”Buzzer”, Disukai Sekaligus Dibenci
Keberadaan ”buzzer” tidak terelakkan di tengah kehadiran media sosial yang sangat populer saat ini. Kehadiran pada pendengung kini dipersoalkan karena dinilai menghambat kebebasan publik untuk berpendapat.
Keberadaan pendengung atau buzzer tidak terelakkan di tengah kehadiran media sosial yang sangat populer saat ini. Kehadiran pada pendengung kini dipersoalkan karena dinilai menghambat kebebasan publik untuk berpendapat.
Saat ini strategi marketing tidak bisa lepas dari peran media sosial. Baik itu untuk pemasaran produk secara umum maupun untuk kepentingan politik. Karakteristik media sosial yang unik, menjangkau banyak followers (pengikut) dan berjejaring, memudahkan media ini digunakan untuk melakukan pemasaran dan memengaruhi pasar atau target audience yang disasar.
Salah satu yang dominan dalam kerja-kerja pendengung itu umumnya melalui media sosial Twitter. Sejak Twitter hadir tahun 2006, pemanfaatannya menjadi kian masif dari sekadar media sosial. Berbagai istilah pun muncul merujuk pada akun yang memiliki kekuatan besar di media sosial ini, seperti buzzer, influencer, bahkan Key Opinion Leader (KOL).
Buzzer atau pendengung merupakan individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan lalu bergerak dengan motif tertentu.
Secara personal, buzzer bukan siapa-siapa. Tidak jarang mereka anonim, bahkan bisa saja hanya sembarang nama dengan foto profil perempuan, laki-laki, atau tokoh anime.
Akun-akun buzzer sangat aktif menggunakan media sosial. Mereka memiliki jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, persuasif, dan digerakkan oleh motif tertentu. Mereka memiliki akses ke informasi-informasi penting dengan engagement yang baik.
Mereka juga mampu membuka dan memancing percakapan di media sosial dengan caranya sendiri. Biasanya sebuah akun bisa menjadi buzzer jika memiliki minimal 3.000 follower (pengikut).
Setidaknya ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer, yakni motif komersial yang ditandai dengan aliran dana (biasa bekerja atas dasar pesanan isu yang dibawa agensi kehumasan alias public relation), partai politik, pemerintah, perusahaan produk tertentu, dan selebritas. Selain itu, juga bisa memiliki motif sukarela karena didorong oleh kesamaan ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
Pendengung ini berbeda dengan influencer (pemengaruh). Influencer merupakan figur independen yang dikenal di bidangnya masing-masing. Mereka memiliki nama asli dengan latar belakang yang jelas. Informasi yang disampaikan influencer bisa memengaruhi follower (pengikut). Pihak yang hendak menggulirkan isunya via media sosial bisa saja merekrut influencer ini karena memiliki pengaruh yang besar.
Namun, berbeda dengan pendengung, influencer sudah memiliki pengaruh yang besar sebelum dia diberi pekerjaan oleh pemberi pesan. Seorang influencer tidak perlu menyebarkan konten secara berulang-ulang seperti buzzer. Mereka hanya cukup sesekali saja menyampaikan informasi atau konten yang diminta melalui akun media sosialnya.
Pesan tersebut akan menjangkau semua pengikutnya, bahkan bisa jadi pengikutnya justru yang menjadi buzzer (pendengung), yang berkali-kali menyebarluaskan dan turut membicarakannya di akun media sosialnya.
Sementara itu, Key Opinion Leader (KOL) sedikit berbeda dengan influencer, apalagi buzzer. KOL adalah seseorang yang ahli dalam bidang tertentu sehingga opininya dianggap valid karena memahami bidang-bidang tertentu. Contohnya ialah tokoh pendidikan, tokoh agama, tokoh politik, ataupun profesional, seperti dokter, juru masak (chef), dan sebagainya.
KOL tidak melulu aktif di sosial media. Beberapa KOL lebih fokus pada aktivitas di dunia nyata. Namun, kini banyak KOL yang juga aktif di salah satu sosial media seperti Twitter,Youtube, dan Instagram.
Belakangan, kini keberadaan pendengung kembali dipersoalkan. Kehadiran mereka dinilai meresahkan karena dimanfaatkan untuk menggiring opini dan membuat percakapan dengan hastag tertentu sesuai pesanan klien di bidang politik.
Kehadiran pendengung dinilai meresahkan karena dimanfaatkan untuk menggiring opini.
