretasan (phising) yang dipasang secara otomatis oleh Perusahaan A di situs tersebut.
Maka, setidaknya ada tiga keuntungan yang diperoleh oleh Perusahaan A sebagai produsen hoaks ini. Ketiganya adalah bayaran proyek dari pemakai jasa, peningkatan jumlah klik (traffic) pada akun media sosial dan situs palsu yang dibuat Perusahaan A, serta data pribadi warganet yang dicuri dari aksi peretasan melalui klik. Gambaran ini hanya memberikan ilustrasi dari satu konten hoaks yang dipesan.
Untuk menyebarkan konten hoaks di media sosial, umumnya mereka menggunakan akun anonim. Di platform Twitter, akun-akun anonim yang mengirim cuitan secara otomatis biasa disebut sebagai akun bot (akun yang terotomatisasi). Di kalangan pengguna media sosial saat ini, kehadiran akun bot bukanlah sesuatu yang asing.
Arun Vishwanath, peneliti dari Universitas Buffalo, AS, bersama para muridnya melakukan penelitian tentang akun bot di Facebook dan Twitter saat masa kampanye Pemilu AS 2018. Ia menemukan bahwa Facebook mendeteksi dan memblokir 1,3 miliar akun palsu dan 336 juta akun palsu telah diblokir oleh Twitter selama masa kampanye tersebut.
Dalam kesimpulannya, Vishwanath menyatakan bahwa jumlah akun bot tidak sebanyak akun asli di media sosial. Hanya, akun bot cenderung lebih membawa pengaruh terhadap suatu penggiringan opini warganet. Di Twitter, akun bot lebih sering melakukan cuitan ulang (retweet) opini senada dari akun asli daripada melakukan cuitan ulang terhadap sesama akun bot.
Di satu sisi, akun bot ini bekerja secara sporadis, karena mereka mendeteksi akun asli dan mendukung cuitan mereka (like, share, atau retweet). Di sisi lain, mereka bekerja secara terkonsentrasi, misalnya menaikkan suatu tagar atau cuitan di waktu yang hampir bersamaan dengan akun-akun bot lainnya. Semua ini dilakukan agar terbaca oleh algoritma Twitter dan menaikkan isu yang mereka bawa ke daftar topik yang sedang tren (trending topics).
Meski begitu, tidak semua akun anonim adalah akun bot. Inilah yang menjadi perhatian Vishwanath selanjutnya. Menurut dia, di Twitter banyak pengguna asli yang berlindung di balik akun anonim (akun alter atau akun kedua) dengan profil foto atau keterangan yang tidak jelas. Apalagi, di awal peluncurannya, media sosial tidak membatasi banyak pembuatan akun oleh seorang pengguna.
Sejak 2017, Twitter telah menetapkan aturan mengenai pembuatan satu akun untuk satu surel yang telah terdaftar. Akan tetapi, tetap saja muncul akun-akun anonim oleh pengguna aktif. Menurut Vishwanath, fenomena akun anonim ini di media sosial apa pun, adalah suatu ilusi keamanan.
Maksudnya, ketika seseorang menggunakan akun anonim, mereka berharap bahwa identitas mereka akan tersembunyi atau tidak mudah dikenali oleh pengguna lainnya. Padahal, akun anonim apa pun akan terafiliasi dengan akun surel yang terdaftar, beserta identitas lainnya seperti nomor telepon pengguna. Dari nomor telepon itu, dapat diketahui keterangan lebih lanjut seperti nama, identitas, alamat, hingga lokasi ketika mengakses media sosial.
Jika digunakan sebatas media hiburan, tentu tidak ada masalah karena media sosial memiliki pengaturan keamanan tertentu. Namun, jika akun anonim teridentifikasi melakukan kampanye atau propaganda berbau SARA, hal yang membahayakan, atau aksi terorisme, maka tidak tertutup kemungkinan pihak keamanan siber meminta platform media sosial untuk membongkar identitas akun tersebut.
Kendati demikian, akun bot tidak dapat dibendung dengan mudah. Ketika akun ini diblokir oleh media sosial, para produsen akan dapat menciptakan akun bot baru. Layaknya virus, akun bot dapat cepat berlipat ganda dan menggerogoti kebebasan berpendapat di media sosial.
Propaganda
Manipulasi akun dan informasi juga didorong oleh motif propaganda politik. Berdasarkan penelitian dari Universitas Oxford pada 2019, ditemukan kampanye manipulasi media sosial terorganisasi yang telah berlangsung di 70 negara, naik dari 48 negara pada 2018, dan 28 negara pada 2017. Di setiap negara, setidaknya ada satu partai politik atau instansi pemerintah yang menggunakan media sosial untuk membentuk sikap publik di dalam negeri.
Dari 70 negara tersebut, 26 negara di antaranya menggunakan propaganda komputasi sebagai alat kontrol informasi. Setidaknya ada tiga cara, yaitu untuk memadamkan isu terkait hak asasi manusia, mendiskreditkan lawan politik, dan menenggelamkan perbedaan pendapat. Perang propaganda ini terjadi baik di sisi pro pemerintah, ataupun pihak oposisi.
Akun bot cenderung lebih membawa pengaruh terhadap suatu penggiringan opini warganet.
Di pemerintahan yang berbasis otoritarian, propaganda pro-pemerintah lebih kuat didengungkan. Melansir dari New York Times, misalnya di Vietnam, warga diminta untuk mengunggah pesan pro-pemerintah di halaman Facebook pribadi mereka. Lebih ekstrem, Pemerintah Guatemala meretas dan mencuri akun media sosial yang lantang mengkritik untuk membungkam perbedaan pendapat.
Sementara itu di pemerintahan yang menganut demokrasi, ditemukan suatu dilema. Propaganda di media sosial dilakukan pemerintah dalam usahanya memerangi narasi hoaks yang cenderung menyesatkan masyarakat. Namun, jika campur tangan pemerintah terlalu jauh, dapat menurunkan nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat di masyarakat.
Lebih lanjut, penelitian ini menyebutkan bahwa aksi propaganda di media sosial dilakukan demi lima tujuan. Kelimanya adalah menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai tertentu, menyerang pihak tertentu dengan kampanye hitam, mengalihkan percakapan atau kritik dari masalah penting, menggerakkan polarisasi masyarakat, dan membungkam partisipasi publik dengan serangan secara personal.
Baca juga: Mengidentifikasi Akun Bot dan Hoaks
Sekalipun aksi propaganda pro atau antipemerintah ini terdengar begitu buruk, penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk saat ini semuanya menjadi normal dalam ranah publik, khususnya dunia digital. Prediksinya, para aktor yang melakukan perang narasi di media sosial akan terus memperbarui strategi mereka seiring perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan, realitas virtual, atau internet of things. Terlepas dari semua ini, jelas bahwa situasi ini akan mengancam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat bagi tiap individu.
Layaknya propaganda dalam suatu perang, keuntungan hanya berpihak bagi sekelompok orang atau lembaga saja, sedangkan masyarakat tetap menjadi yang paling dirugikan. Situasi ini menuntut kecerdasan dan kebijakan tiap individu untuk dapat membedakan informasi yang benar dan yang salah. Karena itu, berpegang pada media massa yang independen dan tepercaya menjadi nilai berharga di belantara informasi media sosial. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menolak Vaksin karena Percaya Hoaks