Menyingkap Rahasia India Tangani Pandemi
Menurunnya kasus Covid-19 di India setelah dilakukannya karantina wilayah bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. Meskipun demikian, fakta di lapangan apa yang terjadi di India tidak semudah yang dibayangkan.
Secara statistik, situasi pandemi di India terlihat mulai terkendali. Bukan hanya pertumbuhan kasus harian yang kian melandai, tingkat mortalitas akibat Covid-19 pun secara konsisten menjadi salah satu yang terendah di dunia.
Cantiknya angka-angka ini pun dijadikan dasar klaim keberhasilan penanganan pandemi oleh Pemerintah India. Meskipun begitu, angka-angka tersebut bisa jadi bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan.
Selama seminggu terakhir, kecamuk virus Covid-19 di India memang terlihat sudah mereda. Setelah mencapai puncaknya pada pertengahan September dengan penambahan kasus harian mencapai 97.856 kasus, kini angka tersebut telah menurun hingga sebesar 11.000 saja.
Tren serupa juga terlihat dalam hal jumlah kematian harian akibat infeksi Covid-19. Setelah sebelumnya konsisten di atas 1.000 jiwa, angka kematian harian di India kini berada di kisaran 100 jiwa saja.
Di samping itu, tingkat kesembuhan di India juga relatif tinggi. Semenjak pertengahan tahun lalu, tingkat kesembuhan (recovery rate) di negara ini selalu berada di atas angka 97,5 persen. Tak ayal, Penurunan kasus serta kematian baru yang signifikan dan tingginya recovery rate ini pun membuat kasus aktif di negara tersebut juga ikut melandai.
Sebelumnya, ada lebih dari 1 juta kasus aktif pada September 2020. Per 15 Februari 2021, angka tersebut telah menurun hingga 138.000 kasus aktif, atau sekitar 15 persen.
Menurunnya kasus aktif ini bisa jadi pertanda yang sangat baik dalam upaya penanganan pandemi. Dengan turunnya kasus aktif, beban fasilitas dan tenaga kesehatan untuk merawat pasien Covid-19 pun akan berkurang. Ujungnya, tingkat kematian akibat infeksi Covid-19 beserta penyakit-penyakit lainnya yang sebelumnya tak tertangani akibat pandemi pun bisa ditekan.
Keajaiban data
Perbaikan signifikan situasi pandemi di India ini pun memantik rasa penasaran berbagai pihak di seluruh dunia. Bagaimana tidak, selain tingkat pertumbuhan kasus dan kematian baru yang kian melandai, tingkat kematian (mortality rate) akibat infeksi Covid-19 di India juga relatif rendah.
Pada masa-masa pertambahan kasus pada September lalu, tingkat kematian di negara ini berada di angka 1,7 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti AS (3 persen), Inggris (11,7 persen), Italia (12,6 persen), dan bahkan dunia (4 persen).
Pemerintah India pun merespons fenomena ini dengan penuh bangga. Bagi mereka, hal ini bukti nyata bahwa kerja mereka dalam menangani pandemi telah berhasil. Tak ayal, segala bentuk kebijakan relaksasi pembatasan mobilitas masyarakat pun telah diambil secara bertahap mulai Juni 2020. Bahkan, hingga kini pun tak ada kebijakan penanganan pandemi yang signifikan dari Pemerintah India selain soal vaksinasi.
Lantas, bagaimana bisa pemerintah yang tak berbuat banyak dapat menekan tingkat kematian sedemikian rupa? Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa peneliti di dunia menyediakan empat dugaan yang bisa menjadi jawaban. Namun, sayangnya belum ada jawaban pasti akan fenomena ini.
Dugaan pertama ialah karena keberhasilan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah India, terutama pada awal masa pandemi lalu. Pada Maret 2020, Pemerintah India memang mengambil langkah tegas dengan melakukan kebijakan karantina wilayah (lockdown) di seantero negeri. Saat itu, praktis seluruh kegiatan masyarakat selama pukul 7 pagi hingga 8 malam mandek.
Masalahnya, kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi upaya pemerintah India untuk meredam penyebaran virus Covid-19. Pasalnya, kebijakan karantina wilayah terbesar di dunia ini malah menyebabkan krisis ekonomi dan sosial di tengah gentingnya situasi kesehatan.
Utamanya hal ini diakibatkan oleh kebijakan karantina wilayah yang terburu buru, di mana masyarakat hanya diberikan waktu sekitar 4 jam untuk bersiap-siap sebelum peraturan pembatasan berlaku.
Selain itu, karakteristik masyarakat India yang mayoritas pekerja migran, juga membuat kebijakan karantina wilayah menjadi bencana. Ratusan ribu orang yang mengadu nasibnya di kota sebagai pekerja informal pun kehilangan pekerjaan dalam sekejap, memicu eksodus besar-besaran manusia dari kota ke daerah-daerah rural.
