“Nerve” dan Tidak Perlu Takut Menghadapi Rasa Takut
Di dalam hidup selalu ada ketakutan yang kita rasakan. Melalui buku ini, penulis mengajak untuk bijak merespon rasa takut.
Buku ini berupaya menjelaskan segala sesuatu tentang rasa takut dengan berbagai penelitian ilmiah. Melalui pengalaman pribadi dalam menyembuhkan ketakutannya, penulis mengajak untuk bijak merespon rasa takut.
Ketakutan akan pandemi (pandemic fear) muncul sebagai respon kita atas bahaya yaitu virus SARS-Cov-2 yang dapat menyebabkan kematian. Karena ketakutan itu, saat awal pandemi, orang-orang panik dan berusaha melindungi dirinya bahkan hingga tingkat yang berlebihan.
Rasa takut muncul saat manusia merasa ada ancaman berbahaya bagi dirinya atau lingkungan sekitarnya. Tetapi respon atas perasaan takut itu berbeda-beda. Ada yang melakukan tindakan berlebihan tetapi adapula yang mengabaikan rasa takut itu.
Karena itu, kita mengenal istilah fobia atau ketakutan berlebihan terhadap suatu benda, kondisi, atau hal-hal tertentu. Di sisi lain, kita tahu ada orang-orang yang seolah-olah tidak mengenal rasa takut sehingga mampu melakukan aksi-aksi berbahaya.
Lantas, mengapa rasa takut seseorang berbeda dengan lainnya? Apakah setiap orang memiliki rasa takut? Apakah rasa takut terhadap suatu hal dapat disembuhkan?
Eva Holland dalam bukunya “Nerve : A Personal Journey Through the Science of Fear” berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu melalui penelusuran kepada ahli-ahli dan penelitian ilmiah. Keresahan atas rasa takut yang kerap dialaminya mendorong Eva yang berprofesi sebagai penulis ini, untuk menemukan penyebab dan jalan keluarnya.
Seperti orang pada umumnya, Eva memiliki ketakutan terhadap hal-hal tertentu. Salah satu ketakutannya yang bertahan hingga dewasa adalah fobia ketinggian. Tetapi ketakutan terbesarnya adalah kematian ibunya yang pada akhirnya membuatnya trauma.
Pengalaman itu menjadi inspirasi untuk mengulik rasa takut pada manusia. Ia merasa bahwa ketakutan yang dirasakannya membuatnya tidak dapat melihat dunia secara luas dan melewatkan kesempatan untuk merasakan pengalaman seru dan berbeda.
Ia mencoba untuk mengobati rasa takut,yang menurutnya terlalu berlebihan, melalui terapi, pengobatan, dan konsultasi ke para ahli. Harapannya, melalui pengalaman yang ditulis dalam buku ini, ia dapat berbagi pengetahuan tentang mekanisme dan peran rasa takut sehingga pembaca dapat meresponi ketakutan itu dengan lebih tepat.
Mengapa takut?
Untuk mengantarkan pembaca kepada pemahaman akan rasa takut, Eva terlebih dahulu membuka bukunya dengan rasa takut yang dialaminya di usia kanak-kanak hingga dewasa. Dengan cerita-cerita itu, pembaca dapat mengenal ragam rasa takut yang dialami manusia. Selanjutnya, yang paling penting adalah mengenal pengertian dan proses munculnya rasa takut.
Eva mendefinisikan ketakutan sebagai perasaan yang muncul dari adanya bahaya yang mengancam. Ketakutan berbeda dengan kekhawatiran. Rasa takut muncul saat ada bahaya atau ancaman nyata sementara rasa khawatir dirasakan saat sesuatu belum menjadi kenyataan dan kadang tanpa sebab yang jelas.
Proses ini terjadi melalui mekanisme respon otak dan tubuh. Rasa takut yang bermanifestasi menjadi respon fisik tubuh adalah produk dari otak. Begitu pula sebaliknya, detak jantung meningkat, pupil mata membesar, tubuh mengeluarkan keringat sebagai respon atas ancaman juga memunculkan perasaan takut (feeling of fear) yang diterima otak. “Fear is a full-body emotion” sebut Eva.
Dengan bahasa yang mudah dipahami, buku ini menjelaskan segala proses mekanisme ketakutan pada tubuh seseorang dengan contoh ragam kondisi fisik otak manusia. Ini menjelaskan mengapa ada orang yang tidak memiliki rasa takut dan ada orang yang mudah merasa takut.
Sebagai contoh, ia menceritakan kasus seorang pasien yang mengidap penyakit Urbach-Wiethe. Penyakit itu menyebabkan kerusakan amygdala, bagian kecil dari otak yang berperan penting terhadap penerimaan dan respon ketakutan.
