Mencermati Kuasa Militer di Myanmar
Demokrasi Myanmar kembali terancam dengan kudeta militer pasca-pelaksanaan pemilu. Peran internasional penting untuk menyelamatkan demokrasi Myanmar dari kooptasi peran politik militer di negeri ini.
Layaknya negara yang pernah mengalami penjajahan, militer menjadi fondasi dari lahir dan tumbuhnya negara Myanmar. Namun, warisan idealisme tokoh militer pendiri Myanmar yang menjunjung demokrasi dan inklusif justru dibuang dan digantikan dengan ambisi personal maupun institusional.
Kudeta yang tengah berlangsung saat ini menjadi bukti nyata, bagaimana pembesar militer Myanmar tak pernah sepenuhnya rela dengan proses demokratisasi yang tengah diperjuangkan selama satu dekade terakhir.
Pada 1 Februari lalu, dunia dikejutkan dengan kudeta yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata Myanmar (Tatmadaw) pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. Di tengah sunyinya malam, demokrasi di negara ini pun tumbang.
Para penggawa demokrasi Myanmar, seperti Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan para petinggi serta politisi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), ditangkap. Tak lama setelah itu, militer pun mengumumkan kepemimpinannya dan menyatakan bahwa Myanmar sedang dalam keadaan darurat.
Langkah ini menjadi pukulan mundur terhadap demokrasi yang tengah berusaha ditumbuhkan di Myanmar. Sejak 2011, militer Myanmar yang lebih dari lima dekade telah berkuasa mulai membuka diri terhadap demokratisasi.
Meski militer tetap diberikan porsi besar atas kontrol sosial, ekonomi, dan politik di Myanmar, masyarakat pun akhirnya perlahan-lahan diberikan tempat dalam laku politik negara tersebut melalui pemilu tahun 2015 dan 2020.
Kudeta menjadi pukulan mundur terhadap demokrasi yang tengah ditumbuhkan di Myanmar.
Kuatnya cengkeraman militer dalam lanskap politik Myanmar tak dapat dilepaskan dari sejarah kemerdekaan negara ini. Sebelum menjadi negara yang merdeka, Myanmar pernah mengalami dua kali masa penjajahan.
Inggris sebagai penjajah pertama di Myanmar datang dan berkuasa pada tahun 1800-an. Saat itu, rezim Dinasti Konbaung dari kerajaan Burma pun runtuh dan seluruh anggotanya dibunuh.
Pembantaian tersebut kemudian menjadikan wihara dan para biksu (Sangha) sebagai satu-satunya institusi adat yang hingga saat ini memiliki pengaruh sangat kuat terhadap jalannya kehidupan dan pemerintahan di negara tersebut.
Namun, kekuasaan Inggris di Myanmar tak selalu berjalan mulus. Mirip dengan cerita Indonesia, selama 1942 sampai 1945, Jepang mengusir Inggris dan menjajah Myanmar.
Saat itu Jepang juga melatih tentara rakyat di Myanmar dengan nama Burma Independence Army (BIA), yang akhirnya berevolusi menjadi Tatmadaw. Pasukan yang dibentuk oleh Jepang ini akhirnya membelot dan memberontak.
Para pendiri BIA ini pun akhirnya menjadi orang-orang berpengaruh yang membantu kemerdekaan Myanmar, salah satunya Aung San, ayah dari pemimpin prodemokrasi Myanmar saat ini, Aung San Suu Kyi.
Setelah merdeka, Myanmar pernah merasakan pemerintahan parlemen yang demokratis. Selama 10 tahun, negara ini menerapkan sistem pemerintahan parlementer yang bahkan juga menghadirkan representasi dari kaum minoritas.
Namun, karena munculnya pemberontakan berbasis etnis, perselisihan antarfaksi, dan semakin menguatnya golongan komunis, PM saat itu U Nu mengundurkan diri dan mengundang Jenderal Ne Win dari militer untuk memimpin pemerintahan sementara hingga pemilu digelar. Untungnya, saat itu sang jenderal memenuhi janjinya dan turun setelah pemilu digelar pada 1960.
Sayang, komitmen Ne Win tak berlangsung lama. Sesaat setelah faksi U Nu (Liga Kebebasan Rakyat Antifasis/AFPFL) yang mendapat banyak dukungan dari Sangha memenangi pemilu 1960, friksi mulai memanas antara Tatmadaw, AFPFL, dan para pemimpin minortias.
Puncaknya, setelah diprovokasi oleh Tatmadaw, Ne Win pun melancarkan kudeta pada 1962. Setelah itu, ia menangkap semua figur politik sipil, membubarkan parlemen dan parlemen daerah, menangguhkan konstitusi, serta membentuk sebuah badan bernama Dewan Revolusi berisikan 17 petinggi militer yang diketuai oleh dirinya sendiri. Dengan begitu, rezim otoritarian di Myanmar pun dimulai.
