Menjaga Denyut Nadi Sepak Bola Tanah Air
Pandemi Covid-19 juga berdampak pada jalannya kompetisi sepak bola Tanah Air. Ajang nasional dan internasional yang semestinya digelar terpaksa ditunda. Prestasi sepak bola di Tanah Air menjadi pertaruhan.
Seharusnya, tahun ini adalah tahun yang begitu sibuk bagi sepak bola Indonesia. Persiapan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, kualifikasi Piala Dunia 2022, keikutsertaan dalam ajang Piala Asia U-16 dan U-19, Piala AFF, serta SEA Games adalah serangkaian agenda yang telah menanti di depan mata.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F04%2F6fa88771-b950-4370-a57b-1373749d4e6c_jpg.jpg)
Lengangnya bangku penonton di stadion sepak bola kompleks GOR Pajajaran, Kota Bogor, yang kosong, Minggu (19/4/2020). Sebagai ruang publik berolahraga, baik atlet maupun warga, untuk sementara waktu GOR Pajajaran tidak digunakan untuk aktivitas olahraga selama pandemi Covid-19.
Sayangnya, sebagian rangkaian kompetisi tersebut ditunda akibat pandemi Covid-19. Piala Dunia U-20, Piala Asia U-16, dan Piala Asia U-19 diundur hingga tahun 2023. Sementara Piala AFF diundur hingga Desember 2021-Januari 2022. Seluruh rangkaian persiapan yang telah dilakukan harus menyesuaikan dengan penundaan.
Sementara kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia Grup G, yang sedianya dijadwalkan bagi timnas Indonesia pada bulan Maret, kembali diundur hingga Juni 2021. Praktis hanya penyelenggaraan SEA Games yang masih sesuai jadwal pada November hingga Desember mendatang.
Selain laga internasional, pandemi Covid-19 juga menyebabkan kompetisi sepak bola di Tanah Air mati suri selama hampir satu tahun. Sejak ditunda oleh PSSI pada Maret 2020, kompetisi sepak bola Tanah Air otomatis terhenti hingga saat ini.
Keputusan terkait kompetisi sepak bola dalam negeri mengalami tarik ulur selama hampir satu tahun terakhir. Sejak dihentikan pada Maret tahun lalu, sejumlah opsi telah mencuat demi penyelenggaraan pertandingan di tengah pandemi dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Pada 17 Juni 2020, PSSI telah memastikan kompetisi akan dilanjutkan antara September atau Oktober 2020. Seiring pembahasan yang dilakukan, disepakati penyelenggaraan Liga 1 dilakukan pada 1 Oktober 2020 dan dipusatkan di Pulau Jawa.
Sebagai wujud keseriusan penyelenggaraan liga, saat itu PSSI melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentang penyelenggaraan olahraga yang aman dari Covid-19.
Pertandingan disepakati untuk digelar tanpa penonton dan para peserta harus dipastikan tidak memiliki penyakit bawaan karena rentan tertular Covid-19. Keputusan ini diambil setelah menengok kompetisi di Benua Eropa yang telah kembali berjalan tanpa penonton.

Konferensi pers oleh Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan (kiri) dan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali (kanan) membahas izin Liga 1 dan Liga 2 musim 2021/2022 serta rencana pelatnas jangka panjang timnas U-23 untuk SEA Games 2021 Vietnam dan U-19 untuk Piala Dunia U-20 2023 Indonesia di Jakarta, Selasa (2/2/2021).
Sayangnya, pihak kepolisian tidak memberikan izin penyelenggaraan kompetisi karena pandemi Covid-19 yang belum terkendali. Keputusan ini menuai banyak kritik dari pendukung sepak bola Tanah Air. Pasalnya, pada saat yang bersamaan persiapan penyelenggaraan pilkada tetap dilakukan. Padahal, pertandingan sepak bola dilakukan tanpa penonton.
