Sejarah merekam bahwa tembakau menjelma sebagai komoditas bisnis yang menggiurkan bagi masyarakat lokal maupun pengusaha asing di era kolonial.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Setelah wangi tembakau berhasil menembus dinding-dinding kerajaan di Pulau Jawa, tanaman ini kian digandrungi oleh masyarakat dari berbagai lapisan kehidupan sosial. Perlahan tapi pasti, tembakau menjelma sebagai komoditas bisnis yang menggiurkan bagi masyarakat lokal maupun pengusaha asing di era kolonial.
Pada era autokrasi zaman kerajaan, semerbak wangi tembakau tidak hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas atas, melainkan juga masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Satu-dua mengonsumsinya dengan cara mengunyah, sementara sebagian lainnya memanfaatkannya dengan cara menghisap.
Seiring semakin digandrunginya tembakau oleh masyarakat, tanaman ini mulai dimanfaatkan sebagai komoditas bisnis. Rantai pasar dari hulu hingga hilir perlahan mulai terbentuk sejalan dengan semakin banyaknya pecinta tembakau saat itu, terutama di tanah Jawa.
Kedekatan masyarakat Jawa dengan bisnis tembakau salah satunya terekam dalam cerita rakyat dari Jawa Tengah tentang sosok Rara Mendut. Selain sebagai simbol perlawanan, kisah ini juga mengangkat cerita tentang aktivitas jual-beli rokok antara Rara Mendut dengan kelompok masyarakat kecil.
Rara Mendut merupakan putri dari seorang abdi di Kadipaten Pati. Ketika terjadi pertempuran antara Kadipaten Pati dan Mataram, Rara Mendut turut dibawa ke Mataram oleh panglima perang Kerajaan Mataram, Tumenggung Wiraguna.
Namun, setibanya di Mataram, Rara Mendut menolak niat Tumenggung Wiraguna untuk memperistrinya. Ia dijatuhi hukuman untuk membayar pajak setiap hari karena telah membuat Wiraguna marah setelah menerima komentar negatif dari Rara Mendut.
Untuk menyiasati hukuman ini, Rara Mendut memilih untuk menjual rokok. Di luar dugaan, rokok yang ditawarkan sebagai barang dagangan laku dengan cepat. Singkat cerita, Rara Mendut tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar pajak sebagai konsekuensi telah menolak pinangan dari Tumenggung Wiraguna.
Sastra lisan yang berujung pada sastra tulisan dengan latar abad ke-17 Masehi ini menggambarkan adanya cerita yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tentang aktivitas jual-beli olahan tembakau sejak zaman dahulu. Kenyataannya, tembakau memang telah menjadi komoditas bisnis, baik bagi masyarakat lokal maupun orang asing yang datang ke Nusantara.
Catatan tentang pengusahaan tembakau cukup banyak ditemui pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, terutama setelah dibukanya Hindia Belanda bagi pihak swasta yang ingin berinvestasi jelang medio akhir abad ke-19.
Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko dalam buku Tembakau: Kajian Sosial-Ekonomi (1991), menuliskan, pengusahaan tembakau di Jawa pada abad ke-19 mulai dilakukan secara masif pada tanah milik petani. Pada wilayah Tuban, Bojonegoro, dan Rembang, misalnya, jelang akhir abad ke-19 tembakau telah ditanam pada sekitar 1.200 bahu sawah atau sekitar 851,6 hektar. Setiap bahu, atau sekitar 0,7 hektar lahan, membutuhkan tenaga hingga delapan orang untuk menggarapnya.
Menurut laporan Van Gorkom, pegawai pemerintahan kolonial di Rembang pada tahun 1860-1862, saat itu hubungan antara petani dan penguasa tidak berjalan harmonis. Para petani pun terkadang menggugat para penguasa desa yang dinilai melakukan korupsi terhadap upah yang seharusnya dibayarkan kepada petani.
