Meski vaksin Covid-19 relatif diterima masyarakat, masih ada provinsi seperti di Sumatera Barat yang memiliki tingkat penolakan vaksin yang relatif tinggi. Sentimen politik turut mewarnai resistensi tersebut.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
Meski di tingkat nasional vaksin Covid-19 relatif diterima oleh masyarakat, masih ada provinsi seperti di Sumatera Barat yang memiliki tingkat penolakan vaksin yang relatif tinggi. Padahal, untuk bisa berhasil, setidaknya 70 persen dari populasi di suatu daerah harus bersedia untuk divaksin. Pemerintah harus memperhitungkan kondisi di daerah tersebut.
Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, Sumatera Barat memang menjadi salah satu dengan tingkat penerimaan vaksin terendah di Indonesia. Menurut hasil survei Litbang Kompas, hanya 7,2 persen dari masyarakat Sumbar yang bersedia untuk divaksin tanpa syarat. Sementara lebih dari 20 persen publik secara gamblang menolak untuk divaksin sama sekali.
Jika dibandingkan, tingkat penerimaan vaksin ini jauh di bawah angka nasional. Secara umum, nyaris 27 persen publik di Indonesia mau divaksinasi tanpa syarat. Terlebih lagi, lebih dari 49 persen dari mereka juga mau divaksin dengan syarat. Artinya, lebih dari 76 persen dari mereka kemungkinan besar mau untuk divaksinasi.
Jika dilihat berdasarkan daerah, Bukittinggi dan Payakumbuh menjadi daerah di Sumatera Barat yang memiliki penolakan tertinggi. Di kedua daerah ini, sebagian besar dari masyarakatnya tak bersedia untuk menerima vaksinasi Covid-19. Bahkan, masyarakat yang mau divaksinasi tanpa syarat tak sampai 5 persen di kota-kota tersebut.
Jika dibandingkan, tingkat penerimaan vaksin di Sumatera Barat jauh di bawah angka nasional.
Meskipun begitu, masih ada 44 persen dari masyarakat yang mengaku mau menerima vaksin dengan syarat tertentu (misalnya mau divaksin setelah presiden menerima vaksin atau vaksin dijamin halal oleh MUI). Selain itu, 28 persen dari masyarakat masuk ke dalam golongan ragu-ragu yang mungkin bisa didorong untuk bersedia divaksin.
Selain itu, Solok nyatanya menjadi contoh bahwa tak semua daerah di Sumatera Barat resisten terhadap vaksinasi. Meskipun persentase masyarakat yang mau divaksin tanpa syarat ”hanya” 17,3 persen, yang masih di bawah angka nasional, angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lain di Sumatera Barat.
Tak hanya itu, apabila dijumlahkan golongan masyarakat yang mau divaksin secara bersyarat, tingkat penerimaan di kota ini meningkat hingga mencapai 65,4 persen. Angka penerimaan ini berada di atas penerimaan provinsi di angka 51,5 persen.
Faktor psikologis
Sebelum berbicara tentang solusi, diperlukan pemahaman terkait faktor yang berkolerasi dengan penolakan vaksin. Tentunya, memahami penolakan atas vaksin Covid-19 tak dapat dilakukan dengan hanya memandangi angka statistik demografi saja.
Perlu memahami alam pikiran masyarakat untuk dapat mengetahui musabab rendahnya kepercayaan publik terhadap vaksin yang sebetulnya bisa menjadi juru selamat. Maka, melihat faktor psikologis dan emosional dari masyarakat menjadi penting dalam hal ini.
Hasil studi yang dilakukan oleh Jamie Murphy dkk dalam studi bertajuk ”Psychological Characteristics Associated with Covid-19 Vaccine Hesitancy and Resistance in Ireland and the United Kingdom” yang dimuat dalam jurnal Nature menunjukkan bahwa terdapat korelasi faktor psikologis dan emosional masyarakat terhadap penerimaan vaksin Covid-19.
Menurut studi yang menggunakan pendekatan psikologi tersebut, terdapat kesamaan antara masyarakat Inggris dan Irlandia yang menolak vaksinasi dari segi psikologi.
Orang terdekat seperti keluarga inti dan tetangga/teman dekat juga menjadi sumber informasi yang paling dominan di tengah masyarakat.
Di kedua negara tersebut, golongan masyarakat yang tak bersedia untuk divaksin memiliki karakteristik seperti rendahnya kepercayaan terhadap ilmuwan/ilmu pengetahuan, pekerja kesehatan, dan pemerintah. Selain itu, faktor agama nyatanya juga memberikan pengaruh, di mana sebagian besar dari masyarakat yang menolak untuk divaksinasi cenderung konservatif dalam beragama.
