”Stunting” Mengintai di Balik Pandemi
Perbaikan gizi ibu hamil, wanita usia subur, dan anak balita merupakan investasi penting bagi masa depan bangsa.
Menurunnya kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19 berpotensi memengaruhi kualitas hidup keluarga, termasuk dalam hal asupan makanan bergizi. Jika diabaikan, kekurangan gizi kronis dalam keluarga dapat berujung pada kondisi stunting.
Kondisi tubuh kerdil, stunting, atau sering disebut tengkes, terkait dengan keadaan gizi penduduk yang buruk dalam periode cukup panjang. Tanpa penanganan serius akan semakin banyak penduduk yang dewasa dan menua dengan kemampuan kognitif yang tidak berkembang, mudah sakit dan berdaya saing rendah.
Pada akhir Januari 2021 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan kemungkinan bahwa bayi penderita tengkes akan meningkat akibat pandemi. Kekurangan gizi kronis (KEK) pada anak akan menimbulkan persoalan serius dalam pembangunan sumber daya manusia di masa depan.
Periode 1.000 hari pertama atau sekitar tiga tahun kehidupan anak merupakan masa krusial pembangunan ketahanan gizi. Lewat dari 1.000 hari, dampak buruk kekurangan gizi sangat sulit diobati. Kekurangan gizi pada ibu hamil pun bisa memicu tengkes.
Selain tengkes, kekurangan gizi kronis juga bisa menyebabkan abortus, anemia pada bayi baru lahir, bayi dengan berat badan lahir rendah, cacat bawaan, hingga kematian. Semakin muda usia calon ibu, semakin besar risiko mengalami KEK. Oleh karena itu, asupan gizi bagi perempuan hamil juga sangat penting.
Di Indonesia sejarah tengkes sudah ada sejak masa kolonial baik di masa Hindia Belanda maupun saat penjajahan Jepang. Sekitar tahun 1934, pemerintah Hindia Belanda pernah mengupayakan perhatian pada perbaikan gizi warga, antara lain dengan mendirikan ”Insitituut Voor de Volkvoeding”. Walaupun demikian, saat itu belum optimal menangani soal tengkes.
Profil Kesehatan Indonesia 2019 memaparkan proporsi populasi tengkes tertinggi tercatat di Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi Barat. Adapun proporsi populasi tengkes terendah ada di Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bali, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di masa pandemi ini, kemungkinan melonjaknya angka populasi tengkes juga menjadi keprihatian global. Laporan United Nations International Children\'s Emergency Fund dari Unicef pada Juni 2020 menyatakan, jauh sebelum Covid-19 sekitar 7 juta anak balita sudah mengalami stunting.
Laporan Unicef pun memproyeksikan, tengkes bisa melonjak 15 persen di masa pandemi. Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa vaksinasi massal baru akan selesai pada Maret 2022. Itu artinya, dunia kesehatan Indonesia masih akan lebih banyak berfokus pada penanganan Covid-19 sepanjang tiga tahun terhitung sejak pandemi ini masuk ke Indonesia di penghujung tahun 2019.
Sepanjang periode waktu itu, problem tengkes bisa semakin memprihatinkan karena problem gizi anak balita di daerah bisa jadi kian terabaikan.
Ketimpangan antarwilayah
Penelitian Sandjaja dari Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes RI bertajuk ”Risiko KEK Pada Ibu Hamil Indonesia” (2009) menunjukkan tingginya KEK di kalangan ibu hamil. Prevalensi risiko KEK pada ibu hamil di tingkat nasional mencapai 21,6 persen, sedangkan prevalensi KEK pada wanita usia subur (WUS) tercatat 13,6 persen.
Penelitian ini juga menyebut sejumlah faktor yang menyebabkan KEK, antara lain status ibu dalam keluarga, jumlah anggota rumah tangga, tingkat pengeluaran per kapita, kondisi perumahan, serta kualitas air minum dan sanitasi lingkungan.
Kesimpulan studi itu sejalan dengan pendapat Dr dr Dian Novita Chandra, M., pengajar Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Faktor penting yang berkontribusi terhadap tengkes pada anak adalah KEK pada perempuan usia subur dan perempuan hamil.
Pada orang dewasa, kekurangan gizi kronis (KEK) bisa diketahui melalui indeks massa tubuh (IMT) yang diukur melalui perbandingan berat dan tinggi badan. IMT kurang dari 18,5 dikategorikan sebagai KEK.
Pedoman ini kemudian dilengkapi dengan pengukuran antropometri berupa lingkar lengan atas (LILA) dan tinggi badan. Singkatnya, kondisi KEK ditandai dengan LILA kurang dari 23,5 cm dan tinggi kurang dari 150 cm.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebetulnya menunjukkan penurunan angka KEK dibandingkan tahun 2013. Data Riskesdas 2013 mencatat prevalensi KEK pada perempuan kelompok usia hamil dan kelompok usia tidak hamil masing-masing 24,2 persen dan 20,8 persen.
Sementara itu, pada hasil Riskesdas 2018 kedua kelompok ini mencatat prevalensi KEK 17,3 persen untuk perempuan usia hamil dan 14,5 persen pada perempuan usia tidak hamil.Namun, Riskesdas 2018 masih memperlihatkan adanya ketimpangan KEK antar wilayah di Indonesia yang diindikasikan dari LILA yang rendah. Sebanyak 10 provinsi mencatat prevalensi 20-30 persen perempuan hamil dengan LILA kurang dari 23,5 cm.
Prevalensi perempuan dengan LILA rendah itu banyak terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai hampir 37 persen. Pada perempuan tidak hamil, ketimpangan prevalensi LILA terburuk terjadi di lima provinsi, salah satunya juga di NTT yang mencapai 32,5 persen.
Sementara itu, indikator KEK menurut kriteria tinggi badan perempuan hamil kurang dari 150 cm juga menunjukkan hasil yang senjang antar wilayah di Indonesia. Kepulauan Riau dan Bali mencatat angka prevalensi terbaik untuk KEK perempuan hamil menurut kriteria tinggi badan.
Indeks senjang
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2013 dan 2018 juga memperkuat kesenjangan kesehatan antar wilayah di Indonesia. Indeks yang didesain sejak tahun 2010 ini bertujuan untuk melihat perkembangan status kesehatan masyarakat kabupaten/kota berdasarkan data dasar dan indikator kesehatan.
Bali menduduki peringkat IPKM tertinggi. Sementara Papua Barat dan Papua terendah. Bali dinilai mempunyai rentang terkecil pada subindeks perilaku dan kesehatan reproduksi. Disebutkan bahwa capaian antarkabupaten/kota di Bali sudah hampir sama.
Di sisi lain, kesenjangan di tahun 2018 terlihat sangat lebar di Provinsi Papua. Salah satu catatan penting pada IPKM Provinsi Papua adalah problem kualitas kesehatan balita dan pelayanan kesehatan yang tak mengalami perbaikan bermakna selama lima tahun. Kondisi serupa juga terjadi di provinsi tetangganya, yakni Papua Barat.
Masalah tengkes dan problem KEK yang melatarbelakanginya jelas menjadi hal yang harus mendapat prioritas. Perbaikan gizi ibu hamil, wanita usia subur, dan anak balita pada akhirnya menjadi investasi penting di tengah masa pandemi ini bagi masa depan bangsa. (LITBANG KOMPAS)