Harapan di Tengah Ancaman
Tren peningkatan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah bergerak ke arah yang positif. Sebagian besar masyarakat pun mulai meyakini harapan akan berakhirnya pandemi ini.
Setahun menjalani pandemi belum juga tampak tren penurunan jumlah kasus dan korban Covid-19. Sekalipun mengkhawatirkan, masyarakat masih meyakini pandemi segera berakhir.
Catatan statistik kasus dan korban Covid-19 di negeri ini agak berbeda dengan kecenderungan yang terjadi di sejumlah negara lain. Pada umumnya, di sebagian negara menunjukkan beberapa gelombang peningkatan dan penurunan kasus setahun terakhir. Merujuk pada indikator korban kematian harian, misalnya, berfluktuasi. Namun, dari semua gambaran itu terindikasi tren penurunan.
Dari sejumlah negara, India termasuk negara yang masih konsisten meredam tambahan korban Covid-19. Data WHO menunjukkan, jika September 2020 di negara yang berpenduduk lebih 1,3 miliar tersebut masih mencatatkan angka kematian harian tertinggi sekitar 1.200 korban, kini angka kematian melandai. Bahkan, saat ini, India mampu mempertahankan rata-rata 120 kematian sehari.
Dalam kurun waktu yang sama, peningkatan kasus dan korban Covid-19 di negeri ini justru menanjak. Hingga akhir Februari 2021, misalnya, tambahan data kematian harian rata-rata masih di atas 250 jiwa. Belum tampak signifikan perbedaannya jika dibandingkan dengan catatan kematian tertinggi pada Januari 2021. Terlebih, jika dibandingkan dengan catatan sejak 2020 yang relatif masih lebih rendah.
Perbedaan tren peningkatan dan penurunan semacam itu jelas menunjukkan kondisi pandemi yang masih serba problematik di negeri ini. Padahal, selama itu pula tidak kurang banyak upaya telah dilakukan.
Sejak awal Maret 2020, tatkala kasus pertama Covid-19 diumumkan pemerintah, berbagai kebijakan pencegahan dan penanggulangan dilahirkan. Upaya mempercepat penanganan Covid 19, suatu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dibentuk.
Begitu pula pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dinyatakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dikeluarkan.
Sejalan dengan waktu, semakin besarnya dampak Covid 19 menuntut pemerintah memperbesar cakupan penanganan pandemi. Presiden Joko Widodo di bulan Juli mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Berbagai upaya pembatasan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat masih tetap dilakukan. Terakhir, dikeluarkan Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam keragaman format dan jangka waktu pelaksanaan.
Di saat pandemi, tampak benar jika negara mengambil alih peran penanggulangan. Segenap anggaran yang dicurahkan pun relatif besar. Setidaknya, sudah sekitar Rp 579,8 triliun realisasi anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Jumlah tersebut sepadan dengan 22,4 persen total belanja negara dalam APBN 2020.
Pada level masyarakat, bagaimanapun, kurun waktu setahun yang dilalui telah menguras berbagai sisi kehidupan mereka. Hasil survei Kompas yang dilakukan secara periodik menunjukkan, dari sisi perekonomian gangguan nyata dirasakan. Setahun terakhir, penurunan aktivitas ekonomi memaksa masyarakat bersiasat dalam pola pemenuhan kebutuhannya.
Namun, tidak terhindarkan jika pada saat yang sama telah terjadi penurunan kuantitas dan kualitas kebutuhan. Survei di bulan Juni 2020, misalnya, sedikitnya dua pertiga responden (69,5 persen) menyatakan memburuk kondisi ekonomi keluarga mereka.
Saat itu, konsentrasi pemenuhan kebutuhan, terutama pada kelompok ekonomi bawah dan menengah, semakin terfokus pada pola pemenuhan kebutuhan primer dan beranjak menanggalkan sebagian kebutuhan sekunder dan tersier.
Pada periode survei selanjutnya, Agustus 2020, dampak ekonomi pandemi kian meluas. Sebanyak tiga perempat (76,3 persen) responden mengaku memburuk kondisi ekonomi mereka. Bahkan, di bulan Desember 2020, sudah hampir 80 persen responden mengaku penghasilan keluarga mereka berkurang.
