Kereta Solo, Yogyakarta, dan Kecamuk Revolusi
Kehadiran kereta rel listrik relasi Solo-Yogyakarta membuka memori tentang pentingnya akses transportasi kereta di dua kota ini di masa lampau. Sejarah mencatat, jalur ini berperan dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Kehadiran moda transportasi kereta rel listrik relasi Solo-Yogyakarta membuka memori tentang pentingnya akses transportasi kereta di Solo dan Yogyakarta pada masa lampau. Dahulu, jalur kereta di kedua daerah ini memainkan peran yang begitu penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Solo dan Yogyakarta selalu dipandang sebagai jalur strategis dalam rancangan pengembangan moda transportasi sejak zaman Hindia Belanda. Letak wilayah ini yang berada di tengah-tengah Pulau Jawa beserta sejumlah potensi ekonomi yang dimiliki membuka mata pemerintah sejak lebih dari dua abad silam untuk mengembangkan sarana dan prasarana transportasi di wilayah ini.
Adalah Van der Wijk, seorang militer Belanda, yang mengusulkan pembangunan jalur kereta di Pulau Jawa pada Agustus 1840. Jalur kereta dipandang sebagai investasi besar yang akan menguntungkan Pemerintah Belanda. Dalam usulan ini, Surakarta dan Yogyakarta tidak luput sebagai perhatian. Jalur kereta diusulkan membentang mulai dari Surabaya hingga ke Batavia melalui Yogyakarta, Surakarta, dan Bandung.
Gagasan ini sempat menuai pro dan kontra. Penolakan berasal dari sebagian kalangan pemerintahan karena dinilai akan menghabiskan anggaran dari Kerajaan Belanda. Namun, setelah menimbang serangkaian manfaat dari pembangunan rel kereta di Pulau Jawa, Pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan atau Koninklijk Besluit nomor 270 tanggal 28 Mei 1842.
Keputusan ini juga tidak dapat dipisahkan dari kepentingan keamanan mengingat Perang Diponegoro yang baru saja usai pada 1830 sehingga menjadi perhatian bagi pemerintah kolonial.
Namun, gagasan ini gagal terlaksana mengingat kehadiran kereta di Belanda juga baru berjalan selama tiga tahun. Pemerintah kolonial pun belum begitu berpengalaman dalam membangun fasilitas pendukung.
Dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia yang ditulis tim Telaga Bakti Nusantara disebutkan, pada Oktober 1852 pemerintah kolonial mulai memberikan kemudahan kepada pihak swasta untuk memperoleh izin konsesi guna pembangunan sarana transportasi kereta di Pulau Jawa.
Beberapa pihak swasta yang mengajukan izin konsesi saat itu tidak serta-merta disetujui karena belum ada kepastian terkait peta dan data tentang sarana transportasi di Pulau Jawa. Setelah menunggu cukup lama, konsesi akhirnya diberikan oleh pemerintah kolonial kepada beberapa pengusaha pada 1862. Sejumlah pengusaha yang menerima konsesi akhirnya mendirikan perusahaan kereta api swasta.
Permohonan konsesi ini awalnya diajukan oleh W Poolman, A Freser, dan EH Kol untuk pengusahaan jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta. Jalur ini dipilih karena pertimbangan ketiga daerah ini adalah daerah penghasil barang ekspor, seperti tembakau, gula, dan kayu.
Pembangunan dimulai dengan ditandai upacara pemasangan rel di Semarang pada 7 Juni 1864. Setelah melalui proses panjang dan kesulitan keuangan, pada 21 Mei 1873 kereta Semarang-Yogyakarta mulai dioperasikan.
Selain swasta, kereta juga mulai dioperasikan pemerintah kolonial melalui perusahaan yang bernama Staatsspoorwegen (SS). Yogyakarta dan Surakarta juga tidak luput dari perhatian. Pada 1884, misalnya, SS membuka jalur Surabaya-Surakarta melalui Wonokromo dan Sidoarjo. Pada 1887, giliran jalur Yogyakarta-Cilacap yang dibuka untuk memperluas jangkauan wilayah oleh moda transportasi kereta.
Hingga tahun 1894, daerah Batavia dan Surabaya telah terhubung oleh jalur kereta. Namun, saat itu belum terdapat perjalanan langsung. Batavia ke Surabaya dapat ditempuh melalui kereta secara estafet dengan relasi Batavia-Bogor, Bogor-Yogyakarta, dan Yogyakarta-Surakarta. Setibanya di Surakarta, perjalanan harus dilanjutkan dengan kereta api SS hingga ke Surabaya.
Hingga awal abad ke-20, baik pemerintah maupun swasta sama-sama telah mengusahakan sarana dan prasarana kereta api. Pembangunan terus dilanjutkan untuk menjangkau kota-kota lainnya di Pulau Jawa. Hingga tahun 1928, perusahaan kereta api milik pemerintah telah membangun rel kereta api sepanjang 2.900 kilometer (km).
Sementara perusahaan swasta juga telah mengoperasikan rel kereta dengan panjang yang berbeda-beda, seperti Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) sepanjang 126 km dan Semarang-Cirebon Stoomtram Maatschappij (SCS) sepanjang 388 km.
Baca juga : Yogyakarta-Solo, Jalur Sejarah Inovasi Kereta Api
Revolusi
Memasuki periode awal kemerdekaan Indonesia, jalur kereta, khususnya yang melalui Surakarta dan Yogyakarta, masih memainkan peranan yang cukup penting. Sejumlah perjalanan menggunakan kereta dilakukan oleh para tokoh untuk melakukan berbagai pertemuan di kedua kota ini.
