Menimbang Efektivitas Jam Malam Pembatasan Sosial
Mobilitas masyarakat di siang hari, khususnya aktivitas pekerja komuter dan sirkuler, mungkin jauh lebih penting dipertimbangkan untuk mengendalikan laju kasus Covid-19 secara lebih efektif.
Peningkatan kasus Covid-19 yang tinggi masih terjadi di sejumlah negara yang menerapkan jam malam. Sejauh manakah pemberlakuan jam malam efektif untuk mencegah penularan Covid-19?
Data kasus harian dan kumulatif Covid-19 dari sejumlah negara yang dipublikasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan peningkatan kasus Covid-19 tetap terjadi di negara-negara yang telah menerapkan jam malam untuk membatasi mobilitas warga.
Perancis, misalnya, mengganti kebijakan karantina wilayah (lockdown) dengan jam malam mulai pukul 20.00 waktu setempat sejak pertengahan Desember 2020. Namun, kasus Covid-19 harian di negara itu tetap menunjukkan tren meningkat.
Pada 16 Desember 2020, Perancis mencatat 11.481 kasus harian. Sebulan kemudian pada 15 Januari 2021 ada 20.872 kasus harian dan 2,8 juta kasus kumulatif.
Mulai 16 Januari 2021, jam malam diperketat mulai pukul 18.00 waktu setempat. Akan tetapi, pada 1 Februari masih ada 19.235 kasus baru dan tren kumulatif Covid-19 naik menjadi 3,15 juta kasus.
Hal serupa terjadi di Spanyol. Pada 15 Januari, paling tidak ada 15 kota di negara itu yang mengumumkan pemberlakuan jam malam. Jam malam itu dimulai pukul 22.00 atau 23.00 hingga pukul 06.00 waktu setempat.
Hasilnya, pada 15 Januari ada 37.377 kasus harian Covid-19 di negara itu, kemudian menyentuh hampir 40.000 kasus pada 24 Januari dan secara kumulatif meningkat 50 persen sepanjang awal tahun ini.
Inggris juga pernah menerapkan jam malam saat pandemi Covid-19 ketika pada 27 September 2020 tercatat ada penambahan 6.041 kasus harian. Namun, tren kasus juga terus meningkat dan ada lebih dari 21.000 kasus baru Covid-19 di Inggris per 1 Februari.
Inggris, Perancis, dan Spanyol juga tercatat sebagai tiga negara dengan kasus pandemi tinggi. Ketiga negara itu masih masuk dalam daftar 10 besar negara pandemi.
Pembatasan kegiatan
Seperti sejumlah negara lain, Indonesia juga menerapkan strategi jam malam pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) periode I. Pembatasan yang dimulai 11 Januari dan berakhir 25 Januari diberlakukan di tujuh provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Namun, pembatasan aktivitas masyarakat yang berlangsung mulai pukul 19.00 hingga pukul 05.00 pada PPKM periode I ini belum mampu menekan laju kasus Covid-19. Jika membandingkan dua titik waktu, yakni data kasus aktif pada awal penerapan PPKM periode I dengan kondisi pada 31 Januari, hanya ada satu provinsi yang mencatat penurunan angka kasus aktif, yaitu Jawa Barat.
Adapun sejak akhir PPKM I hingga 31 Januari, tiga dari tujuh provinsi masih mencatat peningkatan kasus aktif Covid-19. Melihat data yang ada, tidaklah mengherankan jika pemerintah kemudian memutuskan memperpanjang PPKM hingga 8 Februari.
Akan tetapi, perpanjangan PPKM ini menyisakan pertanyaan. Seperti di sejumlah negara lain, pemberlakuan jam malam di Indonesia juga belum bisa menekan laju penambahan kasus baru dan kasus aktif Covid-19.
Studi yang dilakukan sejumlah ahli sejauh ini belum bisa memberikan kesimpulan adanya korelasi yang cukup kuat antara pemberlakuan jam malam dan penurunan laju kasus Covid-19.
Studi Kaiuyan Shun dan koleganya dalam keanggotaan pascadoktoral National Institute of Health Amerika Serikat yang dipublikasi majalah Science, 15 Januari 2021, menunjukkan keraguan efektivitas pemberlakuan jam malam.