Untuk melanggengkan kuasanya, Dewan Revolusi besutan militer ini membentuk partai sendiri bernama Partai Program Sosialis Burma (BSPP) pada Juli 1962. Berkiblat pada ideologi Leninisme, partai ini ditujukan untuk menjadi mesin propaganda militer dalam mendoktrinasi masyarakat Myanmar soal sosial, politik, dan ekonomi. Setelah itu, melalui konstitusi baru yang disahkan tahun 1974, BSPP menjadi partai tunggal di Myanmar hingga tahun 1988.
Demokrasi dan militer
Namun, kepemimpinan tangan besi Ne Win lama-kelamaan melemah. Meski dengan perkasa menekan aksi demonstrasi mahasiswa prodemonstrasi sepanjang 1970-an, buruknya situasi ekonomi dan munculnya figur kuat pun akhirnya meruntuhkan rezim militer sosialis Ne Win. Runtuhnya rezim Ne Win ini merupakan ujung dari demonstrasi besar-besaran di Myanmar pada 8 Agustus 1988 atau biasa disebut dengan aksi 8888.
Meski akhirnya rezim Ne Win runtuh, Myanmar tak serta-merta dapat menikmati demokrasi. Bahkan, ujung dari demonstrasi untuk menggulingkan rezim otoriter tersebut justru berbuah kudeta oleh militer yang dipimpin Jenderal Saw Maung yang juga merupakan kaki tangan Ne Win.
Dengan dalih stabilitas nasional, militer Myanmar mengambil alih pemerintahan serta membentuk Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (SLROC) yang berisikan 19 pejabat senior militer. Lembaga ini di kemudian hari berganti nama menjadi Lembaga Perdamaian dan Pembangunan Negara (SPDC) dan berkuasa hingga 2011.
Sebetulnya, sempat diadakan pemilu pada 1990. Saat itu, NLD menang telak dengan perolehan 392 dari 492 kursi parlemen yang diperebutkan. Namun, pihak militer yang tak bisa menerima kekalahan membatalkan hasil pemilu dan menangkap para politisi NLD, termasuk Aung San Suu Kyi. Myanmar pun tak jadi keluar dari cengkeraman junta militer.
Selama militer berkuasa, praktis gerakan demokratisasi di Myanmar beku. Para pejuang demokrasi di negara tersebut pun dibungkam, ditangkap, dan ditahan. Salah satu yang mengalami penahanan ialah Suu Kyi, yang menjalani status tahanan rumah dari tahun 1989 sampai 2010.
Suu Kyi harus rela melepas kepergian suaminya di Inggris, yang meninggal akibat kanker, dari rumahnya di Yangon karena takut tak dapat kembali ke Myanmar apabila melakukan perjalanan ke luar negeri. Perjuangan Suu Kyi pun akhirnya diganjar penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991.
Situasi bagi junta militer berubah di awal tahun 2000-an. Pada 2007 Thein Sein ditunjuk untuk menggantikan Soe Win yang sebelumnya menjabat Ketua SPDC dan Perdana Menteri Myanmar. Berbeda dari para pendahulunya, Thein Sein merupakan seorang yang cenderung moderat dan reformis.
Terlebih lagi, pada 2008 Myanmar dihantam oleh bencana mahadahsyat Siklon Nargis yang menewaskan ratusan ribu warga serta mengakibatkan kerugian sebesar belasan miliar dollar AS. Kombinasi kecenderungan Thein Sein yang reformis serta pelajaran sulitnya bantuan asing masuk di bawah kepemimpinan junta militer membuat Sein sadar akan pentingnya demokratisasi di Myanmar.
Di bawah kepemimpinan Sein, Myanmar melihat secercah harapan demokratisasi. Selama memimpin, ia membebaskan para aktivis politik yang sebelumnya ditahan oleh militer, termasuk Suu Kyi. Selain itu, pemerintahan Sein jugalah yang akhirnya menelurkan konstitusi Myanmar yang hingga kini digunakan melalui referendum tahun 2008.
Meski tetap memberikan porsi sangat besar terhadap militer dalam pos-pos strategis pemerintahan (seperti jaminan 25 persen kursi parlemen dan posisi mendagri), konstitusi ini menjadi payung hukum diselenggarakannya pemilu. Walau belum ideal menurut standar Barat, konstitusi ini paling tidak menjadi langkah awal dalam proses demokratisasi di Myanmar.