Akhirnya, alih-alih membatasi mobilitas masyarakat, kebijakan keras ini justru menciptakan arus manusia yang luar biasa besar dan malah membuat penyebaran semakin meningkat.
Kebijakan karantina wilayah justru menjadi bumerang bagi upaya Pemerintah India untuk meredam penyebaran virus Covid-19.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan kasus positif baru setelah karantina wilayah di India. Alih-alih menurun, tren pertumbuhan kasus positif baru di negara ini justru meningkat, dari yang awalnya di bawah angka 100 menjadi di kisaran angka 1.000 dalam rentang waktu 2 minggu.
Anehnya, Pemerintah India justru mulai mengendurkan kebijakan restriktif ini pada Mei ketika tren kasus baru sedang naik di kisaran 80.000 per hari. Bahkan, ketika fase kelima relaksasi kebijakan restriktif ini dilaksanakan pada September 2020, angka positif harian di negara ini masih di kisaran 1 juta kasus. Walhasil, klaim keberhasilan kebijakan pemerintah sebagai faktor di balik rendahnya tingkat kematian serta melandainya kasus baru di India pun terbantahkan.
Aspek demografis
Selain kebijakan pemerintah, dugaan lain di balik keajaiban data Covid-19 di India terletak pada aspek demografik negara tersebut. Jika dilihat, India memang cenderung negara yang ”muda”. Bagaimana tidak, median umur negara ini berada di kisaran 28 tahun. Terlebih lagi, sekitar 27 persen dari populasi penduduk di India juga berusia 14 tahun ke bawah.
Dalam konteks pandemi, postur demografi yang dimiliki oleh India memang bisa jadi menguntungkan. Berdasarkan penelitian dari BMC Public Health, risiko kematian kasus Covid-19 pada pasien berumur 65 tahun ke atas 62 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pasien berumur 54 tahun ke bawah.
Selain itu, dugaan ini juga diperkuat dengan Brasil, yang memiliki populasi dengan median umur 33,2 tahun, juga memiliki tingkat kematian akibat Covid yang relatif rendah. Sementara Italia, dengan median umur 46,5 tahun, memiliki tingkat kematian yang cenderung tinggi.
Meskipun begitu, dugaan ini bisa dipatahkan dengan kasus yang terjadi di Jerman dan Meksiko. Di satu sisi, Meksiko dengan median umur di angka 29,3 justru memiliki tingkat kematian akibat Covid-19 yang relatif tinggi di kisaran 10 persen. Di sisi lain, Jerman dengan median umur populasi sebesar 47,8 persen justru memiliki tingkat kematian yang rendah di kisaran 3 persen. Maka, meski mungkin memiliki pengaruh, faktor umur populasi ini tak bisa dijadikan penjelasan tunggal atas anomali yang terjadi di India.
Dugaan terakhir, yang justru paling memungkinkan, ialah keajaiban statistik Covid-19 di India merupakan ujung dari sengkarut data. Simpulan ini diambil dari fakta bahwa bahkan sebelum masa pandemi, 80 persen kematian di India terjadi di rumah bukan di fasilitas kesehatan.
Tak hanya itu, pada 2019, hanya sekitar 22 persen dari kematian di negara tersebut yang disertifikasi secara medis. Artinya, besar kemungkinan bahwa rendahnya tingkat kematian di tengah tingginya tingkat infeksi, merupakan ilusi yang diciptakan sistem pendataan pemerintah yang sedari dulu bobrok.
Hal ini pun dikonfirmasi juga oleh temuan dari The New York Times. Berdasarkan investigasinya, banyak negara yang tidak mampu menyajikan data kematian akibat Covid-19 secara akurat. Selain karena memang ketidakmampuan negara untuk melakukan pendataan, beberapa negara, seperti India dan Indonesia, juga tidak menggunakan panduan WHO untuk menghitung korban meninggal akibat Covid-19.
Tidak hanya itu, sebagian besar negara juga tidak menghitung korban jiwa yang disebabkan oleh membengkaknya beban faskes karena pandemi, seperti pasien kanker atau penyakit kronis lainnya yang tak tertangani. Ujungnya, ditemukan bahwa setidaknya terdapat setengah juta kematian akibat Covid-19 yang ”tersembunyi” di dunia.
Misteri anomali penanganan Covid-19 di India ini dapat diambil pelajarannya oleh Pemerintah Indonesia. Data yang terlihat cantik bukanlah tujuan akhir dari penanganan pandemi. Bahkan, data yang tak akurat justru berpotensi menimbulkan ilusi keberhasilan yang kontradiktif dengan upaya melawan penyebaran virus Covid-19.
Karena itu, sembari melaksanakan program vaksinasi, perbaikan data Covid-19 di Indonesia juga perlu mendapat prioritas. Karena tanpa data yang kredibel, pemerintah tak akan pernah benar-benar tahu akan apan yang sebenarnya terjadi dan kebijakan yang dihasilkannya pun tak mungkin akan berjalan maksimal. (LITBANG KOMPAS)