Perkembangan ”buzzer”
Kehadiran buzzer (pendengung) di Indonesia awalnya mulai marak sejak media sosial seperti Twitter pada 2009 berhasil menggalang gerakan sosial melalui hashtag #Indonesiaunite untuk melawan teror bom di Mega Kuningan, Jakarta. Kemudian, sejumlah bran produk menjadikan buzzer sebagai salah satu strategi pemasaran produknya.
Buzzer politik disinyalir mulai bangkit pada periode Pilkada DKI Jakarta 2012. Pada periode ini, buzzer yang awalnya memiliki konotasi positif perlahan-lahan bergeser menjadi negatif karena pesan-pesannya yang bersifat menyerang identitas kandidat. Saat itu ada akun di Twitter dengan nama @triomacan2000 yang disebut-sebut sebagai buzzer yang anti-Jokowi-JK.
Hal ini berlanjut pada aksi buzzer di Pilgub DKI Jakarta 2017 yang semakin ramai di Twitter. Sejak ketua-ketua partai menetapkan calon gubernur dan wakilnya, yaitu pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Demokrat, PPP, PKB, PAN), Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat (PDI-P, Golkar, Hanura, Nasdem) dan Anis Baswedan-Sandiaga Uno (Gerindra, PKS), saat itu pula media sosial dibanjiri oleh pendukung maupun pendengung politik dari setiap pasangan calon.
Kondisi ini juga berlanjut di Pemilihan Presiden 2019 dengan pertarungan di media sosial yang makin kencang. Kedua kubu, yakni Jokowi dan Prabowo, bersaing, bahkan tak jarang menimbulkan perang cuitan (twitwar) di Twitter.
Tahun 2020, pendengung kian meramaikan media sosial, seperti pro-RUU Cipta Kerja, penolak vaksin, pro-vaksin, dan banyak lainnya. Setiap buzzer mendorong supaya isu yang disampaikan menjadi trending di media sosial.
Namun, kehadiran buzzer dipersoalkan kembali oleh berbagai pihak. Tudingan terlebih ditujukan terhadap pendengung propemerintah yang dinilai menimbulkan ketakukan pada publik untuk mengkritik pemerintah.
Sampai-sampai MUI mengingatkan kembali adanya fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 terkait aktivitas buzzer yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, gibah, fitnah, perundungan, aib, gosip, dan hal-hal lain untuk memperoleh keuntungan, hukumnya haram.
Keberadaan buzzer pun kini kini berbalik dicela. Pendengung berbalik dinilai sebagai hambatan dalam demokrasi di Indonesia. Kini, muncul usulan revisi terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memuat pasal yang rentan disalahgunakan serta perlunya aturan khusus memberantas buzzer penyebar hoaks.
Pemerintah sudah saatnya membuat aturan soal tata cara kerja pendengung politik ini.
Aturan media sosial
Selama ini, UU ITE dinilai kerap dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Menurut Kontras, hingga Oktober 2020, ada 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses hukum oleh polisi karena mengkritik Presiden Jokowi. Banyak pihak menilai pelaksanaan UU ITE masih tajam kepada pengkritik atau lawan politik, tetapi tumpul kepada para pendukung pemerintah.
Di balik suka dan benci terhadap buzzer dari berbagai pihak, pemerintah sudah saatnya membuat aturan soal tata cara kerja pendengung politik ini. Terlebih lagi sebagian besar dari mereka memiliki akun anonim yang merahasiakan identitas. Tidak jarang juga mengandung akun bot (palsu). Aturan yang diperlukan tidak hanya mengatur peran buzzer, baik yang dibayar maupun sukarela.
Perlu juga diatur tentang agen komunikasi serta kliennya, seperti elite politik atau organisasi partai politik. Aturan yang jelas dan rinci soal tata cara kerja pendengung, terlebih buzzer politik, akan memudahkan kontrol negara demi menjaga iklim demokrasi di Indonesia.
Selain itu, tentu literasi digital masyarakat kembali harus ditingkatkan. Publik harus meningkatkan kemampuan serta kedewasaan dalam bersikap untuk tidak mudah terpengaruh, tidak mudah percaya, dan tidak mudah tersulut emosi dengan pesan-pesan para pendengung di media sosial. Jika ini menguat, masyarakat akan semakin mapan dan dewasa dalam menyikapi konten di media sosial. (LITBANG KOMPAS)