Setelah konstitusi, Sein juga menggelar pemilu pertama setelah absen selama lima dekade di negara tersebut pada 2010. Bahkan, untuk mengikuti pemilu tersebut, ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai perdana menteri dan militer Myanmar untuk membentuk partai sendiri bernama Partai Solidaritas Serikat dan Pembangunan (USDP). Melalui pemilu ini, USDP memenangi suara mayoritas dan Thein Sein menjadi presiden sipil pertama di Myanmar setelah lima dekade dipimpin oleh junta militer.
Kudeta demokratisi
Meski telah dibebaskan pada 2010, Aung San Suu Kyi tak langsung kembali ke gelanggang politik. Pada Pemilu 2010, partai NLD yang menaungi Suu Kyi memboikot pemilu tersebut karena ada kader-kadernya yang dilarang untuk berpartisipasi.
Akibat aksi tersebut, NLD pun dicap ilegal oleh Pemerintah Myanmar. Namun, hal ini tak berlangsung lama karena setahun setelahnya NLD mendaftarkan diri lagi sebagai partai politik sebagai persiapan untuk maju ke pemilu berikutnya pada 2015.
Pada 2015, secara mengejutkan NLD memenangi pemilu. Tak tanggung-tanggung, partai ini berhasil menguasai kedua kamar legislatif Myanmar (Pyithu Hluttaw dan Amyotha Hluttaw) dengan perolehan masing-masing berkisar di angka 60 persen. Meski begitu, kemenangan NLD saat itu tak serta-merta mengantarkan Suu Kyi sebagai tokoh sentral partai tersebut sebagai presiden.
Hal ini karena ada klausul dalam konstitusi 2008 yang menyebutkan bahwa mereka yang memiliki suami berkebangsaan lain tak boleh menjadi presiden. Setidaknya, berbeda dengan pemilu 1990, kali ini pihak militer Myanmar menerima hasil pemilu dan menghargai keputusan parlemen yang memilih Htin Kyaw sebagai presiden ke-9 Myanmar.
Namun, bukan berarti juga Suu Kyi kemudian tersingkir dari pemerintahan. Walau tak bisa menjabat presiden, Suu Kyi kemudian diangkat menjadi penasihat negara yang setara dengan jabatan kepala negara. Walakin, meski ia tak memiliki kekuatan eksekutif untuk membuat keputusan, semua orang tahu bahwa Aung San Suu Kyi-lah yang menjadi pemimpin de facto Myanmar.
Makin kuatnya pengaruh NLD kembali terbukti dengan hasil pemilu Myanmar pada 2020. Pada pemilu ini, NLD berhasil meraih 346 kursi atau setara dengan 83 persen kursi yang tersedia di parlemen. Sementara partai USDP yang dekat dengan militer hanya mendapat 33 dari 476 kursi parlemen. Tak ayal, hasil pemilu ini pun menjadi tamparan keras bagi faksi militer bahwa mereka kini mulai ditinggalkan rakyat.
Hasil pemilu yang dramatis inilah yang kemudian dipakai sebagai dalih oleh militer Myanmar untuk melakukan kudeta. Militer berkeyakinan, pemilu 2020 dipenuhi oleh kecurangan dan menuntut KPU Myanmar untuk membuka data pemilih.
KPU Myanmar yang yakin bahwa tak ada kecurangan yang memengaruhi hasil pemilu pun menolak permintaan militer. Atas dasar penolakan tersebut, panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing menepati ucapannya untuk melakukan kudeta.
Berkaca dari sejarah Myanmar, melihat kudeta kali ini bak merasakan de javu. Sama dengan kudeta tahun 1962 dan 1990, keadaan darurat negara dengan alasan yang dibuat-buat selalu menjadi dalih pengambilan kekuasaan paksa oleh militer Myanmar.
Padahal, sejatinya kudeta dilancarkan karena kegalauan pihak militer yang kalut karena mulai kehilangan legitimasi politik. Maka, tak berlebihan apabila banyak yang berspekulasi bahwa kudeta inilah yang membunuh demokrasi yang entah sampai kapan akan tumbuh lagi di Myanmar.
Sekarang, tak ada yang tahu bagaimana angin akan berembus di Myanmar. Pihak militer memang berjanji akan menyelenggarakan pemilu di akhir masa pemerintahan darurat. Namun, apabila berkaca dari sejarah negara ini, janji pemilu pascakudeta hanya manis di mulut saja.
Sulit bagi rakyat Myanmar apabila berharap akan ada itikad baik dari pemerintahan junta militer. Akhirnya, hanya tekanan internasional-lah yang mungkin dapat menyelamatkan nasib Myanmar kali ini. (LITBANG KOMPAS)