Salah satu perjalanan rahasia yang paling penting sekaligus menegangkan adalah pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta. Kondisi keamanan Jakarta yang mengkhawatirkan akibat kedatangan tentara Belanda (NICA) berujung pada pemindahan pusat pemerintahan pada Januari 1946.
Kereta dipilih sebagai moda transportasi untuk mengangkut rombongan Presiden Soekarno karena dinilai lebih aman dibandingkan perjalanan menggunakan mobil. Guna mempersiapkan keberangkatan, saat itu segera dibentuk tim untuk menyediakan kereta yang dibutuhkan.
Rangkaian kereta dipersiapkan dari Stasiun Manggarai dan lokomotif diambil dari Dipo Jatinegara. Rangkaian gerbong kereta yang dipersiapkan adalah kereta khusus yang pernah digunakan oleh pejabat pemerintahan Hindia Belanda. Sementara lokomotif yang digunakan adalah seri C2849.
Segala persiapan dilakukan secara rahasia agar luput dari pengawasan tentara sekutu. Salah satu siasat yang digunakan adalah membawa lokomotif dengan gerakan langsir hingga ke Stasiun Gambir. Taktik ini berhasil membawa lokomotif tiba di Stasiun Manggarai.
Sebanyak delapan gerbong kereta segera dipersiapkan. Rangkaian tersebut terdiri dari 1 gerbong untuk barang, 2 gerbong penumpang kelas 1 dan kelas 2, 1 gerbong makanan, 2 gerbong untuk istirahat, 1 gerbong inspeksi khusus presiden, serta 1 gerbong inspeksi khusus wakil presiden.
Kereta mulai berangkat dari Stasiun Manggarai dan berhenti di sekitar daerah Pegangsaan (pertengahan antara Stasiun Manggarai dan Stasiun Cikini) untuk mengangkut rombongan Soekarno. Setelah itu, kereta mulai berangkat melalui Stasiun Manggarai, Jatinegara, Bekasi, Cikampek, hingga tiba di Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Sejak saat itu, pusat pemerintahan mulai dikendalikan dari Yogyakarta. Hadirnya jalur kereta api ke Yogyakarta turut menjadi jalur penyelamat kondisi bangsa saat itu.
Lain lagi cerita dari Perdana Menteri Sjahrir pada Februari 1946, tepat 75 tahun silam. Saat itu, jalur kereta Yogyakarta dan Solo digunakan sebagai pilihan utama untuk mengangkut rombongan Sjahrir guna menghadiri Konferensi Pamong Praja se-Indonesia yang diselenggarakan di Surakarta.
Rombongan ini terdiri dari sejumlah pejabat negara, wartawan, dan sejumlah tentara keamanan rakyat. Perjalanan dilakukan melalui Stasiun Bekasi, Cikarang, Cirebon, hingga berlanjut ke Stasiun Yogyakarta. Perjalanan kemudian dilanjutkan hingga ke Surakarta untuk menghadiri konferensi wartawan.
Dalam kunjungan ini, kereta menjadi andalan di tengah kecamuk revolusi yang dapat mengancam keselamatan setiap pejabat negara. Penjagaan dilakukan secara ketat demi keamanan perjalanan sejumlah tokoh negara saat itu hingga tiba di Yogyakarta dan Surakarta.
Kereta juga menjadi sarana yang dimanfaatkan oleh Jenderal Sudirman saat hendak melakukan perundingan di Jakarta pada Oktober 1946. Saat itu, Jenderal Sudirman berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta untuk menghadiri perundingan gencatan senjata.
Rombongan Jenderal Sudirman berangkat dari Yogyakarta menggunakan kereta luar biasa. Di sejumlah stasiun, masyarakat telah menanti dan menyambut kedatangan rombongan. Namun, saat itu perjalanan terhenti di Stasiun Bekasi akibat pemeriksaan oleh tentara Belanda.
Jenderal Sudirman diminta untuk menyerahkan senjata sebelum memasuki Jakarta. Sebagai wujud penolakan, perjalanan tidak dilanjutkan dan rombongan kembali ke Yogyakarta. Pertemuan akhirnya dilakukan pada November 1946 dan Jenderal Sudirman disambut oleh pasukan Inggris setibanya di Stasiun Bekasi.
Baca juga : Kereta Rel Listrik, Asa Baru Pelaju Yogya-Solo
Misi lain
Jalur kereta api juga memainkan peranan penting lainnya selama periode revolusi. Menurut catatan Kementerian Perhubungan dalam buku Perkembangan Transportasi di Indonesia dari Masa ke Masa, salah satu pemanfaatan kereta yang tergolong penting saat itu adalah dalam penyebaran Oeang Republik Indonesia (ORI). Saat itu, ORI juga dicetak di percetakan Kanisius Yogyakarta.
Kereta digunakan untuk mendistribusikan uang dari tempat percetakan ke sejumlah daerah yang dilalui oleh kereta api. Pendistribusian dilakukan secara rahasia agar tidak dihalangi oleh tentara sekutu.
Saat terjadi agresi militer Belanda, pada tahun 1948 TNI diharuskan untuk meninggalkan kantong-kantong gerilya, khususnya pada daerah yang telah dikuasai oleh Belanda. Dampaknya, sebagian pasukan dipindahkan ke Yogyakarta.
Saat itu, kereta kembali dimanfaatkan sebagai salah satu transportasi pengangkut. Pasukan TNI dibawa ke daerah yang belum diduduki oleh Belanda sebagai dampak dari disepakatinya perjanjian Renville.
Kereta telah memainkan peranan penting semasa pergolakan, termasuk jalur yang melalui Surakarta dan Yogyakarta. Hingga kini, akses kereta ke wilayah tersebut masih memainkan peranan penting sebagai jalur perekonomian dan pariwisata. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?