Kudus, Kretek, dan Gerakan Sosial
Gerakan pengusaha dan perkembangan bisnis di semakin mengukuhkan dominasi Kudus sebagai kota kretek. Hingga kini, lebih dari satu abad berselang, Kudus kian sulit dilepaskan dari tembakau.
Kian digemarinya tembakau di tengah-tengah masyarakat pada periode kolonial turut berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi di sejumlah wilayah. Kota-kota industri jamak bermunculan, salah satunya adalah Kudus yang hingga kini dikenal sebagai kota kretek.
Sejak abad ke-19, tembakau mulai menjadi kebutuhan primer bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini turut berbanding lurus dengan pemanfaatan tembakau sebagai komoditas bisnis. Perkebunan tembakau rakyat hingga perusahaan pengolahan tembakau perlahan mulai bermunculan, baik yang dimiliki oleh pribumi maupun investor asing.
Prospek bisnis ini juga tidak dapat dilepaskan oleh kebiasaan masyarakat saat itu untuk mengonsumsi tembakau dengan cengkeh. Tanaman cengkeh dari Indonesia timur, selain berhasil memancing kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia pada abad ke-16 dan abad ke-17, juga menjadi daya tarik bagi masyarakat Jawa. Jejak konsumsi tembakau dan cengkeh ini sudah ditemukan sejak sekitar abad ke-17. Namun, saat itu kebiasaan ini belum dimanfaatkan sebagai celah bisnis.
Menurut catatan Lance Castles, dalam buku Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (1982), perkembangan tembakau dan cengkeh sebagai komoditas bisnis tidak bisa dilepaskan dari wilayah Kudus. Dari sinilah istilah kretek muncul hingga kemudian melembaga dan melekat pada daerah Kudus.
Titik persinggungan antara Kudus dan kretek tidak terlepas dari sosok Haji Djamhari yang menderita penyakit dada pada abad ke-19. Untuk mengobatinya, Djamhari menggunakan cengkeh yang dicampur dengan tembakau. Caranya, cengkeh dirajang hingga halus dan dicampurkan dengan tembakau. Hasil campuran ini kemudian dibakar agar menghasilkan asap. Dengan cara ini, Djamhari merasakan kondisinya lebih membaik.
Cara ini kemudian dipopulerkan oleh Djamhari kepada koleganya sekitar tahun 1870-an. Di luar dugaan, permintaan campuran cengkeh dan tembakau meningkat hingga akhirnya Djamhari membuat dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi pesanan. Sejak saat itu, pengolahan tembakau dan kretek semakin banyak tersebar di Kudus dan beberapa wilayah lainnya.
Olahan tembakau dan cengkeh ini pertama kali disebut sebagai rokok cengkeh oleh masyarakat. Namun, saat dihisap rokok ini mengeluarkan bunyi ”kretek” seperti daun yang sedang dibakar. Bunyi itu disebabkan pemakaian rajangan cengkeh. Lambat laun, rokok ini dikenal dengan sebutan kretek.
Rokok kretek kian dikenal ketika semakin banyaknya penduduk yang menggulung tembakau di pinggir jalan untuk memenuhi permintaan konsumen. Perlahan, pengirisan cengkeh mulai dilakukan di rumah dan berkembang menjadi industri rumahan.
Sejarawan Onghokham dan Amen Budiman dalam buku Hikayat Kretek (2016), mengemukakan bahwa rokok kretek mulai jamak dikenal oleh orang-orang di Pulau Jawa setelah Djamhari mulai mengenalkannya kepada masyarakat luas. Bahkan, secara perlahan daerah di luar Pulau Jawa juga turut menikmati kretek yang dikirim langsung dari Jawa.
Baca juga: Candu Tembakau di Nusantara
Titik balik
Kenikmatan kretek yang kian banyak digemari masyarakat menjadi peluang bisnis yang menjanjikan bagi masyarakat di Kudus. Peluang serupa juga coba dimanfaatkan oleh pebisnis Tionghoa hingga menyebabkan terjadinya persaingan antara pengusaha lokal dan pribumi.
Persaingan ini menjadi salah satu pemicu terjadinya huru-hara di Kudus pada Oktober 1918. Pabrik dibakar, korban pun berjatuhan. Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi industri kretek di Kudus kala itu.
Pada dekade 1920-an, industri kretek di Kudus perlahan kembali pulih. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya industri kretek yang muncul di wilayah ini. Hingga tahun 1928, industri kretek semakin berkembang, terutama pada daerah sekitar pusat Kabupaten Kudus.
