Urgensi Menghapus Ujian Nasional
Potret pendidikan Indonesia di kancah dunia, baik dari ukuran kompetensi kognitif maupun inovasi, mengindikasikan urgensi transformasi pendidikan.
Penghapusan ujian nasional menjadi langkah awal yang penting bagi dunia pendidikan tingkat menengah dalam memperkuat tantangan kebutuhan mutu sumber daya manusia ke depan.
Sejak dimulainya era ujian nasional (UN) tahun 2005, standar kuantitatif kelulusan terus berubah setiap tahun. Untuk memacu semangat belajar, setiap tahun standar kelulusan juga dinaikkan.
Alih-alih mencapai tujuan terwujudnya peningkatan mutu pendidikan yang terindikasi dari membaiknya nilai kelulusan siswa, penyelenggaraan UN justru selalu berpolemik dan menyisakan persoalan. Kebocoran soal dan kunci jawaban, kecurangan massal, perjokian, hingga siswa dan orangtua yang stres mewarnai setiap penyelenggaraan UN.
Sementara itu, upaya pencapaian aspek kognitif siswa Indonesia pun masih jauh dari kata menggembirakan jika melihat hasil perbandingan antarnegara. Hasil survei pendidikan siswa Programme for International Student Assessment (PISA) dari Organisasi Kerjasama untuk Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberikan sebagian gambaran mengenai mutu pendidikan tersebut.
Baca juga : Lika-liku Ujian Nasional dan Kurikulum Pendidikan
Sejak tahun 2000 hingga 2018, skor PISA menempatkan kompetensi pendidikan Indonesia selalu di urutan ke-10 terendah dari sekitar 70 negara. Dalam hal membaca sebagai salah satu aspek yang dinilai, skor terbaru yang diperoleh tahun 2018 (371) sama dengan skor tahun 2000 saat Indonesia pertama kali mengikuti survei ini.
Meskipun skor membaca siswa tingkat pendidikan menengah usia 15 tahun Indonesia pernah naik menjadi 402 di tahun 2009, skor itu kemudian terus menurun hingga 2018.
Performa untuk matematika dan sains pun tidak jauh berbeda, cenderung rendah dan stagnan masih jauh di bawah rata-rata negara OECD. Dalam lingkup ASEAN pun, pencapaian aspek kognitif pendidikan Indonesia masih tertinggal dari negara lainnya.
Secara umum, hasil PISA untuk aspek membaca dan matematika juga menunjukkan penurunan kompetensi. Hanya sekitar 30 persen siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi kemampuan membaca dan matematika minimal.
Demikian pula tren untuk sains yang naik turun dan mengalami penurunan pada laporan terakhir tahun 2018. Secara keseluruhan, hasil survei PISA 2018 menjadi alarm dini untuk melakukan perubahan paradigma pendidikan di Indonesia.
Baca juga : Suka Duka Belajar di Rumah
Kultur inovasi
Gempuran teknologi sejak dunia memasuki revolusi industri 4.0 kian menuntut perbaikan mutu dunia pendidikan sebagai media penyiapan sumber daya manusia (SDM). Diperlukan pendidikan yang lebih banyak menumbuhkan kultur baru, di antaranya, dalam konteks inovasi. Indonesia semakin membutuhkan SDM yang kreatif menciptakan dan menangkap hal-hal baru yang dibutuhkan dalam situasi pembangunan nasional yang sarat dengan dinamika persaingan global.
Inovasi menjadi motor penggerak pembangunan sosial ekonomi suatu negara dan kunci untuk memenangkan persaingan global tersebut. Salah satu tolak ukur yang digunakan untuk mengukur aktivitas inovasi adalah Indeks Inovasi Global (Global Innovation Index/GII) yang bertujuan untuk melihat aspek multidimensi inovasi.
