Hampir dua tahun setelah gelaran Pemilu 2019, konsentrasi publik pada pilihan presiden mulai tersebar pada sejumlah tokoh. Calon alternatif mulai bermunculan, baik dari tokoh nasional maupun tokoh daerah.
Oleh
Dedy Afrianto
·6 menit baca
Hampir dua tahun setelah gelaran Pemilu 2019, konsentrasi publik pada pilihan presiden mulai tersebar pada sejumlah tokoh. Calon alternatif mulai bermunculan, baik dari tokoh nasional maupun tokoh daerah.
Riak politik mulai terasa tiga tahun menjelang Pemilihan Presiden 2024. Dari lembaga legislatif, pro dan kontra sempat terpantik di antara partai politik seiring wacana pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu di DPR RI. Salah satu aturan yang terdapat dalam draf revisi UU tersebut adalah syarat calon presiden yang diharuskan menjadi anggota partai politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Riak serupa juga mulai terasa di akar rumput. Sejumlah nama mulai dilirik dalam panggung pencalonan presiden. Selain tokoh nasional yang telah jamak dikenal oleh publik, beberapa nama kepala daerah juga mencuat ke permukaan.
Dari tokoh nasional, nama Prabowo Subianto masih begitu populer dibenak publik. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 27 Desember 2020-9 Januari 2021, Prabowo masih menjadi pilihan utama responden jika pemilihan presiden dilakukan pada saat ini.
Tingkat keterpilihan Prabowo mencapai 12,0 persen dan mengungguli sejumlah tokoh politik lainnya, seperti Anies Baswedan (9,9 persen), Ganjar Pranowo (7,1 persen), dan Sandiaga Uno (5,3 persen).
Sebagian besar pemilih Prabowo saat ini adalah basis pendukung pada Pilpres 2019 silam. Selain itu, hampir separuh pendukung Gerindra saat ini masih menjadikan Prabowo sebagai pilihan utama.
Namun, hal yang perlu dicermati di tengah dominasi Prabowo adalah terjadinya penurunan elektabilitas dibandingkan tahun 2020 silam. Tampaknya, keputusan Prabowo untuk merapat pada pemerintahan mulai berbanding lurus dengan keputusan pendukungnya untuk memilih calon presiden alternatif. Hampir separuh pemilih Prabowo (46,4 persen) pada Pemilu 2019 lalu, saat ini mulai melirik tokoh lainnya sebagai calon presiden.
Hal yang sama juga terjadi pada basis pendukung Joko Widodo. Sebanyak 45,9 persen pemilih Jokowi kini juga mulai mengalihkan dukungannya kepada sejumlah calon alternatif.
Perubahan konfigurasi dukungan ini tidak terlepas dari masa jabatan Jokowi yang telah memasuki periode kedua, sehingga tidak mungkin untuk mencalonkan kembali jika merujuk pada konstitusi saat ini.
Pertumbuhan basis dukungan
Munculnya sejumlah tokoh alternatif mengindikasikan bahwa publik mulai mengamati sepak terjang tokoh politik lainnya jauh sebelum pemilihan presiden dilakukan. Apalagi, sebagian besar nama calon alternatif yang mencuat mengalami kenaikan elektabilitas dibandingkan tahun 2020 lalu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi pilihan tertinggi publik (9,9 persen) setelah Prabowo. Elektabilitas Anies terus meningkat dibandingkan dua survei sebelumnya pada Oktober 2019 dan Agustus 2020.
Anies memperoleh limpahan dukungan yang cukup besar dari pemilih Prabowo dalam Pemilu 2019. Dari seluruh pendukung Prabowo yang saat ini mulai mencari calon alternatif, sepertiga di antaranya mengalihkan dukungannya kepada Anies. Dari sisi partai politik, Anies juga berhasil memperoleh seperlima dukungan dari basis pemilih Gerindra.
Selain Anies, pemimpin daerah yang mencuat ke permukaan adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo serta mantan wali kota Surabaya yang kini menjabat sebagai menteri sosial, Tri Rismaharini.
Dua tokoh dari PDI-P ini sama-sama mengalami kenaikan elektabilitas yang menandakan adanya pertumbuhan basis dukungan. Bahkan, basis pendukung Ganjar tumbuh cukup pesat dan naik secara konsisten sejak Oktober 2019 lalu.
