Kerentanan Perselisihan Hasil Pilkada
Hasil pilkada rentan untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Karena itu, publik berharap pada keputusan Mahkamah Konstitusi agar tetap menegakkan tujuan pemilu yang jujur dan adil.
Hasil pemilihan kepala daerah atau pilkada tidak pernah sepi dari perselisihan. Perubahan regulasi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi semakin memberikan peluang pada hasil pilkada untuk diajukan dalam permohonan perselisihan hasil.
Dinamika permohonan perselisihan pilkada tercatat dari data Mahkamah Konstitusi. Sampai dimulainya sidang terkait perselisihan hasil pilkada pada 26 Januari, tercatat ada 132 permohonan perselisihan hasil yang diajukan ke MK.
Jumlah ini menyusut sedikit dibandingkan dengan permohonan yang masuk yang mencapai 136 permohonan. Jika dibandingkan pilkada 2015, angka ini memang sedikit berkurang karena di pilkada lima tahun silam ada 152 permohonan perselisihan.
Meskipun demikian, peluang mengajukan permohonan perselisihan di pilkada tahun ini relatif lebih terbuka karena adanya perubahan regulasi dari MK. Ini terkait dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 yang menjadi PMK terbaru untuk penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tahun 2020. Perubahan dalam PMK itu jika dibandingkan dengan PMK sebelumnya, terutama terkait penerapan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dimana syarat pengajuan gugatan hasil sengketa pilkada ke MK harus berkisar memiliki selisih suara antara 0,5 persen dan 2 persen.
Di PMK sebelumnya, selisih suara menentukan suatu perkara layak diteruskan atau tidak ditentukan di awal sidang pemeriksaan pendahuluan. Hal ini membuat banyak permohonan di MK gugur setelah selisih suara tidak sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 158 di atas.
Di PMK terbaru, penerapan Pasal 158 baru akan diputuskan di akhir. Hal ini dilakukan setelah majelis hakim konstitusi memeriksa perkara yang masuk, kemudian mencari bukti-bukti dan menggali keterangan terkait kebenaran dari hasil pemilihan.
Perubahan regulasi terkait putusan MK tentang Pasal 158 tersebut membuat permohonan perselisihan pada 2020 naik sekitar 42,9 persen dibandingkan dengan permohonan perselisihan pilkada pada 2018. Ada indikasi pemohon perselisihan berharap peluang MK membatalkan rekapitulasi suara yang diajukan agar kesempatan menang masih terbuka. Tentu, bukti-bukti yang diajukan dan saksi yang dihadirkan akan menjadi pedoman bagi majelis hakim untuk memutuskan perkara tersebut.
Pada 1-2 Februari ini, agenda sidang perselisihan pilkada adalah mendengarkan keterangan saksi dan atau ahli pemohon, termohon, pihak terkait, dan pemberi keterangan. Setiap pihak berhak menghadirkan lima saksi dan satu ahli dalam persidangan.
Baca juga: Banyak Gugatan Pilkada di MK, KPU: Bentuk Kematangan Demokrasi
Baca juga: Pilkada Tuntas, Calon yang Kalah Ramai-ramai Menggugat ke MK
Sebanyak 132 permohonan perselisihan yang disidangkan tahun ini berasal dari 115 pilkada. Persisnya terdiri dari 13 pilkada kota, 96 pilkada kabupaten, dan 6 pilkada provinsi. Artinya, dari 270 pilkada yang digelar pada 2020, ada 155 pilkada yang tak diwarnai permohonan perselisihan. Terhadap 155 pilkada ini KPU bisa langsung melanjutkan ke tahapan selanjutnya, yakni menetapkan pasangan calon terpilih berdasarkan rekapitulasi akhir perolehan suara.
Sementara itu, terhadap 115 pilkada yang sedang digugat di MK, KPU harus menghadapi gugatan itu dan penetapan pasangan calon terpilih harus menunggu hasil sidang MK.
Ramai gugatan
Jika melihat jumlah permohonan perselisihan yang masuk, paling banyak berasal dari dua pilkada di Papua, yakni Mamberamo Raya dan Nabire, dengan masing-masing tiga permohonan.
Hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Mamberamo Raya pada 16 Desember 2020 menetapkan pasangan John Tabo-Ever Mudumi sebagai pemenang dengan 8.577 suara. Perolehan suara terbanyak kedua ialah pasangan Robby Wilson Rumansara-Lukas Jantje Puni (6.015 suara), menyusul pasangan Kristian Wanimbo-Yonas Tasti (5.615 suara). Sementara pasangan Dorinus Dosinapa-Andris Paris Yosafat Maay memperoleh suara 4.929 suara.
Dari hasil rekapitulasi suara ini, ada saksi dari tiga kandidat yang perolehan suaranya di bawah peraih suara terbanyak pertama mengajukan perselisihan ke MK. Padahal, jika melihat selisih ketiga pasangan calon ini dengan peraih suara terbanyak, jauh melampaui syarat yang ditentukan di Pasal 158. Perolehan suara pasangan Robby-Lukas terpaut 10,2 persen dari perolehan suara pasangan John Tabo-Ever Mudumi. Perolehan suara pasangan Kristian-Yonas terpaut 11,8 persen. Perolehan suara pasangan Dorius-Andris terpaut 14,5 persen.
Hal yang sama juga terjadi di Nabire. Sebelumnya KPU Kabupaten Nabire menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada Nabire pada 17 Desember 2020. Pada rekapitulasi tersebut dinyatakan peraih suara terbanyak adalah pasangan Mesak Magai-Ismail Djamaludin dengan 61.729 suara. Disusul pasangan Yufinia Mote-Muhammad Darwis dengan 61.423 suara dan pasangan Fransiscus Xaverius-Tabroni bin M Cahya 46.224 suara
Jika mengacu pada selisih suara, hanya pasangan Yufinia-Darwis yang selisihnya tipis dengan peraih suara terbanyak, yakni 0,2 persen. Sementara selisih suara pasangan Fransiscus-Tabroni mencapai 9,2 persen.
Namun, pengajuan permohonan perselisihan ini tidak selamanya hanya mengacu pada selisih suara semata. Hal ini yang mendasari mengapa MK memutuskan persoalan selisih suara ini tidak lagi di awal saat menerima permohonan, tetapi di akhir.
Dari ilustrasi kasus yang ada di Nabire dan Mamberamo Raya, pada akhirnya bisa ditarik benang merah bahwa dalil-dalil permohonan yang diajukan pemohon ke MK tidak selamanya mengacu pada selisih suara semata.
Dalil bervariasi
Lembaga riset independen Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif menyebutkan ada bermacam dalil permohonan yang diajukan pemohon dalam perselisihan pilkada tahun ini. Di antaranya terkait munculnya banyak isu hoaks. Ini, antara lain, terlihat dalam permohonan perselisihan pada Pilkada Sumatera Barat, Pilkada Kalimantan Tengah, Pilkada Kota Surabaya, dan Pilkada Kabupaten Banyuwangi.
Selain hoaks, Pilkada 2020 juga diwarnai black campaign atau kampanye hitam yang berujung ke MK. Ini bisa ditemui pada dalil dalam Permohonan No 60/PHP.BUPXIX/2021 di Pilkada Kabupaten Kuantan Singingi.
Selain itu, muncul pula gejala instrumen penegakan hukum yang diduga dipakai untuk memengaruhi hasil pilkada. Hal ini terjadi di Pilkada Sumatera Barat. Berdasarkan permohonan No.128/PHP.GUB-XIX/2021, di mana kandidat ditetapkan sebagai tersangka lima hari sebelum hari pemungutan suara. Namun, penyidikan lalu dihentikan dengan dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada dua hari setelah pemungutan suara. Instrumen ini menjadi dasar pengajuan permohonan perselisihan tersebut.
Dari catatan-catatan ini tampak hasil pilkada rentan untuk dibawa ke MK. Pada akhirnya publik berharap keputusan MK tetap bertujuan menegakkan tujuan pemilu yang jujur dan adil.
(Litbang Kompas)