HIngga 3 Februari 2021, kasus harian Covid-19 tercatat mencapai rata-rata 12.700 orang. Angka tersebut dua kali lipat dibandingkan pertengahan Desember dan tiga kali lipat dibandingkan enam bulan sebelumnya.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·4 menit baca
Tingginya tingkat penularan Covid-19 dan penurunan kemampuan sarana kesehatan menangani pasien membuat capaian penanganan pandemi Indonesia relatif terpuruk. Presiden Joko Widodo sudah menyatakan ketidakefektifan pembatasan kegiatan masyarakat selama ini.
Sampai dengan 3 Februari 2021, kasus harian Covid-19 tercatat mencapai rata-rata 12.700 orang. Angka tersebut dua kali lipat dibandingkan dengan pertengahan Desember dan tiga kali lipat dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya.
Artinya, saat ini kondisi penularan Covid-19 nasional telah menanjak tinggi dibandingkan dengan enam bulan terakhir. Pemerintah sudah menerapkan langkah pembatasan kegiatan, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Pada Mei 2020, cuti bersama Idul Fitri dicabut dan digeser ke akhir tahun. Namun, pada Desember 2020, jumlah hari libur masih dikenakan pemangkasan hari.
Berikutnya, diterapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Awal 2021, langkah itu dilanjutkan dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Keduanya memiliki esensi yang sama, pembatasan kegiatan masyarakat.
DKI Jakarta sebagai salah satu daerah zona merah sudah menerapkan dua kali PSBB, yakni pada 10 April-4 Juni 2020 dan pada 14 September-11 Oktober 2020. Pembatasan tersebut bagian dari PSBB Jawa-Bali.
Meski sudah menerapkan dua kali PSBB, Ibu Kota masih memiliki jumlah kasus positif yang tinggi. Jumlah kasus baru meningkat dari 200 orang per hari pada akhir Juni 2020 menjadi sekitar 3.700 orang per hari pada akhir Januari 2021.
Sebaran kasus Covid-19 kini sudah mencakup pelosok timur Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Pada masa awal pandemi, daerah-daerah itu terpantau nihil kasus.
Menyikapi kenaikan kasus Covid-19 ini, sejumlah epidemiolog menyoroti ketidakefektifan pembatasan kegiatan masyarakat di berbagai wilayah. Ketidakefektifan ini terutama terkait masih terbukanya celah penularan melalui berbagai kegiatan dan perilaku warga.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Bayu Satria Wiratama, MPH, menilai PPKM seharusnya tak sekadar memperpendek jam operasional dan mengurangi kapasitas. PPKM juga mencegah masyarakat bermobilitas atau beraktivitas. Tak hanya pusat perbelanjaan/mal dan restoran yang menjadi fokus, tetapi juga sarana-sarana yang memungkinkan warga berinteraksi.
”Percuma kalau mobilitas ke tempat lain, seperti rumah teman dan taman, tidak dicegah karena masih ada interaksi satu sama lain,” kata Bayu Satria (ugm.ac.id, 26/1/2021).
Motif warga
Tak bisa dimungkiri, beberapa bulan terakhir mobilitas masyarakat semakin tinggi dibandingkan dengan masa penerapan PSBB di Pulau Jawa-Bali, April dan September 2020.
Kian sedikit kawasan permukiman menerapkan kewaspadaan atau karantina wilayah (lockdown), sebagaimana banyak terjadi di medio 2020. Padahal, penularan dan angka mortalitas Covid-19 pada saat ini justru lebih parah daripada saat itu.
Rangkaian jajak pendapat yang dilangsungkan Litbang Kompas menengarai ada kesenjangan antara tuntutan pembatasan dan perilaku mobilitas keseharian warga. Ketidaksiapan publik untuk menjalani pembatasan mobilitas terekam dalam sejumlah aspek perilaku.
Dalam aspek pekerjaan, cukup besar bagian responden yang menyatakan kurang siap dengan penerapan pembatasan. Lebih dari sepertiga bagian responden (36,9 persen) dalam jajak pendapat Juni 2020 menyatakan tetap berangkat bekerja di luar rumah seperti biasa.
Hal ini terjadi karena bekerja dari rumah dianggap tidak efektif (54,5 persen) dan ada keterbatasan fasilitas kerja di rumah (35,6 persen). Ada pula persoalan naiknya pengeluaran biaya listrik (15,7 persen) dan sulitnya melakukan koordinasi/monitoring pekerjaan (10,9 persen).
Dalam aspek kegiatan sosial terlihat bahwa publik tak cukup mampu membatasi aktivitas keseharian yang berisiko. Pada jajak pendapat Juli-Agustus 2020 terekam bahwa aktivitas belanja ke pasar mencakup mayoritas responden (71,8 persen), kemudian kegiatan ibadah di luar rumah juga mencakup proporsi cukup signifikan.
Bahkan, melayat dan menghadiri acara pernikahan juga mencakup proporsi cukup besar. Lebih dari separuh responden menyatakan mau tak mau akan menghadirinya. Padahal, melayat pada masa pandemi seharusnya sebisa mungkin dihindari karena berpotensi mengundang kerumunan.
Meski berbagai kasus kematian akibat tertular Covid-19 di kerumunan jelas terjadi, sebagian warga tidak mengurangi mobilitas. Jajak pendapat merekam keinginan sepertiga lebih bagian responden yang ingin berwisata ke luar kota. Hal itu terbukti dari kondisi kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, yang kembali macet oleh kendaraan pelancong di setiap akhir pekan.
Kondisi tersebut mencerminkan kesenjangan antara mobilitas yang seharusnya dikurangi di masa pandemi dan kenyataan berbagai kegiatan yang masih dilakukan warga.
Disiplin sosial
Terlepas dari berbagai argumentasi soal penerapan kebijakan karantina penuh atau karantina sebagian seperti sekarang, benang merah yang bisa ditarik ialah tingkat kepatuhan dan disiplin warga masih sangat kurang.
Kini pemerintah mulai memajukan rumusan karantina terbatas mandiri di tingkat wilayah yang lebih mikro (RT/RW) dengan berlandaskan pada aturan PPKM. Dasar pemikirannya, warga yang merupakan orang tanpa gejala Covid-19 bisa berdisiplin isolasi di rumah selain mengurangi mobilitas warga.
Namun, sejumlah epidemiolog berpandangan, karantina di tingkat makro (pulau atau provinsi) tetap diperlukan karena skala penularan sekarang sudah masif.
Apa pun langkah yang akan diambil, tanpa konsistensi dalam pelaksanaan karantina dan kedisiplinan-kepatuhan warga masyarakat, rasanya akan sulit mengembalikan penularan Covid-19 ke tingkat aman. Pada akhirnya, semua elemen pemerintah dan masyarakat harus berperilaku disiplin serta konsisten untuk memerangi wabah penyakit yang mematikan ini.