Sama halnya dengan Anies, Ganjar juga menerima limpahan suara yang cukup besar dari pendukung Jokowi maupun PDI-P. Dari seluruh pendukung Jokowi pada 2019 yang telah menentukan pilihan saat ini, hampir sepertiga di antaranya mengalihkan perhatiannya pada sosok Ganjar. Sebagian pendukung PDI-P saat ini juga mulai mengalihkan pilihannya kepada Ganjar sebagai calon alternatif.
Berbeda dengan Ganjar, Risma tidak menerima limpahan suara yang cukup besar dari pemilih Jokowi maupun basis pemilih PDI-P. Namun, kenaikan elektabilitas Risma saat ini adalah yang tertinggi dibandingkan seluruh calon alternatif lainnya yang dipilih oleh publik jika dibandingkan tahun 2020 silam.
Jika pada tahun lalu elektabilitas Risma hanya mencapai 1,7 persen, maka pada awal tahun ini melesat hingga mencapai 5,2 persen. Risma berhasil mengungguli tokoh lainnya, seperti Basuki Tjahaja Purnama (3,4 persen), Ridwan Kamil (2,3 persen), maupun Agus Harimurti Yudhoyono (2,2 persen).
Melesatnya elektabilitas Risma boleh jadi tidak terlepas dari jabatan baru yang diemban sebagai menteri sosial sejak 23 Desember 2020 lalu. Secara perlahan, Risma mulai dilirik sebagai capres alternatif tidak hanya bagi pemilih di Pulau Jawa, melainkan juga di luar Jawa. Bahkan, Risma juga juga mulai memperoleh basis dukungan dari sejumlah pemilih partai politik di dalam pemerintahan maupun oposisi.
Partai oposisi
Hal lainnya yang juga menarik dicermati adalah pilihan capres alternatif dari pendukung partai yang saat ini berada di luar pemerintahan. Calon alternatif juga mencuat dari basis pendukung partai oposisi.
Partai Demokrat, yang telah menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai figur baru, tampaknya harus berjuang lebih keras jika ingin mengusung Agus sebagai calon presiden pada 2024. Pasalnya, pendukung dari Demokrat masih terbelah dalam keputusan memilih calon presiden saat in, yakni antara Anies, Prabowo, dan Agus.
Komposisi yang nyaris tidak berubah tampak dari pola pilihan pendukung PKS. Pilihan masih mengerucut pada nama Prabowo, Anies, dan Sandiaga Uno. Ketiga tokoh ini memang merupakan figur yang melekat bagi pemilih PKS dalam beberapa tahun terakhir.
Realitas politik
Kenaikan elektabilitas tokoh alternatif, termasuk tokoh daerah dalam tempo dua tahun setelah pilpres menunjukkan bahwa masyarakat mulai aktif mencari sosok baru setelah berada dalam lingkaran keterbelahan dalam dua pemilu terakhir.
Sebagai sebuah realitas politik, kondisi ini sangat berbeda dibandingkan satu dekade silam saat publik juga mulai mencari sosok pengganti Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu telah menjabat selama dua periode.
Pada tahun 2011, atau sekitar dua tahun setelah Pilpres 2009, nama-nama yang muncul dan terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas sebagai tokoh alternatif saat itu hanya sebatas pada tokoh nasional, seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, maupun Sri Mulyani.
Kenaikan elektabilitas tokoh alternatif menunjukkan bahwa masyarakat mulai aktif mencari sosok baru.
Belum ada tokoh daerah yang mencuat ke permukaan sebagai calon alternatif dari masyarakat luas, termasuk nama Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai wali kota Solo.
Bahkan, hingga tahun 2012, sejumlah tokoh nasional masih mendominasi bursa calon presiden untuk Pemilu 2014. Kondisi ini berbanding terbalik dengan saat ini ketika sejumlah kepala daerah muncul sebagai calon presiden alternatif.
Tentu masih terlalu dini untuk memetakan kekuatan politik jelang Pemilihan Presiden 2024. Apalagi, konsentrasi sejumlah partai masih belum sepenuhnya mengarah pada pencalonan presiden setelah menguras energi dalam pilkada pada Desember 2020 lalu.
Namun, menarik untuk mencermati elektabilitas calon alternatif ini dalam satu hingga dua tahun yang akan datang. Apakah kenaikan elektabilitas dari sejumlah tokoh alternatif akan bertahan secara eksponensial? Atau justru hanya menjadi fenomena sesaat hingga muncul sosok baru seperti Pilpres 2014 silam? Yang jelas, peta kekuatan politik dapat berubah jika penyelenggaraan Pilpres 2024 bersamaan dengan pilkada serentak. Kita tunggu saja. (LITBANG KOMPAS)