Jelang akhir abad ke-19, tanaman tembakau kian digemari seiring meningkatnya permintaan dunia. Kondisi ini turut mendorong pihak swasta untuk membuka area tanam tembakau secara lebih masif. Bahkan, dalam kurun waktu satu tahun antara 1877 dan 1878, luas area perkebunan tembakau di Jawa, di luar Yogyakarta dan Surakarta meningkat hingga 22.363 bahu atau sekitar 15.870 hektar.
Selain di Jawa, usaha untuk menanam tembakau juga dilakukan pada daerah lainnya di luar Pulau Jawa. Salah satu lokasi tujuan pemerintah kolonial untuk menanam tembakau adalah di Ternate pada tahun 1875. Walakin, tingginya intensitas hujan sejak pertengahan hingga akhir tahun di wilayah itu menyebabkan buruknya kualitas tembakau yang dihasilkan.
Memasuki abad ke-20, pengusahaan tembakau semakin berkembang seiring hadirnya perusahaan kretek di Pulau Jawa. Campuran antara tembakau dan cengkeh ini mendapatkan apresiasi di tengah-tengah masyarakat saat itu. Terbukti, pada 1929-1933, jumlah perusahaan kretek kian meningkat pesat yang menandakan tingginya permintaan.
Pada daerah Kudus, misalnya, pada 1929, terdapat 37 perusahaan kretek yang dimiliki oleh orang-orang Jawa. Jumlah ini meningkat hingga 373 persen pada tahun 1933 menjadi 138 perusahaan.
Kenaikan jumlah perusahaan kretek juga dicatatkan oleh daerah lainnya pada kurun waktu yang sama. Di wilayah Pati, jumlah perusahaan kretek meningkat dari dua perusahaan pada 1930 menjadi 40 perusahaan pada 1933. Sementara di Rembang, kenaikan jumlah perusahaan kretek juga cukup tinggi dari satu perusahaan pada tahun 1930 menjadi 16 perusahaan tahun 1933.
Selain perusahaan yang dimiliki oleh pribumi, lahir pula perusahaan kretek yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa di Jawa. Dalam kurun waktu 1929-1933, juga meningkat secara konsisten, yakni dari 29 perusahaan tahun 1929 menjadi 62 perusahaan pada 1933.
Kenaikan jumlah perusahaan ini tentu berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan tembakau. Peluang ini tampaknya cukup jeli dilirik oleh masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari munculnya perkebunan tembakau rakyat. Pada 1939, perkebunan tembakau rakyat telah tersebar pada Jawa Barat (8.000 hektar), Jawa Tengah (63.800 hektar), dan Jawa Timur (67.500 hektar).
Tingginya kebutuhan tembakau juga turut dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk menghasilkan pemasukan melalui pajak tembakau. Sejak 1938-1940, tembakau secara rata-rata menyumbang 6,3 persen dari total perolehan uang dari pajak dan bea kala itu. Tampak dengan sangat jelas bahwa tembakau berhasil mencuri perhatian kalangan pebisnis, pemerintah, hingga kalangan petani lokal.
Sisi lain dari menjamurnya bisnis berbahan dasar tembakau adalah munculnya kota-kota yang khas dan melekat dengan tembakau. Kota-kota itu menjelma sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi bagi wilayah sekitar.
Pada dekade 1930-an, kota-kota tembakau ini jamak muncul pada daerah Jawa bagian tengah dan timur. Jika menengok pada pola sebaran rokok kretek dan penyaluran tembakau di Jawa dan Madura pada 1930, terlihat jelas betapa pentingnya peran dari daerah Kudus. Dari sinilah kretek didistribusikan pada sejumlah wilayah di Pulau Jawa, seperti Madiun, Surakarta, dan Bojonegoro.
Hingga kini, Kudus masih dikenal sebagai ”Kota Kretek” selain juga identitas lainnya yang melekat sebagai kota santri. Tentu menarik untuk menilik lebih dalam tentang sejarah wilayah ini hingga memiliki titik persinggungan antara tradisi Islam dan bisnis kretek. Mengapa Kudus bisa dikenal sebagai kota kretek?
Baca tulisan selanjutnya: Kudus, Kretek, dan Gerakan Sosial