Sudah saatnya Kalsel mengembangkan ekonomi potensial dan berkelanjutan untuk mengurangi risiko bencana alam. Ada tiga industri yang dapat meningkatkan perekonomian Kalsel, yaitu perikanan, agroindustri, dan pariwisata.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·4 menit baca
Wilayah Kalimantan Selatan memiliki tingkat risiko bencana yang tergolong tinggi. Tumpuan pembangunan dari sektor primer sudah saatnya diimbangi dengan kegiatan ekonomi berkelanjutan.
Tingginya risiko bencana di Kalimantan Selatan tergambar dari publikasi Indeks Risiko Bencana Indonesia 2018 yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Dalam pengukuran tersebut, Kalsel memiliki indeks risiko 145,21. Skor indeks ini masuk dalam kategori tinggi dan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tetangganya, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Tingkat kebencanaan dinilai berdasarkan komponen penyusunnya, yaitu dari sisi bahaya, keterpaparan, serta kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Aspek bahaya, misalnya, dilihat dari fenomena alam yang dapat menyebabkan bencana.
Data yang dihimpun BPS Kalsel memperkuat ancaman kejadian bencana. Tiga bencana yang paling banyak terjadi pada 2019 ialah kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, serta kekeringan. Bencana kebakaran hutan dan lahan paling sering muncul, yaitu 353 kasus, merata di 13 kota/kabupaten yang terdapat di Kalsel.
Ancaman lain juga mengincar. Sebagian besar wilayah provinsi ini termasuk dalam dataran rendah, terutama di kawasan barat dan pantai timur. Padahal, daerah ini mempunyai banyak sungai yang memiliki hulu di Pegunungan Meratus. Salah satu sungai besar yang melewati wilayah Kalsel ialah Sungai Barito.
Kalsel pun menjadi daerah rawan banjir. Sepanjang 2019, terdapat 66 kejadian banjir yang merendam 215 desa di 10 kabupaten/kota. Desa yang paling banyak mengalami banjir terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah.
Awal 2021, bencana banjir besar kembali melanda Kalsel. Sejak 12 Januari, air merendam 11 kabupaten/kota. Korban terdampak banjir mencapai 712.129 jiwa dengan sedikitnya 24 orang meninggal dan 3 warga hilang. Banjir juga menggenangi 46.235 hektar sawah.
Darurat ekologis
Banjir besar membuat Gubernur Kalsel Sahbirin Noor menetapkan status tanggap darurat bencana. Keputusan itu diambil setelah melihat luasnya sebaran wilayah bencana banjir. Penetapan status darurat setidaknya dapat dilihat dari dua aspek kebencanaan.
Pertama, dari sisi keterpaparan wilayah. Situasi darurat banjir terjadi di 80 persen wilayah kabupaten/kota. Hal ini sejalan dengan hasil pengukuran yang menyebutkan terdapat tujuh kabupaten/kota di Kalsel yang memiliki tingkat risiko bencana dalam kategori tinggi.
Faktor kedua dari sisi lingkungan. Hampir meratanya banjir di seluruh wilayah provinsi dapat menjadi gambaran kondisi darurat ekologis di Kalsel. Banjir terjadi karena curah hujan yang tinggi, tetapi juga karena volume air hujan tidak diimbangi dengan ketersediaan daerah resapan yang baik.
Kualitas daerah resapan dan saluran air yang berkurang bisa dibuktikan dengan data berkurangnya daerah resapan air di Kalsel. Pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan berkurangnya luas hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Wilayah Kalsel sebesar 62,8 persen selama tiga dekade. Pada 1990, luas hutan di DAS Barito Kalsel 803.104 hektar dan telah ditebang habis sehingga tersisa 333.149 hektar pada 2019.
Demikian pula dengan berkurangnya luas tutupan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat laju deforestasi di Kalsel mencapai 14.368 hektar hanya dalam setahun belakangan. Hutan produksi tetap mengalami paling banyak deforestasi. Kawasan ini umumnya diperuntukkan bagi pemanfaatan hasil hutan kayu.
Alternatif
Mencermati data produk domestik regional bruto (PDRB) sepanjang 2015-2019, postur ekonomi di Kalsel masih didominasi sektor pertambangan (18,7 persen), pertanian (14,3 persen), dan industri pengolahan (13,6 persen). Kegiatan pertambangan yang banyak diusahakan di Kalsel adalah batubara.
Data Kementerian ESDM menunjukkan, sumber daya batubara di Kalsel pada 2019 mencapai 17,4 miliar ton. Kekayaan batubara Kalsel merupakan terbanyak ketiga di Indonesia setelah Kalimantan Timur serta Sumatera Selatan.
Di sektor pertanian, komoditas perkebunan dengan luas tanam paling besar pada 2019 ialah kelapa sawit dan karet. Luas tanam kelapa sawit mencapai 424.932 hektar dengan produksi 1.110.372 ton. Tanaman kelapa sawit banyak terdapat di wilayah Hulu Sungai Utara dan Tabalong.
Tanaman sawit juga menjadi komoditas unggulan ekspor kedua setelah batubara. Industri pengolahan makanan dan minuman berupa produk minyak kelapa sawit juga menjadi penopang utama sektor industri pengolahan di Kalsel.
Corak ekonomi primer Kalsel menghadapi tantangan lain berupa penurunan kualitas lingkungan. Kegiatan tambang dan perkebunan tanpa pengendalian dan pemulihan dapat berdampak buruk pada kualitas ekosistem alam. Salah satunya telantarnya lahan bekas tambang.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memantau setidaknya terdapat 3.092 lubang batubara yang belum direhabilitasi hingga 2018. Kalsel merupakan provinsi terbanyak kedua yang memiliki jumlah titik bekas tambang terbanyak, yaitu 814 lubang.
Sudah saatnya Kalsel mengembangkan ekonomi potensial dan berkelanjutan untuk mengurangi potensi bencana alam. Kajian ekonomi regional PDRB Kalimantan yang dilakukan Bank Indonesia mencermati ada tiga industri yang berpotensial kompetitif untuk bisa meningkatkan perekonomian Kalsel, yaitu industri perikanan (udang), agroindustri, dan pariwisata.
Pengembangan sumber-sumber ekonomi baru ini dapat dilakukan beriringan dengan peningkatan nilai tambah komoditas yang sudah ada. Hilirisasi batubara merupakan salah satu cara untuk memberikan nilai tambah pada komoditas batubara. Batubara dapat diolah menjadi sumber energi baru, seperti liquid coal, coal gas, dan amoniak.
Harapannya, tidak banyak lagi kegiatan ekonomi yang semakin menguras kualitas lingkungan dan mengorbankan keberadaan hutan di Kalsel. Dengan pemulihan lahan-lahan kritis di daerah aliran sungai, reboisasi hutan, dan rehabilitasi lubang bekas tambang, beban risiko bencana akan dapat dikurangi di ”Bumi Lambung Mangkurat”. (LITBANG KOMPAS)