Nyatanya, beberapa temuan penelitian di atas juga tampak terjadi di Sumatera Barat. Di satu sisi, mereka yang bersedia untuk divaksin 80 persen percaya bahwa virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 merupakan penyebab dari pandemi. Di sisi lain, mereka yang tak percaya Covid-19 juga tak bersedia untuk divaksin. Berdasarkan hasil survei, 72 persen dari masyarakat yang tak percaya Covid-19 tak mau diberikan vaksin.
Selain itu, pengetahuan terkait vaksin juga berkorelasi dengan penerimaan vaksin. Dari mereka yang bersedia untuk divaksin, 40 persen menyatakan memahami bahwa vaksin mampu untuk mencegah mereka untuk terinfeksi Covid-19. Selain itu, 17,2 persen lainnya menyatakan bahwa vaksin mampu untuk mencegah dan menyembuhkan infeksi Covid-19. Sementara mereka yang tak tahu-menahu perihal vaksin, sebagian besar (60 persen) tidak mau untuk divaksin.
Terlebih lagi, perkara penolakan vaksin ini juga berkelindan dengan aspek ideologis, seperti kompas politik serta keyakinan agama. Kasus penolakan vaksin di Amerika Serikat, misalnya, di mana para pemilih Partai Republikan, yang lebih cenderung konservatif, dua kali lipat lebih enggan untuk menerima vaksinasi Covid-19 dibandingkan mereka yang condong ke Partai Demokrat. Setali tiga uang, fenomena ini juga terjadi di Irlandia.
Di Sumatera Barat, keberpihakan politik juga tampaknya berpengaruh terhadap penerimaan terhadap vaksin. Hal ini terlihat apabila membandingkan pilihan politik pada Pilpres 2019 dengan kebersediaan masyarakat untuk divaksin. Hasil survei menunjukkan bahwa 94,4 persen masyarakat yang tidak percaya vaksin dan tidak mau divaksin tidak memilih presiden yang saat ini menjabat. Selaras, 90 persen masyarakat yang percaya terhadap vaksin tetapi masih tak mau untuk divaksin juga tidak memilih Joko Widodo saat pilpres lalu.
Sumber informasi
Selanjutnya, tak hanya terjadi dalam vaksinasi Covid-19, penolakan terhadap vaksin secara umum sebetulnya bukanlah hal yang baru. Menurut Wen-Ying Sylvia Chou dkk, dalam studinya yang bertajuk ”Considering Emotion in Covid-19 Vaccine Communication: Addressing Vaccine Hesitancy and Fostering Vaccine Confidence”, sebelum masa pandemi Covid-19 pun telah ada kelompok masyarakat yang resisten terhadap vaksin.
Utamanya lewat media sosial, kelompok antivaksinasi ini menggalang massa dengan narasi teori konspirasi, menabur kebingungan, dan menyebarkan berita bohong terkait dampak buruk vaksinasi. Tak hanya itu, mereka juga mengaitkan vaksinasi dengan isu pelanggaran kebebasan sipil.
Di Sumatera Barat, media sosial juga terlihat menjadi salah satu hal yang memengaruhi pilihan masyarakat untuk mau atau tidak mau divaksin. Sebanyak 7,2 persen dari mereka yang bersedia untuk divaksin menyatakan media sosial sebagai salah satu sumber informasi.
Namun, 7,5 persen dari mereka yang menolak vaksinasi juga menjadikan media sosial sebagai salah satu sumber informasi. Angka ini menjadi penting untuk diperhatikan apabila kita bandingkan dengan agen sumber informasi lain, seperti media cetak, media online, internet, komunitas, dan figur publik yang angka pengaruhnya masing-masing di bawah 5 persen.
Maka dari itu, diperlukan upaya yang ekstra bagi pemerintah untuk dapat meyakinkan masyarakat karena masifnya disinformasi yang bertebaran di media sosial. Menjamurnya informasi yang menyesatkan ini menjadi persoalan pelik mengingat rendahnya konsumsi media konvensional serta tingginya kepercayaan para penolak vaksin terhadap media sosial sebagai sumber informasi mereka.
Di kasus Sumatera Barat, sebetulnya masih ada celah yang dapat dimanfaatkan pemerintah guna meningkatkan tingkat penerimaan vaksin Covid-19. Untungnya, pemerintah dan tenaga medis (dokter/perawat) masih menjadi acuan terkait informasi vaksin.
Selain itu, orang terdekat, seperti keluarga inti dan tetangga/teman dekat, juga menjadi sumber informasi yang paling dominan di tengah masyarakat. Maka, apabila narasi positif vaksinasi Covid-19 bisa mengalir dari pemerintah atau tenaga medis ke level keluarga, tingkat kepercayaan publik pun kemungkinan besar akan terdongkrak. (LITBANG KOMPAS)