Sekalipun mengkhawatirkan, masyarakat masih meyakini pandemi segera berakhir.
Pandemi tidak hanya meluluhkan bangunan ekonomi keluarga. Relasi sosial yang selama ini dibangun dalam kedekatan jarak fisik pun turut berubah. Pola-pola komunikasi dan interaksi sosial berganti menjadi lebih termediasi teknologi. Sebagian masyarakat pun tergagap dibuatnya.
Secara psikologis, berbagai bentuk keterancaman semacam itu kerap membayangi keseharian aktivitas individu. Dalam kemelut demikian, hasil survei menunjukkan, tidak lebih dari seperlima bagian responden yang mengaku tidak terganggu dengan perubahan sepanjang pandemi.
Namun, menariknya, di tengah kepungan ancaman Covid-19 yang tidak juga reda, sikap dan perilaku sosial masyarakat yang ditunjukkan dari sisi antusiasme (eagerness) dan kesiapan (readiness) mereka terhadap pola normalitas baru masih tersimpan. Terdapat sedikit penurunan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Hasil survei akhir Februari 2021 menunjukkan masih terdapat 40,2 persen responden yang memiliki kesiapan dan antusiasme tinggi menghadapi kehidupan semasa pandemi. Proporsi kalangan yang cenderung optimistik tersebut relatif sebanding dengan kelompok yang bersikap pesimistik terhadap kondisi pandemi.
Masih sejalan dengan sikap optimisme yang ditunjukkan, cerminan kepuasan publik terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi pandemi pun tergolong besar. Dalam survei Januari 2021, sebanyak 58,9 persen mengungkapkan rasa puas mereka. Dengan proporsi yang tidak berbeda, mereka pun meyakini jika pemerintah mampu mengatasi pandemi.
Ekspresi sikap positif semacam itu tidak terlepas dari kebijakan vaksinasi yang mulai masif dilakukan pemerintah. Dengan vaksinasi, jika sebelumnya pandemi harus dilalui dalam ruang gelap, kini lorong terang mulai tersingkap. Itulah mengapa tren peningkatan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah bergerak ke arah yang positif. Sebagian besar masyarakat pun mulai meyakini harapan akan berakhirnya pandemi ini.
Hanya saja, seperti yang tampak dalam survei sebelumnya, terdapat pula kalangan yang berseberangan sikap. Dalam menghadapi kehidupan baru sepanjang pandemi, misalnya, lebih dominan sisi pesimisme yang terlontar.
Terlihat pula jika ketidaksiapan yang berpadu dengan ketidakantusiasan dalam tekanan pandemi semakin menjauhkan mereka dari berbagai upaya penanggulangan pandemi. Singkatnya, mereka menjadi kalangan yang kurang meyakini keberhasilan pemerintah dan sekaligus cenderung resisten terhadap vaksinasi.
Jika ditelusuri lebih jauh, segenap penilaian, baik kepuasan ataupun ketidakpuasan terhadap upaya pemerintah dalam penanggulangan pandemi, tidak sepenuhnya berdasarkan pada apa yang mereka alami. Afiliasi kepentingan dari setiap individu turut pula mewarnai pola penyikapan mereka.
Paling menonjol, penilaian terhadap keberhasilan ataupun kegagalan dalam mengatasi pandemi yang kerap disandingkan dengan pola dukungan ataupun penolakan terhadap praktik kekuasaan rezim pemerintahan saat ini.
Dalam kondisi demikian, pandemi telah beralih menjadi ruang pertarungan kepentingan. Dalam batas tertentu, kondisi yang terbangun dapat menjadi nilai tambah baru, terutama dalam mengontrol kebijakan dan praktik penanggulangan pandemi. Namun, sebaliknya, dapat pula menjadi penghambat yang kian memperlambat penurunan kasus ataupun korban Covid-19 di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Faktor ”Jokowi” Mendongkrak Minat Vaksinasi?