Analisis data dari Provinsi Hunan di China pada awal pandemi Covid-19 itu malah menunjukkan penerapan jam malam dan tindakan karantina memiliki efek paradoks. Pembatasan itu mengurangi penyebaran di dalam komunitas, tetapi meningkatkan risiko infeksi di dalam rumah tangga.
Masdalina Pane, salah seorang pakar dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), juga pernah meragukan efektivitas jam malam tersebut. Ia tidak yakin kebijakan itu akan mampu menurunkan kasus Covid-19 mengingat aktivitas masyarakat justru banyak dilakukan pada pagi dan siang hari (Kompas.com, 31/8/2020).
Baca juga : Kapasitas Ruang Rawat Intensif Penuh, Angka Kematian di Sleman Melonjak
Indonesia sejauh ini berhadapan dengan kondisi serupa. Indonesia berhadapan dengan tingginya mobilitas penduduk di siang hari, khususnya di wilayah Jawa yang menjadi wilayah berpenduduk terpadat di Indonesia.
Salah satu penyebab tinggi kondisi itu adalah faktor pekerjaan. Kalangan pekerja ini, merujuk definisi Badan Pusat Statistik (BPS), dikategorikan sebagai pekerja komuter dan pekerja sirkuler.
Pekerja komuter melakukan perjalanan rutin untuk tujuan bekerja. Tempat tinggal para pekerja ini berbeda kabupaten atau kota dengan tempat mereka bekerja. Meski demikian, para pekerja komuter ini melakukan aktivitas pergi dan pulang kerja rutin setiap hari.
Konsep yang sedikit berbeda masuk dalam kategori pekerja sirkuler. Kelompok pekerja ini juga melakukan perjalanan rutin untuk bekerja ke daerah yang berbeda kabupaten/kota dengan tempat tinggalnya.
Namun, mereka pergi dan pulang kerja dengan rentang waktu lebih panjang. Pekerja sirkuler bisa seminggu sekali pulang ke rumah, atau setiap satu atau beberapa bulan sekali, dengan rentang waktu paling lama enam bulan.
Mobilitas
Data termutakhir dari BPS yang dipublikasikan tahun 2019 menunjukkan, Pulau Jawa menjadi pusat mobilitas penduduk tertinggi di Indonesia. Dari total sekitar 8,6 juta populasi pekerja komuter, lebih dari tiga perempatnya ada di Pulau Jawa. Adapun populasi pekerja sirkuler di Jawa mencapai 73 persen dari total 2,7 juta pekerja di kelompok tersebut secara nasional.
Pola yang ada juga menunjukkan keterkaitan pergerakan pekerja di sejumlah provinsi. Sebagian pekerja di wilayah Jawa Barat, seperti Kota dan Kabupaten Bogor, Kota dan Kabupaten Bekasi, serta Kota Depok, bekerja di DKI Jakarta. Mereka berstatus sebagai pekerja komuter atau pekerja sirkuler yang pergi dan pulang pada periode waktu tertentu.
Hal ini dapat menjelaskan mengapa kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta mencatat angka tertinggi secara nasional meski populasi pekerja komuter dan sirkuler paling banyak berada di wilayah Jawa Barat.
Penambahan kasus Covid-19 akibat mobilitas penduduk juga sejalan dengan studi Xiaoyan Mu dan koleganya dari University of Hong Kong dan Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat, September 2020.
Baca juga : Berpotensi Ganggu Ekonomi, Batang Modifikasi ”Jateng di Rumah Saja”
Studi mereka pada libur panjang Imlek di China tahun 2020 menunjukkan dua fakta temuan yang penting. Pertama, pembatasan pergerakan penduduk antarkota dapat menekan hingga 70 persen peluang risiko penularan Covid-19. Sementara itu, pembatasan mobilitas penduduk di dalam kota dapat menekan risiko yang sama hingga 40 persen.
Data yang ada dan temuan dari studi itu boleh jadi bisa menjelaskan alasan di balik efek pemberlakuan jam malam terhadap penambahan kasus Covid-19. Mobilitas masyarakat di siang hari, khususnya aktivitas pekerja komuter dan sirkuler, mungkin jauh lebih penting dipertimbangkan untuk mengendalikan laju kasus Covid-19 secara lebih efektif.
(LITBANG KOMPAS)