Jumlah industri kretek di Kudus yang dimiliki oleh pribumi mencapai 37 unit usaha pada tahun 1929. Dari jumlah itu, delapan perusahaan di antaranya adalah perusahaan besar dengan jumlah produksi sekitar 50 juta batang per tahun.
Saat terjadi krisis tahun 1930, industri kretek justru mampu bertahan. Bahkan, jumlahnya semakin meningkat pesat menjadi 43 perusahaan pada tahun 1930 dan 102 perusahaan pada tahun 1932. Meski begitu, sejumlah perusahaan harus berjuang untuk bertahan di tengah gempuran krisis yang saat itu melanda dunia hingga dampaknya dirasakan di Hindia Belanda.
Penambahan perusahaan terbesar adalah pada industri kecil dengan total produksi di bawah 10 juta batang per tahun. Di daerah Kudus, jumlah unit usaha pada kategori ini meningkat dari 14 usaha pada 1929 menjadi 79 usaha pada tahun 1932. Kenaikan ini tidak terlepas dari pemanfaatan peluang oleh masyarakat lokal di tengah menjamurnya konsumsi kretek di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan pesat ini tidak serta-merta diikuti oleh unit usaha yang dimiliki oleh pengusaha asing. Jumlah perusahaan yang dimiliki oleh pebisnis Tionghoa memang mengalami kenaikan pesat secara persentase. Jika pada 1929 terdapat 18 usaha kretek milik Tionghoa di Kudus, jumlah ini meningkat 50 persen pada tahun 1931. Namun, secara jumlah, usaha milik pribumi saat itu masih lebih mendominasi.
Hal menarik yang perlu dicermati dari perkembangan industri kretek di Kudus adalah tumbuhnya bisnis skala kecil dari pebisnis Tionghoa. Jika pada tahun 1929 hanya terdapat dua unit usaha kretek, jumlahnya meningkat hingga 14 perusahaan pada tahun 1933. Artinya, pebisnis Tionghoa tidak hanya menjadi pemain bisnis kretek dalam skala besar, melainkan juga turut bersaing dalam bisnis skala kecil dengan penduduk lokal.
Baca juga: Wangi Tembakau nan Memukau di Era Kolonial
Gerakan pengusaha
Selain ekonomi, pesatnya perkembangan industri kretek juga turut berpengaruh pada kondisi sosial di Kudus pada medio awal abad ke-20. Perbaikan ekonomi berkat industri kretek tampaknya juga berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk di wilayah Kudus saat itu.
Jumlah penduduk di seluruh wilayah Kudus sejak 1861 hingga 1915 meningkat hingga dua kali lipat, lebih tinggi dibandingkat kenaikan jumlah penduduk di Jawa dan Madura pada periode yang sama (156 persen).
Kudus yang semakin ramai dan mulai dikenal dengan kreteknya, menghasilkan tokoh pengusaha yang aktif dalam pergerakan sosial di era kolonial. Salah satunya adalah Abdul Kadir, seorang pengusaha pabrik kretek yang turut berperan dalam berdirinya Muhammadiyah cabang Kudus (Castles, 1982).
Hadirnya pengusaha dalam perkembangan organisasi Islam menjadi titik persinggungan antara kehidupan sosial-keagamaan dengan industri di wilayah ini. Kondisi ini terus bertahan hingga Kudus dikenal sebagai wilayah yang memiliki dua identitas, yakni kota santri dan kota kretek.
Gerakan lainnya yang dilakukan oleh pengusaha adalah membentuk organisasi pengusaha pabrik kretek Kudus. Pembentukan organisasi ini dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah kolonial dalam membebani pajak rokok sebagai upaya untuk menambah pemasukan pemerintah.
Namun, organisasi ini tidak melakukan perlawanan intelektual ataupun fisik, melainkan melakukan perlawanan sosial. Gerakan yang dilakukan adalah dengan melakukan penyesuaian terhadap kebijakan yang membebani pengusaha kala itu. Dengan begitu, pengusaha lokal tetap dapat menunjukkan eksistensinya di tengah tekanan kebijakan pemerintah kolonial dan saingan bisnis dengan pengusaha asing.
Sejumlah gerakan yang dilakukan oleh pengusaha serta perkembangan bisnis yang mengiringinya, semakin mengukuhkan dominasi Kudus sebagai kota kretek. Hingga kini, lebih dari satu abad berselang, Kudus kian sulit dilepaskan dari tembakau. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Mereka Membenci Tembakau?