Wacana perubahan ambang batas masih menjadi poin yang paling disoroti dan alot untuk dibahas. Jika RUU Pemilu tidak jadi direvisi, harapan untuk mengevaluasi besaran ambang batas parlemen pun pudar.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·5 menit baca
Polemik pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berujung pada sikap mayoritas fraksi yang sepakat untuk menunda pembahasan. Wacana perubahan ambang batas masih menjadi salah satu poin yang paling disoroti dan alot untuk dibahas.
Perdebatan mengenai perubahan sejumlah aturan terkait dengan pelaksanaan pesta demokrasi itu berakhir setelah sejumlah partai menentukan sikap berkebalikan dari sebelumnya untuk tak lagi mendukung revisi. Semula sejumlah partai, yaitu PKS, Demokrat, Nasdem, dan Golkar, berada dalam gerbong yang mendorong dilakukanya revisi terhadap UU Pemilu.
Akan tetapi, beberapa waktu lalu, Golkar justru mengklarifikasi ulang pernyataan sikapnya terkait dengan revisi UU Pemilu. Hal serupa dilakukan Partai Nasdem, yang pada akhirnya juga mengubah sikap untuk tak lagi mendukung upaya revisi UU Pemilu.
Berbeloknya sikap Nasdem dan Golkar menjadikan posisi kubu partai yang mendorong dilakukannya revisi UU Pemilu kian lemah. PKS dan Demokrat pun harus berpuas kembali berdiri dengan sikap berseberangan tanpa tambahan dukungan dari partai lainnya dan terus mengupayakan realisasi revisi UU Pemilu.
Sebelumnya telah beredar luas draf rancangan perubahan UU Pemilu yang akan dibahas DPR dan masuk salah satu daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) itu. Perdebatan revisi semula hanya terkait dengan sistem pemilu yang berbentuk terbuka atau tertutup, persyaratan ambang batas suara partai politik dan pencalonan presiden. Belakangan, silang pendapat di ruang dewan juga meluas pada pelaksanaan pilkada serentak.
Terkait dengan pelaksanaan pilkada serentak, sebagian fraksi berpandangan bahwa hal itu akan sulit dilakukan jika harus dilaksanakan bersamaan pada 2024. Keserentakkan pilkada, pemilu legislatif, dan pemilihan presiden akan membuat beban tugas penyelenggara menjadi berkali lipat lebih berat. Oleh karena itu, diwacanakan pula agar Pilkada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan sebagaimana tertuang dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Sementara itu, perubahan persyaratan ambang batas memang menjadi pembahasan yang menyita cukup banyak perhatian di ruang Dewan. Selayaknya revisi UU Pemilu yang pernah dilakukan sebelumnya, persyaratan ambang batas memang menjadi hal yang sangat sensitif karena akan memengaruhi masa depan posisi dan kekuatan partai dalam mewakili suara pemilih.
Sejumlah partai bahkan telah bersuara untuk sepakat dengan poin yang diusulkan dalam draf rancangan. Partai-partai papan atas, seperti PDI-P dan Gerindra, menyatakan setuju jika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 5 persen, termasuk pula batas pencalonan presiden yang juga naik di atas 20 persen.
Tujuan
Banyak pihak juga menilai bahwa penetapan ambang batas pemilu sering kali tak relevan dengan tujuan demokrasi dan penyelenggaraan pemilu. Bahkan, perubahan ambang batas partai atau parliamentary threshold maupun presidentialthreshold yang semakin meningkat justru ebih berpotensi merugikan pemilih.
Salah satu tujuan lain dari ambang batas adalah untuk menyederhanakan partai-partai politik yang menjadi kontestan pemilihan. Namun, sejauh ini target untuk menyederhanakan partai tampaknya masih jauh dari yang diharapkan.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sejak diberlakukannya ambang batas parlemen pada Pemilu 2009, partai-partai papan atas yang menjadi pemenang melampaui batas suara tak banyak berubah. Pada 2009, dari 38 partai yang berkontestasi hanya 9 partai yang berhasil mencapai suara 2,5 persen.
Selanjutnya, pada Pemilu 2014 saat ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5 persen, sebanyak 10 dari 12 partai berhasil mendapat kursi parlemen. Sementara pada Pemilihan Legislatif 2019, jumlah partai peserta justru kembali bertambah menjadi 16 partai politik dan sembilan di antaranya lolos parliamentary threshold yang juga naik di angka 4 persen.
Pada Pileg 2019 itu, dari 16 partai yang berkontestasi, sebanyak tujuh partai, yaitu Partai Berkarya (2,09 persen), Perindo (2,67 persen), PSI (1,89 persen), Partai Garuda (0,50 persen), Hanura (1,54), PBB (0,79 persen), dan PKPI (0,22 persen), tidak lolos parliamentary threshold. Jika ditotal, setidaknya ada lebih dari 13,59 juta suara pemilih yang gagal mendapatkan perwakilan di kursi legislatif.
Pemberlakuan ambang batas dalam pemilihan langsung memang acap kali tak efektif untuk menyederhanakan partai dan cenderung membuat banyak suara pemilih yang gagal dikonversi menjadi kursi keterwakilan di legislatif.
Tak jauh berbeda, di sejumlah negara yang memberlakukan ambang batas dalam sistem pemilu, porsi suara yang gagal dikonversi pun juga cukup besar. Pada 2002, di pemilu Turki, misalnya, jumlah suara yang tak dianggap karena gagal melewati ambang batas pemilu di negara itu (10 persen) bahkan mencapai 45 persen dari total suara pemilih.
Di Indonesia, berkurangnya jumlah partai yang berkontestasi pada Pemilu 2014 sempat berhasil menekan jumlah suara yang terbuang dalam pemilu. Pemilihan legislatif ketika itu diikuti 12 partai dan hanya dua partai politik, yaitu PBB dan PKPI yang tak lolos parliamentary threshold. Suara dua partai tersebut, jika ditotal, mencapai tak kurang dari 2,96 juta suara.
Evaluasi
Formasi partai hasil pemilu yang tak banyak bergeming dari setiap periode pemilihan tersebut menunjukkan bahwa tak ada pengaruh signifikan dari pemberlakuan ataupun penambahan besaran ambang batas parlemen. Begitupun saat partai membangun blok koalisi dan menjalan fungsi, baik sebagai partai pemerintah maupun oposisi.
Hasil kajian Pusat Kajian Politik Universtas Indonesia menjelaskan bahwa pemberlakuan ambang batas justru akan semakin mempertajam polarisasi di antara calon presiden yang diusung oleh blok koalisi partai.
Termasuk pula koalisi yang terbangun pascapemilu yang cenderung mengabaikan upaya untuk membangun kekuatan politik berdasarkan ambang batas. Tidak heran jika kemudian koalisi menjadi begitu cair dan hanya mengedepankan kepentingan pragmatis.
Harus diakui pula, penerapan ambang batas dalam sistem kepemiluan di Indonesia masih jauh dari tujuan kematangan demokrasi dan efektivitas pemerintahan. Hilangnya suara pemilih yang gagal terkonversi menjadi kursi perwakilan akibat tak memenuhi ambang batas memang menjadi hal yang selayaknya ditinjau ulang.
Evaluasi secara terhadap UU Pemilu memang penting dilakukan, tentunya dengan tetap didasari pada perspektif pembangunan demokrasi untuk masa mendatang.
Sejatinya ambang batas diberlakukan untuk tujuan demokrasi dan efektivitas pemerintahan, bukan hanya mengakomodasi agenda pragmatis dengan membatasi ruang kontestasi yang jujur dan adil. (LITBANG KOMPAS)