Pada 28 Oktober 2020, Komite Eksekutif (Exco) PSSI akhirnya memutuskan untuk menunda seluruh kompetisi sepak bola di Indonesia. Harapannya kompetisi dapat kembali dilakukan pada awal tahun 2021.
Setelah beberapa kali mengalami penundaan, kompetisi sepak bola musim 2020/2021 akhirnya resmi dibatalkan pada 20 Januari 2021. Surat keputusan terkait pembatalan kompetisi ini diterbitkan pada 26 Januari lalu. Tidak ada juara, promosi, ataupun degradasi.
Bukan pertama
Penghentian kompetisi sepak bola bukanlah pertama kali dialami oleh Indonesia. Menurut catatan arsip harian Kompas, setidaknya ada tiga kali penghentian kompetisi sepanjang periode reformasi. Dua penghentian kompetisi sebelumnya terjadi pada 1998 dan 2015.
Pada tahun 1998, penghentian kompetisi dilakukan pada tanggal 25 Mei atau empat hari setelah mundurnya Soeharto sebagai presiden. Kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia IV, Divisi I, Divisi II, Liga Remaja, dan kompetisi usia 14 tahun resmi dihentikan (Kompas, 26 Mei 1998).
Stabilitas politik dan keamanan menjadi alasan utama penundaan kompetisi saat itu. Kompetisi sepak bola yang kerap menimbulkan kerumunan diputuskan untuk ditunda demi menjaga keamanan di tengah masyarakat.
Beruntung, penghentian kompetisi saat itu tidak berlangsung lama. Pada 1 November 1998, kompetisi kembali dilanjutkan dengan nama Liga Indonesia V. Meski sejumlah klub masih mengalami kesulitan pendanaan, gairah kompetisi saat itu tidak meredup.

Penghentian kompetisi juga pernah terjadi pada tahun 2015. Saat itu, Liga Super Indonesia, Divisi Utama, dan Liga Nusantara, dihentikan oleh PSSI pada 2 Mei dalam rapat komite eksekutif. Penghentian liga ini tidak terlepas dari pembekuan PSSI oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pada 17 April 2015.
Kondisi ini ternyata berbuntut panjang. Indonesia diberi sanksi oleh Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) berupa larangan mengikuti kompetisi internasional. Akibatnya, kompetisi sepak bola Tanah Air terhenti hingga 2016. Kompetisi resmi baru bergulir pada tahun 2017.
Namun, saat itu urat nadi sepak bola Tanah Air tetap dapat berdenyut. Pasalnya, penyelenggaraan turnamen masih tetap dapat dilakukan meskipun bukan sebagai kompetisi resmi yang diakui FIFA.
Dahaga publik sempat terbayarkan dengan penyelenggaraan Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, dan Piala Jenderal Sudirman. Ekosistem sepak bola Tanah Air tetap menggeliat meskipun dalam ruang dan waktu yang terbatas.
Pertaruhan
Meskipun penghentian kompetisi sepak bola pernah dialami oleh Indonesia pada 1998 dan 2015, situasi yang sama sekali berbeda dialami saat ini. Pasalnya, kompetisi dihentikan selama hampir satu tahun tanpa adanya turnamen pengganti.
Kondisi ini tentu mengancam ekosistem sepak bola Tanah Air. Sumber daya manusia, fasilitas, hingga ekosistem bisnis yang lahir dari sepak bola turut terancam. Padahal, ketiga aspek inilah yang memainkan peranan penting dalam menjaga urat nadi sepak bola Tanah Air.
Dari sisi sumber daya manusia, penghentian kompetisi akan berdampak pada kualitas pemain. Para pemain yang minim jam terbang selama satu tahun terakhir akan berbanding lurus dengan kualitas yang ditunjukkan di lapangan hijau.
Sederhananya, kondisi ini terlihat pada sejumlah Liga Eropa. Sejumlah tim tampak kesulitan tampil konsisten pada awal musim 2020/2021 setelah liga dihentikan selama beberapa bulan akibat pandemi.
