Membaca Arah Kisruh Kudeta Partai Demokrat
Sebulan bergulir, kisruh kudeta yang menerpa Partai Demokrat belum juga menemui titik terang.
Sebulan bergulir, kisruh kudeta yang menerpa Partai Demokrat belum juga menemui titik terang. Persoalan kepemimpinan hingga soliditas internal menjadi polemik yang tak berkesudahan hingga berujung pada menggaungnya wacana Kongres Luar Biasa (KLB) sebagai langkah pembenahan dan mengembalikan marwah partai.
Persoalan mengenai adanya gerakan yang sedang mengupayakan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat kali ini boleh jadi adalah ujian berat bagi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum. Dalam pernyataannya pada awal Februari lalu, AHY secara tegas mengemukakan bahwa gerakan kudeta tersebut tak hanya diinisiasi oleh kader internal, tetapi juga ada tokoh eksternal partai yang terlibat.
Nama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko disebut menjadi salah satu tokoh yang menjadi motor dari gerakan yang dimaksud sang ketua umum. Secara khusus pula, AHY telah bersurat kepada Presiden Joko Widodo untuk mengonfirmasi kebenaran adanya keterlibatan orang dari lingkaran istana itu.
Namun hingga kini, respons yang diharapkan dari presiden tersebut tak kunjung datang. Persoalan kudeta partai itu justru kian merembet luas pada masalah fundamental kepartaian lainnya yang membuat lebih pelik.
Termasuk pula adanya berbagai respons dari kalangan yang dapat disebut sebagai tokoh lama partai berlambang bintang mercy itu. Sehari setelah pernyataan ancaman kudeta yang disampaikan AHY, sejumlah tokoh senior dari Partai Demokrat berkumpul dan membahas beberapa persoalan penting yang perlu diselesaikan.
Tak pelak, kualitas kepemimpinan AHY sebagai ketua umum menjadi sorotan utama dalam evaluasi yang dilakukan para pionir partai. Isu kepemimpinan tersebut pun merambah luas hingga pada evaluasi kondisi terkini partai yang dianggap tak banyak berubah dalam meraup suara pemilih, masalah soliditas partai di daerah-daerah, hingga terkait dengan munculnya ”trah Yudhoyono” yang dianggap terlalu dominan dalam pengurusan partai.
Dalam kepengurusan 2020-2025, tercatat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Sementara sang adik, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), ditunjuk menjadi salah satu dari enam wakil ketua umum DPP Demokrat.
Berbagai masalah pengelolaan partai sebagai sebuah organisasi itulah yang mendorong sejumlah pihak menggaungkan wacana pembenahan melalui KLB. Kelompok pro KLB sendiri berpendapat, upaya perbaikan internal partai memang harus dilakukan dalam ruang musyawarah dengan merumuskan sejumlah kesepakatan baru. Namun, upaya itu diendus oleh AHY sebagai bentuk perebutan atau kudeta kepemimpinan partai yang sah saat ini.
Kepemimpinan AHY
Tak berlebihan memang jika mengatakan bahwa persoalan yang dihadapi Demokrat saat ini begitu menggoyang kepercayaan sosok pimpinan partai. Sejak terpilih menjadi ketua umum dalam Kongres V Partai Demokrat Maret 2020 lalu, ada banyak hal yang perlu dibuktikan AHY sebagai ketua umum terpilih.
Pasalnya tak sedikit pihak menilai, dengan rekam jejak yang masih minim sebagai politikus, membuat AHY akan sulit memimpin partai sebesar Demokrat. Terlebih, putra sulung SBY itu pun belum pernah menduduki jabatan strategis di dunia politik.
Sebelumnya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, AHY sempat maju sebagai kandidat, meskipun pada akhirnya gagal memenangi kontestasi dalam putaran pertama. Hal ini juga menjadi pijakan perdananya di ranah politik setelah dengan mantap meninggalkan karier militernya berpangkat mayor TNI.
Dengan melihat membelitnya persoalan yang dihadapi partai saat ini, sosok pimpinan yang kuat memang benar-benar menentukan arah penyelesaian. Hal inilah yang menjadi tantangan terberat AHY di tengah menumbuhnya stigma miring yang dilekatkan pada kepemimpinannya yang bahkan belum genap setahun.
Dalam pandangan internal partai ataupun publik secara luas, modal terbesar AHY saat ini memang tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang kuatnya sosok seorang SBY. Dengan demikian pula, banyak yang menilai apa yang terjadi saat ini dengan Demokrat merupakan puncak polemik dan perpecahan di tubuh partai yang memang sudah lama terjadi, bahkan sejak masa kepemimpinan SBY sebagai ketua umum di partai ini.
Pada akhirnya kisruh yang dialami Partai Demokrat saat ini tetap menguak adanya perpecahan antarfaksi di internal partai.