Akibatnya, pasien tersebut sama sekali tidak memiliki rasa takut jika ada ancaman atau bahaya yang dihadapannya. Ia tidak merasa takut ketika seseorang mengarahkan pistol ke kepalanya, ia juga tidak merasa takut saat orang-orang terdekatnya melakukan kekerasan padanya.
Justru pertama kali si pasien merasa takut adalah saat ia menjadi objek penelitian oleh Justin Feinsten. Untuk memicu rasa takutnya, ia diminta menghirup gas karbon dioksida 875 kali lebih banyak dibanding kadar normal di udara yang dapat memicu rasa takut dan panik. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa pasien dengan kondisi amygdala rusak tetap bisa merasakan takut meskipun harus dipicu dengan metode yang ekstrim.
Mengatasi ketakutan
Pencarian Eva tidak berhenti pada proses ilmiah munculnya rasa takut. Resah dengan ketakutannya yang ia rasa berlebihan, Eva mencoba berbagai cara untuk mengatasinya. Ini menjadi daya tarik buku ini karena berasal dari cerita hidup sang penulis.
Sepanjang buku ini, kita diajak untuk merasakan ketakutan yang Eva alami. Tetapi mulai pertengahan buku, Eva menceritakan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi rasa takut dan trauma. Ia mencoba metode terapi eksposur untuk menantang rasa takutnya terhadap ketinggian (achrophobia) dengan terjun payung, tetapi gagal.
Ia akhirnya mencoba mengatasi achrophobia dengan terapi propanolol yang harus dilakukan di klinik di Amsterdam. Propanolol adalah pil pengatur ritme jantung untuk merawat sakit fisik seperti darah tinggi dan migren.
Pengobatan ini berhasil menolong Eva merespon wajar ketakutannya terhadap ketinggian. Eva juga mencoba perawatan Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) untuk mengatasi traumanya karena kecelakaan mobil. Usaha ini juga berhasil.
Upaya-upaya tersebut diceritakan dengan mendalam dan ilmiah. Penjelasan dari para ahli dan peneliti yang mengobati Eva dapat mengungkapkan mekanisme rasa takut yang timbul dari trauma mendalam dari ingatan-ingatan manusia. Semua ini memberikan pengetahuan baru tentang rasa takut yang sering kita rasakan tapi sering kita abaikan.
Peran rasa takut
Buku setebal 256 halaman yang terangkum dalam lima bab ini juga mengajak kita ikut melihat dua sisi dari rasa takut yang dirasakan manusia. Seperti Eva, mungkin kita juga sering merasa bahwa rasa takut yang dirasakan terlalu berlebihan, mengganggu, bahkan merugikan. Memang jika terlalu berlebihan, itu bisa berdampak buruk.
Namun, di sisi lain kita membutuhkan rasa takut itu. Rasa takut mendorong insting kita untuk melakukan aksi untuk menghindari bahaya. Rasa takut juga menghindarkan kita dari hal-hal berbahaya. Rasa takut membuat kita mempersiapkan upaya preventif supaya tidak terjadi hal-hal buruk. Ini terbukti membantu pertahanan hidup manusia jaman prasejarah.
rasa takut muncul saat manusia merasa ada ancaman berbahaya bagi dirinya atau lingkungan sekitarnya
Eva mengingatkan kita bahwa rasa takut adalah perasaan alamiah yang ada pada manusia, kecuali pada orang-orang tertentu seperti pasien amygdala yang dicontohkan dalam bukunya. “Mungkin yang harus diperjuangkan adalah penerimaan, penerimaan fakta bahwa ketakutan terjadi untuk alasan yang baik dan buruk. Tidak apa-apa jika terkadang kita merasa takut. Terkadang itu juga terasa seru.”
Atas dasar itu, Eva mengajak kita untuk bersiap dengan rasa takut yang mungkin dapat muncul kapan saja. Dengan pemahaman dan respon yang tepat, rasa takut itu tidak membahayakan diri dan orang-orang di sekitar kita.
Seperti yang Eva katakan dalam penutup bukunya “Dan saya juga bisa hidup dengan kemungkinan, bahwa seiring bertambahnya usia mungkin saya menemukan ketakutan baru. Saya memiliki alat yang lebih baik sekarang, pemahaman yang kebih baik. Saya tidak terlalu takut pada ketakutan itu sendiri”.
Di dalam hidup selalu ada ketakutan yang kita rasakan, kita hanya perlu bijak menyikapinya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: ”Invisible Women” dan Dominasi Data Laki-laki di Kehidupan Perempuan