Di Indonesia, degradasi kualitas pemain bisa saja terjadi mengingat liga yang telah terhenti selama hampir satu tahun. Sejumlah tim bahkan telah membubarkan pemainnya seiring penghentian kompetisi. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi sepak bola Indonesia. Apalagi, pasukan timnas akan berlaga pada kualifikasi Piala Dunia 2022 pada Juni mendatang.

Harapan untuk menjaga kualitas masih dapat disematkan pada tim Garuda Muda. Timnas U-19, misalnya, yang selama ini masih berlatih di bawah asuhan Shin Tae-yong. Terakhir, pasukan Timnas U-19 melakukan pemusatan pelatihan di Spanyol selama sekitar tiga pekan sejak akhir Desember 2020 hingga Januari 2021.
Pemusatan latihan juga dilakukan oleh Timnas U-16. Di bawah asuhan Bima Sakti, tim Garuda Muda melakukan pemusatan latihan di Yogyakarta pada Desember lalu. Hal ini tentu menjadi asa agar regenerasi pemain sepak bola tidak terputus di tengah pandemi.
Dari sisi fasilitas, penghentian kompetisi juga berdampak pada minimnya perawatan pada sejumlah stadion. Di Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, Stadion Andi Mattalatta, yang menjadi kandang dari tim PSM Makassar, bahkan pernah dimanfaatkan sebagai area tanaman sayuran oleh warga sekitar pertengahan tahun lalu.
Hal ini dilakukan karena stadion tidak lagi digunakan seiring penghentian kompetisi sepak bola nasional. Padahal, stadion ini pada tahun 2019 merupakan saksi keberhasilan PSM Makassar menjadi juara Piala Indonesia.
Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan di tengah gencarnya pembangunan dan renovasi stadion pada sejumlah daerah di Indonesia. Penundaan kompetisi dalam jangka waktu yang lebih lama dapat berdampak pada minimnya perawatan stadion.
Dari sisi bisnis, penghentian kompetisi dalam jangka panjang juga dapat berdampak pada perputaran roda ekonomi di daerah, terutama bagi daerah-daerah yang memiliki kelompok pendukung fanatik.
Di Jawa Barat, misalnya, penjual suvenir Persib Bandung jamak ditemukan hingga ke tingkat kabupaten. Penghentian liga tentu akan berdampak pada kehidupan pelaku usaha kecil yang kerap meraup keuntungan di balik penyelenggaraan pertandingan sepak bola.
Oase
Kini, harapan untuk menghidupkan kembali ekosistem sepak bola di Tanah Air kembali mencuat seiring wacana pemerintah untuk menggelar laga pramusim. Menurut rencana, turnamen ini akan diberi nama Piala Menpora 2021 yang akan diikuti klub peserta Liga 1 dan Liga 2 pada 20 Maret hingga 25 April 2021.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F20200628_123345_1593332458.jpg)
Kondisi Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring (GSJ), Palembang, Minggu (28/6/2020). Stadion ini menjadi satu dari enam stadion yang diusulkan PSSI untuk menjadi tempat penyelenggaraan Piala Dunia U-20 yang semestinya digelar pada Mei 2021.
Kepastian izin dari kepolisian untuk penyelenggaraan turnamen ini diperoleh seusai pertemuan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali dengan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo pada 18 Februari lalu.
Turnamen ini dapat menjadi contoh untuk menyelenggarakan kompetisi di tengah pandemi. Dengan begitu, Indonesia dapat segera mengikuti jejak negara lainnya untuk menyelenggarakan kompetisi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Setelah berpuasa selama hampir satu tahun, penyelenggaraan kompetisi sepak bola melalui Piala Menpora tentu ibarat oase di padang tandus. Kerja sama pendukung sepak bola sangat dibutuhkan untuk tidak hadir di stadion dan menonton bersama seperti yang kerap digelar sebelum pandemi. Jika turnamen ini berhasil, urat nadi sepak bola nasional tentu dapat kembali berdenyut. (LITBANG KOMPAS)