Indeks GII mengukur berbagai aspek, salah satunya aspek SDM dan penelitian dimana pendidikan, termasuk parameter dalam penilaian. Berdasarkan Indeks Inovasi Global tahun 2020, capaian Indonesia dalam inovasi masih rendah.
Berada pada peringkat ke-85 dari 131 negara di dunia, peringkat Indonesia stagnan sejak tahun 2013 bahkan pernah merosot ke peringkat 97 pada 2015. Sementara skor yang dicapai tahun ini, yaitu 26,49, mengalami penurunan 3,23 poin dibandingkan skor tahun 2019 (29,72). Indonesia mendapat skor di bawah rata-rata dalam 3 pilar (indikator), yakni institusi, sumber daya manusia dan penelitian, serta kecanggihan bisnis.
Di tingkat regional, peringkat inovasi Indonesia berada di posisi kedua terendah setelah Kamboja. Indonesia tercatat menempati urutan ke-9 dari 29 negara dengan ekonomi kelompok berpenghasilan menengah ke bawah dan ranking ke-14 dari 17 negara di wilayah Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania.
Baca juga : UN yang Terhapus karena Covid-19
Merdeka belajar
Mempertimbangkan kegagalan UN yang belum mampu menciptakan kultur inovasi dan perbaikan pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim melakukan perubahan dengan mengusung konsep ”Merdeka Belajar”.
Salah satu upaya mewujudkan program ini dimulai dengan menghapus UN. Pada tahap pertama, pemerintah melakukan ”Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter” sebagai sistem memantau dan mengevaluasi sistem di pendidikan menengah. Sistem ini melihat dua kompetensi minimum siswa, yaitu literasi (membaca) dan kompetensi numerasi (matematika) serta pembangunan karakter.
Kompetensi literasi tidak hanya sekadar membaca, tetapi juga kemampuan menganalisis tulisan, memahami konsep di balik tulisan itu. Sementara kompetensi numerasi merujuk pada kemampuan menganalisis angka-angka. Penilaiannya mengacu pada standar internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS).
Penghapusan UN yang digantikan dengan asesmen menjadi poin krusial karena kebijakan ini menunjukkan perubahan orientasi pengukuran mutu pendidikan. Keberadaan UN menunjukkan orientasi yang kuat pada hasil dari pembelajaran. Sementara, asesmen yang dipercayakan kepada sekolah membawa semangat baru pendidikan yang berorientasi proses.
Pelaksanaan penilaian kelulusan kini diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, bisa melalui penilaian atas hasil karya berbentuk esai, proyek, atau hasil kerja kelompok siswa.
Baca juga : Plus Minus Homeschooling
Upaya memperbaiki mutu pendidikan dari semula lebih berorientasi pada hasil akhir menjadi lebih berorientasi kepada proses, terbukti juga berhasil dilakukan sejumlah negara. Contohnya, antara lain, Finlandia, Jepang, Australia, Jerman, dan Amerika Serikat yang sudah menghapus sistem UN di negaranya.
Kelima negara tersebut mencatat peringkat GII di urutan 20 besar dunia. Peringkat PISA Finlandia, Jepang, dan Jerman tahun 2020 juga berada di peringkat 20 besar untuk kompetensi membaca, matematika dan sains.
Adapun kompetensi membaca dan sains Australia dan Amerika Serikat juga masuk di peringkat 20 besar dunia, sedangkan peringkat kompetensi matematika kedua negara itu masuk di 40 besar dunia.
Potret pendidikan Indonesia di kancah dunia, baik yang diukur lewat skor PISA maupun GII, mengindikasikan bahwa transformasi pendidikan harus segera dilakukan. Terobosan signifikan dalam dunia pendidikan nasional menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Penghapusan UN diharapkan menjadi pintu awal transformasi pendidikan untuk memperbaiki mutu SDM Indonesia menuju insan yang mumpuni secara intelektual, kreatif, dan berkarakter inovatif. (LITBANG KOMPAS)