Dalam hal ini, sebagai pimpinan partai AHY pun telah mengambil sejumlah langkah antisipatif untuk membangun kekuatan dukungan. Selain menyurati Presiden, sejumlah manuver pun dilakukan oleh AHY dalam sebulan terakhir untuk membangun kekuatan politik dan posisinya sebagai ketua umum. Tercatat AHY sempat menemui Ketua Umum pertama Partai Demokrat, Subur Budhisantoso, untuk membahas kondisi yang tengah dihadapi partai.
Selain itu, pada 23 Februari 2021, AHY secara resmi menyaksikan ikrar kesetiaan kepada partai yang disampaikan oleh seluruh ketua DPD Partai Demokrat di 34 provinsi. Tiga hari setelahnya, DPP Partai Demokrat memecat tujuh orang kader di daerah yang dianggap pro terhadap kudeta dan mempengaruhi ketua DPD untuk sepakat menyelenggarakan KLB.
Bagi AHY, menghimpun kekuatan dan dukungan secara organisasi ini sangatlah penting. Paling tidak langkah dengan menerima ikrar dari 34 pengurus DPD dapat mematahkan upaya pelaksanaan KLB. Dalam anggaran dasar rumah tangga (AD ART) Partai Demokrat, KLB dapat diadakan atas permintaan majelis tinggi partai atau sekurang-kurangnya 2/3 dari DPD dan 1/2 dari DPC, dan disetujui oleh majelis tinggi.
Suara Partai
Runtuhnya soliditas di tubuh partai seringkali menjadi faktor terbesar dari hancurnya kekuatan elektoral partai. Selama kurun satu dekade terakhir, perolehan suara Partai Demokrat terus mengalami penurunan.
Berkaca pada hasil pemilihan, raihan suaran Partai Demokrat memang tak juga cukup membaik. Setelah terus tergerus signifikan beriringan dengan berakhirnya masa kepemimpinan SBY sebagai presiden, tingkat keterpilihan partai tak juga dapat bertahan.
Berdasarkan catatan hasil Pemilu, di periode pemilihan tahun 2014 suara Partai Demokrat tergerus 40 persen dari sebelumnya. Saat itu, di tengah terpaan kasus korupsi yang menjerat sejumlah elit partai, Demokrat hanya mampu menguasai sekitar 10 persen suara pemilih.
Perolehan suara tersebut pun juga tak dapat secara konsisten bertahan atau naik pada periode Pemilu selanjutnya. Hasil Pemilu Legislatif 2019 lalu mendapati raihan suara Demokrat kembali menurun, hanya mampu mengumpulkan sekitar 7,7 persen suara.
Pencapaian popularitas hingga keterpilihan partai tersebut tentulah menjadi pekerjaan rumah besar bagi Demokrat saat ini. Akan tetapi, tampaknya kerja untuk membangun partai inipun akan kian berat ketika harus dihadapkan kisruh internal yang belum tak kunjung menemui titik terang.
Padahal soliditas di internal partai juga kepemimpinan yang kuat menjadi modal yang sangat diperlukan Demokrat untuk bangkit kembali menjadi partai dengan penguasaan suara teratas.
Jika melihat hasil survei terbaru yang dilakukan Litbang Kompas pada awal Januari lalu, mengungkap elektabilitas Partai Demokrat yang juga tak begitu memuaskan, yaitu berada diangka 4,6 persen. Tingkat keterpilihan tersebut tak jauh bergeming dari tiga periode survei yang pernah digelar pasca-Pemilu 2019 lalu.
Selain elektabilitas partai yang tak cukup memuaskan, sosok AHY sebagai ketua umum yang difigurkan untuk menjadi calon presiden pun sejauh ini belum sangat menonjol.
Bahkan, berdasarkan preferensi pemilih Partai Demokrat, nama AHY belum keluar sebagai jawara sosok yang dipilih sebagai presiden. Pilihan pemilih Demokrat masih menempatkan nama AHY (10,9 persen) berada diurutan ketiga setelah tokoh lainnya, yaitu Anies Baswedan (20,0 persen) dan Prabowo Subianto (14,5 persen) sebagai calon presiden.
Kini, kepemimpinan sosok AHY sebagai ketua umum menjadi tumpuan untuk menemukan jalan terang dari kisruh yang tengah dihadapi Partai Demokrat. Bagaimanapun, persoalan ini memang harus diselesaikan secara bijaksana dan merangkul seluruh pihak guna memperkuat soliditas internal partai.
Sekalipun harus melalui KLB, upaya itupun harus dilakukan sesuai dengan kesepakatan dan tentunya mematuhi segala prosedur atau AD ART partai yang berlaku. Semua pihak yang berseteru pun pada dasarnya sepakat penyelematan marwah partai dengan segala pekerjaan rumah untuk dapat bangkit dari keterpurukan tentu menjadi jauh lebih penting bagi Partai Demokrat saat ini. (LITBANG KOMPAS)